Bulan Inklusi Keuangan (BIK) adalah inisiatif tahunan OJK untuk memperluas literasi dan akses layanan keuangan formal. Pada 2025, BIK mencatat 10,8 juta peserta edukasi dan kolaborasi dengan lebih dari 1.000 pelaku industri jasa keuangan. Program agency Laku Pandai seperti AgenBRILink menjadi contoh nyata kolaborasi antara regulator dan industri dalam mendorong kesejahteraan rakyat di era digital.
Stabilitas.id — Di tengah riuh pameran Financial Expo di Tunjungan Plaza, suara optimistis menggema. “Sektor jasa keuangan memiliki potensi melipatgandakan perekonomian bahkan beberapa kali lipat dari PDRB daerah apabila literasi dan inklusi masyarakat terus meningkat,” ujar Mahendra Siregar, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Ucapan itu bukan sekadar seremonial. Di ruang yang sama, pada Jumat (24/10), Mahendra menandai puncak Bulan Inklusi Keuangan (BIK) 2025 — gerakan nasional yang selama sebulan penuh menghubungkan kebijakan, edukasi, dan teknologi, dengan satu tujuan: memastikan akses keuangan menjadi milik semua.
Di bawah tema “Inklusi Keuangan untuk Semua, Rakyat Sejahtera, Indonesia Maju,” OJK menggandeng bank, lembaga keuangan, fintech, pergadaian, hingga pemerintah daerah. Selama Oktober, lebih dari 10,8 juta warga mengikuti kegiatan literasi keuangan di seluruh Indonesia — lonjakan hampir 68 persen dari tahun sebelumnya.
BERITA TERKAIT
Kegiatan yang tersebar dari kota besar hingga pelosok 3T itu menghasilkan:
- 182 kegiatan edukasi dan literasi,
- 3,55 juta rekening perbankan baru,
- 1,47 juta akun pembiayaan,
- 720 ribu akun fintech,
- 951 ribu polis asuransi,
- 643 ribu rekening pasar modal, dan
- 5,01 juta rekening pergadaian.
Capaian tersebut menegaskan pesan Mahendra: inklusi bukan sekadar membuka rekening, melainkan membangun kemandirian finansial. “Masyarakat perlu diarahkan dari menabung menuju pembiayaan dan investasi,” ujarnya. “Itulah yang akan melipatgandakan ekonomi daerah.”
No One Left Behind
Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Pelindungan Konsumen OJK Friderica Widyasari Dewi dalam kesempatan yang sama menjelaskan bahwa peningkatan literasi dan inklusi keuangan merupakan langkah strategis dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan menegaskan pentingnya prinsip No One Left Behind dalam kemudahan akses keuangan yang setara.
“Peningkatan literasi dan inklusi keuangan bukan hanya soal angka, melainkan tentang meningkatkan kesejahteraan masyarakat, bangsa, dan negara. Kita memegang teguh prinsip “No One Left Behind”. Dalam setiap program literasi dan inklusi keuangan, tidak boleh ada satu pun kelompok masyarakat yang tertinggal, termasuk penyandang disabilitas dan masyarakat di wilayah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar),” ujarnya.
Friderica menyampaikan tiga pesan penting yaitu edukasi keuangan yang tepat sasaran, inklusi keuangan yang bertanggung jawab dan berkelanjutan, serta sinergi serta kolaborasi yang harus terus diperkuat, terutama bersama pemerintah daerah yang telah menjadi mitra strategis dalam berbagai program OJK.
Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa yang hadir secara langsung pun menyatakan akan terus meningkatkan inklusi dan literasi keuangan masyarakat melalui berbagai kegiatan untuk semakin meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
“Inklusi keuangan di Jawa Timur sudah cukup tinggi, tetapi tingkat literasinya masih perlu ditingkatkan melalui diseminasi dan edukasi yang lebih komprehensif. Tujuannya agar layanan keuangan dan pembiayaan semakin mudah dijangkau, aman, dan berdaya guna bagi masyarakat,” katanya.
Khofifah juga mendukung program inklusi keuangan OJK yang mencakup semua kalangan masyarakat melalui prinsip “No One Left Behind” agar semua masyarakat maju bersama, tumbuh bersama, dan tangguh bersama. “Semoga puncak Bulan Inklusi Keuangan ini menjadi bagian dari upaya memperkuat dan meneguhkan seluruh potensi yang ada di Jawa Timur, serta menjadi inspirasi bagi provinsi lain di Indonesia,” tegasnya.
Inspirasi dari Kampung Yenburwo
Sejatinya, inspirasi itu telah lahir di ribuan kilometer dari Surabaya, di tepian laut Kampung Yenburwo, Distrik Numfor Timur, Kabupaten Biak Numfor. Kisah lain dari inklusi keuangan sedang berlangsung dalam diam.
Suara mesin Electronic Data Capture (EDC) terdengar lirih dari kios kecil bercat biru. Dari balik etalase, Hamjah, kepala sekolah SMKN 3 Kemaritiman, menatap layar mesin itu dengan fokus. Di tangannya, bukan sekadar transaksi, melainkan jembatan antara dunia perbankan dan kehidupan warga pesisir.
Sejak 2022, Hamjah menjadi AgenBRILink, mitra PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk, yang menghadirkan layanan perbankan ke pelosok negeri. Dari kios sederhana itu, warga bisa menabung, mentransfer uang, membayar listrik, hingga membeli pulsa — tanpa harus menyeberang laut ke Biak.
“Kalau tidak ada kios ini, kami harus ke kota. Ongkos kapal dan waktu bisa habis satu hari,” kata seorang warga, sebagaimana dilansir dari siaran pers BRI, 24 Oktober lalu.

Sebagai pendidik, Hamjah memandang profesi barunya bukan sekadar usaha sampingan. “Saya ingin mengajarkan warga untuk menabung dan berhati-hati bertransaksi,” ujarnya.
Ia pernah harus berhadapan dengan jaringan 2G yang sering terputus. “Kadang transaksi gagal, pelanggan gelisah, saya pun ikut panik,” kenangnya. Namun dukungan BRI yang terus memperkuat sistem dan jaringan membuat pelayanannya kini stabil.
“Sekarang mesin baru, sinyal kuat, semua lancar,” katanya tersenyum. Ia belajar memahami ritme ekonomi kampung: kapan nelayan pulang, kapan panen dijual, kapan kiriman uang datang.
Dari situ, ia belajar bahwa inklusi keuangan tidak hanya soal teknologi, tapi tentang kepercayaan dan kedekatan manusia.
Hingga Agustus 2025, BRI mencatat 1,2 juta AgenBRILink telah menjangkau lebih dari 67 ribu desa, atau 80,96 persen dari total desa di Indonesia. Dalam delapan bulan pertama tahun ini, total volume transaksi mencapai Rp1.145 triliun dengan lebih dari 540 juta transaksi.
“Melalui AgenBRILink, masyarakat dapat mengakses sistem keuangan nasional secara mudah, cepat, dan aman,” ujar Dhanny, Corporate Secretary BRI, dalam keterangan tertulis.
Peran agen kini bukan hanya memperluas layanan, tapi juga menjadi bagian dari ekosistem inklusi nasional.
“Program OJK mendorong literasi dan inklusi, sementara kami di industri menghadirkan solusinya di lapangan,” ujar Dhanny. “Agen-agen kami menjadi simpul ekonomi rakyat.”
Dari Transaksi ke Kepercayaan
Menurut pengamat ekonomi Bhima Yudhistira dari CELIOS, sinergi antara OJK dan industri jasa keuangan menjadi model kolaborasi yang efektif. OJK mendorong kebijakan inklusi, Industri Jasa Keuangan menjalankan implementasi riil. “Hasilnya: akses keuangan menjangkau masyarakat akar rumput dengan cara yang manusiawi,” katanya.
Namun, ia mengingatkan pentingnya menjaga kepercayaan publik. Riset CNBC Indonesia Research (Oktober 2025) menunjukkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap sektor keuangan masih di kisaran 72 persen, sedikit menurun akibat maraknya pinjaman online ilegal. “Inklusi tanpa pelindungan hanya memindahkan risiko,” ujar Bhima.
Friderica menegaskan hal serupa. “Digitalisasi tanpa edukasi hanya memindahkan risiko dari loket ke layar,” katanya. Karena itu, OJK memperkuat pelindungan konsumen dan memastikan seluruh program edukasi berjalan di akar masyarakat.
Kendati dmeikian, kini, setiap kali mesin EDC di kios kecil Hamjah berbunyi, ada cerita kepercayaan yang terbangun. Uang berpindah tangan, tapi juga harapan. “Selama masih ada warga yang butuh bantuan transaksi, kios ini tidak akan tutup,” katanya pelan.
Dari Surabaya hingga Biak Numfor, dari ruang pamer FinExpo hingga pantai Yenburwo, inklusi keuangan bukan lagi jargon. Ia telah menjelma menjadi gerakan bersama — yang menyatukan kebijakan regulator, inovasi industri, dan kerja nyata para agen di pelosok negeri. ***





.jpg)










