Stabilitas.id — Jawa Barat kehilangan salah satu putra terbaiknya. Yusuf Saadudin, Direktur Utama Bank BJB, wafat pada Jumat dini hari, 14 November 2025. Di lingkungan perbankan daerah, sosok berusia 52 tahun itu dikenal bukan semata pemimpin puncak. Ia adalah “putra kandung” Bank BJB—lahir, tumbuh, menjalani sebagian besar hidup profesionalnya di institusi yang sama, dan akhirnya memimpin bank itu memasuki fase modernisasi paling intens dalam dua dekade terakhir.
Kepergian Yusuf terasa sebagai jeda mendadak dalam perjalanan BJB. Bagi banyak koleganya, ia adalah wajah perubahan: sosok tenang, rapi, dan bekerja dengan prinsip integritas yang tebal. Jejak itu yang membuatnya dihormati bukan hanya sebagai bankir, tetapi sebagai figur yang memahami BJB dari akar sampai pucuk.
Meniti Tangga Tanpa Meloncat
BERITA TERKAIT
Lahir di Bandung pada 1973, Yusuf menamatkan Sarjana Akuntansi di Universitas Padjadjaran, lalu meraih Magister Hukum Ekonomi dan Bisnis di kampus yang sama. Ia bergabung dengan Bank BJB sebagai pegawai muda dan sejak itu menempuh perjalanan panjang: mulai dari divisi pembiayaan konsumer, memimpin Divisi KPR & KKB (2019–2021), berlanjut menjadi Kepala Divisi Kredit Konsumer, hingga kemudian menjabat Direktur Konsumer & Ritel.
Kariernya menanjak bukan karena lompatan besar, melainkan rangkaian langkah terukur. “Yusuf itu tidak melewati tahapan,” kata seorang mantan koleganya. “Dia menapaki tangganya satu per satu.” Karakter itu membuatnya dianggap sebagai pemimpin yang tumbuh bersama institusi—seseorang yang benar-benar memahami denyut operasional bank daerah terbesar di Jawa Barat dan Banten itu.
Dalam memimpin, Yusuf tidak dikenal sebagai orator. Ia berbicara seperlunya, menghindari sorot kamera, dan lebih betah duduk dalam rapat-rapat yang membahas angka, risiko, serta ketahanan portofolio. Namun, keputusan-keputusannya terukur dan berdampak.
Ketenangan itu membuatnya dihormati: pemimpin yang tidak tergesa, tetapi selalu tepat waktu; tidak banyak bicara, tetapi tetap menjadi titik temu dalam setiap perselisihan pandangan. Integritasnya menjadi fondasi kepemimpinan.
Arsitek Transformasi Bank BJB
Ketika Yusuf diangkat menjadi Direktur Utama pada 16 April 2025 melalui RUPS, ia datang dengan mandat besar: mempercepat transformasi digital, memperkuat bisnis ritel, dan menjadikan BJB sebagai bank daerah yang mampu berkompetisi secara nasional.
Di bawah komandonya, BJB menjalin kerja sama strategis dengan universitas dan lembaga publik untuk memperluas implementasi layanan digital. Ia mempercepat penyempurnaan platform digital BJB, mendorong peningkatan layanan bagi guru ASN dan non- ASN, serta memperkuat infrastruktur perbankan yang mendukung inklusi keuangan.
Di hadapan para pegawai, ia beberapa kali mengulang satu prinsip: “Bank daerah harus bisa berlari seperti bank besar.” Prinsip itu kemudian menjadi roh perubahan dalam organisasi.
Dalam tujuh bulan kepemimpinannya, kinerja BJB menunjukkan kombinasi antara pertumbuhan, ekspansi ambisius, dan tantangan profitabilitas:
Pertumbuhan Aset dan Kredit
Aset BJB naik sekitar 10,2 persen (YoY) menjadi Rp223,1 triliun, sementara total kredit tumbuh 11,4 persen (YoY) mencapai Rp145,4 triliun, ditopang oleh segmen konsumer—wilayah bisnis yang memang menjadi keahlian Yusuf sejak lama.
Produk digital seperti KGB Pisan menunjukkan traksi kuat, mendekati 4.000 rekening dalam waktu singkat dan menunjukkan bahwa jalur digital ritel yang ia dorong mulai membentuk basis baru bagi pertumbuhan.
Pada sisi lain, ambisi transformasi membawa konsekuensi. Beban operasional melonjak sekitar 18,3 persen, yang berdampak pada penurunan laba bersih hingga 32 persen. Sebagian besar beban itu datang dari perbaikan infrastruktur, penguatan SDM, dan percepatan digitalisasi—dua hal yang memang menjadi fokus Yusuf sejak hari pertama menjabat.
Meski begitu, beberapa analis melihat lonjakan beban ini sebagai “harga sebuah loncatan”. Transformasi digital, perbaikan tata kelola, dan ekspansi kredit yang sehat membutuhkan fondasi yang tidak murah.
Warisan Seorang Pekerja Sunyi
Di tengah ambisinya, Yusuf tetap sederhana. Ia tak pernah membesarkan keberhasilan, tak pernah menyembunyikan tantangan. Bagi banyak pegawai BJB, ia mewakili sosok pemimpin yang bekerja senyap—tidak mencolok, tetapi terukur.
Yang ditinggalkan bukan sekadar laporan keuangan, melainkan arah panjang: modernisasi, disiplin risiko, perbaikan struktur kredit, serta budaya kerja yang lebih adaptif terhadap perubahan teknologi.
Kepergian Yusuf menutup perjalanan seorang “putra kandung” BJB yang pulang terlalu cepat. Namun jejaknya—ketenangan, integritas, dan keberanian menata ulang bank daerah menjadi lebih modern—menjadi warisan yang akan terus hidup di institusi yang ia cintai sejak awal kariernya.***





.jpg)










