Stabilitas.id – Langit Jakarta sore itu berwarna jingga pucat. Di lantai 21 Gedung Graha BRIPens, kilau lampu menggantung di langit-langit, membias di wajah-wajah muda yang duduk tegak di kursi berlapis kain biru. Mereka adalah 52 lulusan terbaik Universitas Indonesia, penerima Golden dan Silver Ticket—simbol istimewa yang membuka jalan mereka menuju Bank Rakyat Indonesia.
Di antara tepuk tangan dan senyum gugup itu, terpatri simbol yang lebih besar dari sekadar rekrutmen. Malam itu, 18 September 2025, BRI tak hanya mencari pegawai baru. Ia sedang menyiapkan pewaris nilai—sebuah estafet dari perjalanan 130 tahun melayani negeri.
Pada 1895, seorang bangsawan Jawa bernama Raden Bei Aria Wirjaatmadja mengubah cara masyarakat memandang uang. Ia melihat bagaimana dana kas masjid sering disimpan tanpa arah, sementara rakyat di sekitarnya kesulitan mengakses modal. Dari keprihatinan itu, ia mendirikan De Poerwokertosche Hulpen Spaarbank der Indlandsche Hoofden—lembaga simpan pinjam bagi kaum pribumi di Purwokerto.
BERITA TERKAIT
Tak ada ruang ber-AC, tak ada sistem digital. Hanya niat tulus mengelola dana umat agar kembali ke masyarakat. Namun, di situlah akar filosofi BRI tumbuh: uang bukan sekadar alat, tapi amanah.
“Wirjaatmadja itu visioner,” ujar Riko Tasmaya, Direktur Corporate Banking BRI di hadapan para penerima Golden dan Silver Ticket, dengan nada dalam dan penuh takzim. “Beliau mendirikan lembaga keuangan bukan untuk menumpuk laba, tapi untuk memerdekakan ekonomi rakyat. Itu yang menyentuh saya.”
Riko bukan sosok sembarangan. Sebelum bergabung dengan BRI, ia adalah CEO HSBC Indonesia—posisi bergengsi di salah satu bank multinasional tertua di dunia. Namun pada 2025, di tengah karier yang mapan, ia memilih langkah tak biasa: meninggalkan kursi nyaman di bank asing dan pulang ke lembaga milik rakyat.
“Keputusan itu bukan soal jabatan,” katanya. “Ada nilai yang lebih besar di sini. Bayangkan, dari kas masjid di Purwokerto, lahir bank terbesar di Asia Tenggara. Tapi lebih dari itu, BRI tumbuh bersama rakyat kecil, dari pasar ke sawah, dari petani ke pengusaha mikro. Itu perjalanan spiritual ekonomi yang tak saya temui di tempat lain.”
Riko menatap jauh ke jendela ruangannya. Di luar, lalu lintas Sudirman bergemuruh. “Saya ingin menjadi bagian dari perjalanan nilai itu,” ujarnya pelan.
Perjalanan BRI memang tak selalu mulus. Lembaga itu pernah jatuh bangun di bawah pendudukan Jepang, sempat dilebur menjadi Bank Koperasi Tani dan Nelayan (BKTN) bersama Bank Tani dan Nelayan serta Nederlandsche Handels Maatschappij (NHM), sebelum akhirnya kembali menggunakan nama BRI pada 1968. Setiap fase meninggalkan jejak: dari keuangan mikro tradisional hingga pembiayaan modern, dari sistem manual hingga digital banking.
Namun satu hal tak berubah: keberpihakannya pada rakyat. “BRI adalah cermin dari daya tahan bangsa ini,” kata A. Solichin Lutfiyanto, Direktur Human Capital & Compliance BRI dalam kesempatan yang sama. “Kami bukan hanya bertahan, tapi terus beradaptasi. Dan kini, saat dunia berubah cepat, kami tahu transformasi itu dimulai dari manusia.”
Transformasi itu diwujudkan lewat BRILIANEXT, program pencarian dan pengembangan calon pemimpin masa depan. BRI menggandeng Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia serta Ikatan Alumni FEB UI (ILUNI FEB UI) untuk menjaring talenta terbaik negeri. Dari ratusan kandidat, hanya 52 yang terpilih—mereka yang bukan sekadar cerdas, tapi juga berintegritas dan tahan banting.
“Program ini bukan rekrutmen biasa,” ujar Solichin. “Ini investasi jangka panjang. Kami menyiapkan generasi penerus yang akan membawa semangat Wirjaatmadja ke era digital.”
Bagi Alya Fadila, salah satu penerima Golden Ticket, bergabung dengan BRI adalah bentuk idealisme baru. “Di kampus, kami sering bicara soal ekonomi inklusif,” katanya. “Dan ternyata, BRI sudah melakukannya sejak sebelum republik ini lahir. Itu luar biasa.”
Sementara Trinita Riana Sitorus, penerima Silver Ticket, melihat BRI sebagai tempat di mana idealisme bisa bersanding dengan karier. “Saya ingin berkontribusi di bidang wholesale banking,” ujarnya. “Tapi yang membuat saya tertarik justru filosofi BRI: memberi dampak bagi masyarakat.”
Di tangan generasi seperti Alya dan Trinita, BRI mencoba menjembatani dua dunia—nilai lama dan tantangan baru. Riko Tasmaya menyebutnya sebagai “kembali ke masa depan.”
“Kalau Wirjaatmadja dulu memakai kas masjid, kita sekarang pakai AI dan blockchain,” ujarnya sambil tersenyum. “Tapi esensinya sama: bagaimana uang bisa menjadi kekuatan untuk memberdayakan manusia.”
Menurutnya, inilah yang membedakan BRI dari bank lain. “Di HSBC, saya belajar tentang efisiensi dan tata kelola global. Tapi di BRI, saya belajar tentang makna. Ini bukan hanya tentang portofolio, tapi tentang nasib bangsa.”
Kini, di usianya yang memasuki ke-130, BRI bukan hanya bank dengan aset terbesar di Indonesia. Ia adalah saksi perjalanan ekonomi rakyat. Dari koperasi desa hingga platform digital seperti BRImo, dari kredit mikro hingga pembiayaan korporasi, semuanya lahir dari satu prinsip: menyalurkan kembali nilai kepada masyarakat.
Wakil Dekan FEB UI, Kiki Verico, menyebut kolaborasi kampus dan industri seperti BRI sebagai momentum penting. “Mahasiswa sekarang mencari makna,” ujarnya. “Dan BRI menawarkan itu—karier yang berakar pada sejarah dan berdampak bagi sesama.”
Malam di Graha BRIPens kian larut. Satu per satu mahasiswa menyalami para eksekutif, membawa pulang tiket dan harapan. Di dinding belakang panggung, terpampang logo BRI, tanpa tagline tetapi syarat makna: Memberi Makna Indonesia.
Riko Tasmaya mengingatkan salah satu penerima Golden dan Silver Ticket untuk menatap tulisan itu, sebelum meninggalkan ruangan. “130 tahun bukan usia yang muda,” katanya lirih. “Tapi BRI tidak menua. Karena setiap generasi selalu menemukan maknanya sendiri tentang memberi nilai bagi negeri.” ***





.jpg)










