JAKARTA, Stabilitas.id – Keputusan The Fed menaikkan suku bunganya sebesar 75bps pada FOMC bulan Juli 2022 ini, memberikan dampak signifikan pada pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang, salah satunya Indonesia.
Menurut Anton Hendranata, Chief Economist BRI, Kenaikan ini telah diperkirakan oleh pasar, mengingat tingkat inflasi AS yang masih tinggi hingga Juni 2022 yaitu sebesar 9,1%yoy. Dengan kenaikan tersebut, tingkat suku bunga acuan The FED saat ini menjadi sebesar 2,25-2,50%pa.
Kenaikan ini menyebabkan investor banyak melarikan aset finansialnya dari negara berkembang menuju AS, karena return yang ditawarkan menjadi lebih besar dan risiko investasinya relatif kecil dibanding negara berkembang.
BERITA TERKAIT
Kenaikan suku bunga The FED sebesar 75bps pada Juli saat ini tentunya dapat semakin menekan pasar obligasi dan saham nasional. Selain itu, terjadinya capital outflow pada pasar finansial dapat mendorong depresiasi nilai Rupiah karena permintaan terhadap US Dolar yang meningkat dari penjualan aset finansial Rupiah.
Namun, berdasarkan riset yang dilakukan Anton Hendrata, fundamental ekonomi saat ini cukup kuat untuk menahan gejolak eksternal, baik pada sektor riil-perbankan, sektor finansial-valas, maupun sektor eksternal-perdagangan.
Cadangan devisa pada Juni 2022 tercatat sebesar US$136,4 Miliar, naik dari Mei 2022 sebesar US$135,6 Miliar. Angka tersebut setara dengan pembiayaan 6,6 bulan impor, atau 6,4 bulan impor ditambah pembayaran utang luar negeri pemerintah, jauh di atas standar kecukupan internasional sebesar 3 bulan. Dengan cadangan devisa yang kuat dan kepemilikan asing yang rendah terhadap SBN (26-Jul-22: 15,35%) diperkirakan dapat menahan volatilitas pasar finansial Indonesia.
Di tengah tren kenaikan tingkat suku bunga, Bank Indonesia (BI) masih menjaga BI7DRR di level 3,50%pa pada RDG Juli 2022.
“Kami melihat BI memandang bahwa kondisi nilai Rupiah saat ini masih relatif stabil, baik nilai internal (inflasi) maupun eksternal (nilai tukar terhadap US Dolar),” Jelas Anton.
Dari sisi inflasi, tingkat inflasi CPI Indonesia secara umum memang meningkat cukup signifikan menjadi sebesar 4,35%yoy pada Juni 2022. Namun demikian, nilai inflasi inti nasional masih cukup terjaga dan stabil di bawah 3%yoy, yaitu 2,63%yoy pada Juni 2022.
Dari sisi nilai eksternal, walaupun saat ini nilai tukar Rupiah sedang mengalami tren depresiasi terhadap US Dollar, namun nilainya masih relatif rendah dibandingkan dengan depresiasi mata uang negara emerging markets lainnya.
Per 22 Juli 2022, Rupiah hanya terdepresiasi sebesar -5,09%, lebih tinggi dibandingkan rata-rata depresiasi nilai tukar EM lainnya sebesar 8%. Kondisi ini membuat BI masih memiliki ruang untuk bisa menjaga tingkat suku bunga acuannya di level 3,50%pa, sejalan dengan pemulihan ekonomi nasional.
“kami pikir cukup masuk akal jika BI masih menahan suku bunga acuannya di RDG Juli 2022. Namun demikian, ke depan rasanya BI akan mulai menaikkan suku bunganya pada RDG Agustus 2022,” ungkap Anton.
Hal ini karena level nilai Rupiah yang sudah berada dikisaran Rp15.000 an, dan tingkat inflasi inti juga diperkirakan dapat merangkak hingga 2,82%yoy pada bulan Juli 2022 sejalan dengan peningkatan aktivitas ekonomi dan demand masyarakat.
Inflasi CPI juga diperkirakan dapat meningkat hingga 4,89%yoy, sejalan dengan masih terganggunya pasokan supply bahan pangan akibat cuaca yang tidak menentu.***





.jpg)










