Sejatinya krisis, apapun namanya, tidak pandang bulu. Begitu juga krisis keuangan ataupun krisis ekonomi. Akan tetapi sejak krisis moneter 97-98, masyarakat seolah tidak memasukkan sektor mikro sebagai salah satu yang disebut korban krisis. Hal itu karena bukti yang ditunjukkan sektor usaha mikro selama krisis.
Saat itu sektor usaha mikro dianggap sebagai ‘dewa penolong’ bagi perekonomian karena mampu menyelamatkan ribuan orang dari kehilangan pendapatan seperti yang dialami ribuan karyawan sektor perbankan.
Bertahannya sektor itu dari krisis tentu merupakan berkah tersendiri bagi lembaga keuangan mikro (LKM) yang menjadi pemasok dana utama. Krisis yang telah menjadi momok bagi pelaku pasar modal dan perbankan dan telah memakan korban perusahaan-perusahaan keuangan multinasional justru menjadi berkah tersendiri bagi LKM.
BERITA TERKAIT
Pada saat perbankan nasional mengalami kesulitan likuiditas dan kesulitan melempar dana, posisi LKM justru stabil dan semakin mantap. Dalam hal menghimpun dana dari masyarakat atau dari anggota, LKM tidak mengalami kesulitan berarti. “Karena LKM tumbuh dalam nuansa kekeluargaan atau yang diwujudkan dalam bentuk kelompok-kelompok komunitas sehingga memudahkan tumbuhnya kepercayaan,” kata Saat Suharto, CEO PT Permodalan BMT Ventura.
Begitu pula, lanjut dia, untuk urusan pembiayaan atau financing. Kondisi yang demikian itu hampir merata di setiap LKM. Seperti yang dapat dilihat juga pada LKM berbasis syariah, atau Baitul Maal wat Tamwil (BMT).
Tidak terintegrasinya LKM dengan sistem keuangan global, serta aktivitasnya yang lebih berorientasi pada pembiayaan di sektor riil dan usaha mikro yang memiliki local content tinggi, adalah penyebab utama institusi itu bisa bertahan.
Karena alasan itu pula, lembaga keuangan yang bisa berbentuk koperasi itu dinilai bisa bertahan ketika perekonomian nasional ‘terbatuk-batuk’ setelah diguncang pelarian modal Mei-Agustus lalu.
Meski begitu bukan berarti tidak ada dampak apapun bagi sektor usaha mikro ketika pemerintah menurunkan pertumbuhan ekonomi dan bank sentral menaikkan bunga acuan.
Bank Indonesia sendiri mengakui bahwa langkahnya mengerek BI Rate yang kini berada di level 7,25 persen akan memberi dampak negatif pada lembaga keuangan. “Kenaikan suku bunga bisa menaikkan NPL, apalagi kegiatan ekonomi juga tengah mengalami perlambatan,” kata Deputi Gubernur BI Halim Alamsyah. Ia menambahkan, bank sentral sudah melakukan strest testing atau pengujian perbankan ketika menghadapi situasi krisis seperti ini. Memang akan ada kenaikan NPL, namun sangat kecil. “Hanya naik sedikit nol koma sekian persen saja. Dan itu terjadi pada kredit-kredit kecil, terutama ke UKM (usaha kecil dan menengah),” kata Halim.
Pernyataan central banker itu seolah menguatkan kembali bahwa tidak ada sektor yang immun dari krisis keuangan, di saat hampir semuanya sudah saling terintegrasi.
Sementara itu, pengamat ekonomi Raden Pardede berpendapat senada dengan pejabat bank sentral. Menurut dia, kredit pinjaman usaha kecil dan menengah memang berpotensi meningkatkan rasio kredit bermasalah. Terlebih, bila perbankan dan pengusaha tidak melakukan penyesuaian pasca pelemahan nilai tukar rupiah dan kenaikan suku bunga acuan.
Raden yang juga menjadi Ketua Bidang Pengkajian dan Pengembangan di Perbanas ini menjelaskan, di balik pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS, sebetulnya UMKM bisa menjadikannya sebagai momentum untuk menggenjot ekspor, terutama bagi pengusaha UKM yang selama ini memang berorientasi ekspor. Namun, ia juga mengingatkan, tetap harus berdasarkan perhitungan yang matang, tepat dan akurat. Pasalnya, bila ekspor yang dilakukan berlebihan atau serampangan, itu juga tidak baik. “Dapat menggerogoti kualitas daya saing ekspor pengusaha tersebut,” ujar Raden.
Raden juga mengatakan, pelemahan nilai tukar rupiah dan kenaikan BI Rate yang dibarengi dengan naiknya suku bunga pinjaman berpotensi meningkatkan rasio NPL. Namun demikian dia meminta perbankan untuk menaikkan suku bunga pinjaman UKM secara bertahap. “Bertahap, bukan sekaligus, karena kalau tiba-tiba, NPL akan melonjak naik,” katanya.
Nada optimis juga datang dari Kementerian Koperasi dan UKM. Menteri Koperasi dan UKM Sjarifuddin Hasan yakin bahwa sektor koperasi dan usaha mikro tidak akan merasakan dampak yang signifikan atas pelemahan rupiah dan melemahnya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang terjadi baru-baru ini.
“Saya yakin tidak akan berdampak signifikan, hanya sedikit inflasi saja,” kata Sjarifuddin.
Nasib Usaha Kecil
Meski, pemerintah dan bank sentral terdengar tenang soal kemungkinan imbas pelemahan ekonomi ke sektor usaha mikro namun tidak bisa dipungkiri, banyak pelaku UKM yang mulai was-was. Bahkan, kabarnya ada yang telah siap-siap menutup usahanya bila kurs rupiah terus berada di posisi melemah.
Hal itu terutama datang dari UKM yang masih mengandalkan 60 persen materialnya berasal dari luar negeri. Depresiasi rupiah tentu membuat banyak pengusaha UKM kewalahan membeli bahan baku, apalagi pekerja juga sudah banyak yang menuntut peningkatan upah, karena melonjaknya biaya hidup.
Semuanya pada akhirnya membuat biaya operasional terus membengkak, dan pilihan yang tersedia adalah menghentikan usahanya daripada terus menerus merugi.
Pengamat Ekonomi UGM A. Tony Prasetiantono berpendapat, perlambatan ekonomi yang terjadi seperti saat ini pasti akan mempengaruhi ekonomi masyarakat menengah ke bawah dan UMKM. Sedangkan tidak demikian untuk segmen menengah ke atas. Segmen ini masih akan tetap tumbuh dengan baik. “Pertumbuhan kredit segmen menengah ke atas masih bisa berkisar di atas 20 persen,” kata Tony.
Situasi itu jelas bukan pertanda bagus buat pelaku usaha. Untuk itu banyak pelaku yang meminta agar pemerintah memberikan perhatian khusus pada sektor UKM ini. Hal itu disampaikan Ketua Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI) Jawa Barat, Yusuf Suhyar. Ia mengatakan, industri yang paling terkena dampak dari perlambatan ekonomi global adalah UKM yang menggunakan skema kontrak jangka pendek antara 1-2 bulan. Sementara UKM yang menggunakan skema kontrak jangka panjang minimal enam bulan, masih bisa sedikit bernafas lega, sambil berharap bakal terjadi perubahan dan lahirnya kebijakan strategis dari pemerintah. “Sayangnya, UKM yang meneken skema kontrak jangka pendek lebih banyak jumlahnya,” kata Yusuf.
Di Jawa Barat saja, lanjut dia, cukup banyak yang melakukan kontrak perdagangan jangka pendek. Mulai dari industri tekstil dan produk tekstil (TPT), industri kimia, dan lainnya.
Industri yang terlanjur meneken kontrak perdagangan jangka pendek, dapat dipastikan berpotensi menanggung kerugian cukup besar akibat nilai tukar rupiah yang terus berakrobat. Nasib yang hampir sama pun bakal menimpa kalangan industri manufaktur yang berorientasi ekspor. Volume ekspor yang terus menurun, akibat daya serap pasar dunia terus melemah.
Kondisi yang sama pun mengancam industri kecil rumahan. Pasalnya industri yang usahanya banyak dilakukan ibu-ibu rumah tangga ini banyak bermitra dengan industri skala menengah sampai besar baik berupa penyerapan produk maupun pembuatan komponen tertentu untuk memenuhi permintaan pasar internasional. Di samping itu, usaha kecil skala rumahan juga banyak mengekspor barang-barang produksinya.
Kesemuanya itu, kini tengah harap-harap cemas dengan dampak pelemahan ekonomi. Mereka sudah mulai mengalami penurunan pesanan baik dari mitra industri maupun pesanan dari importir di banyak negara.
Sebagai contoh adalah pengrajin bunga artifisial atau bunga kering seperti yang dilakoni PT Putri Sekar Kencana. Perusahaan itu telah bertahun-tahun memproduksi bunga kering berbahan baku kulit jagung (klobot) yang dipadukan dengan bahan lain seperti pita, kain, manik-manik selalu mengekspor produknya ke negara-negara Eropa.
“Posisi kami sulit, sebab banyak pesaing juga dari negara lain,” tutur Safni Yetty, pimpinan PT Putri Sekar Kencana.
Menggairahkan Industri
Melihat kesulitan dari sektor mikro jelas menimbulkan banyak tuntutan agar pemerintah turun tangan. Pada saat permintaan pasar luar negeri berkurang, pemerintah harus bisa menggenjot permintaan pasar domestik. Tingkat konsumsi dalam negeri yang sangat besar ini harus benar-benar dimanfaatkan dengan optimal untuk menyerap produk-produk UKM.
Chief Executive Officer Mark Plus & Co, Hermawan Kertajaya mengatakan, dalam menghadapi krisis ekonomi global, pemerintah harus mempertahankan potensi pasar domestik agar pengusaha, terutama UKM bisa tetap eksis. Tentu yang perlu diingat juga, para produsen harus mampu menghasilkan produk berdaya saing tinggi, guna menghadapi banjirnya barang-barang impor. “Peluang UKM tahun ini dan tahun depan masih cukup besar, khususnya bila mampu memanfaatkan momen penyelenggaraan pemilihan umum legislatif maupun pemilihan umum presiden,” kata dia.
Permintaan untuk menggarap pasar domestik memang sebuah hal yang lumrah mengingat besarnya potensi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik 2013 konsumsi rumah tangga menyumbang hingga 56 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Dengan potensi yang seperti itu, produsen dalam negeri harus mampu menggali lebih dalam. “Jika bukan produsen Indonesia yang memanfaatkan pasar dalam negeri, maka pengusaha asing yang akan memanfaatkannya,” kata Wakil Menteri Perdagangan (Wamendag) Bayu Krisnamurthi.
Menurut Bayu, banyak pengusaha asing yang sangat sadar dengan potensi pasar domestik Indonesia. Indonesia juga semakin dilirik karena setiap tahun jumlah kelas menengah terus bertambah. Hal itulah yang membuat daya beli masyarakat selalu mengalami peningkatan dalam kurun waktu lebih dari 5 tahun.
Jika penguatan pasar dalam negeri bisa terwujud maka hal itu bisa menyelamatkan pertumbuhan ekonomi nasional. “Dampaknya tentu akan sangat positif terhadap perekonomian Indonesia dan kesejahteraan masyarakat,” terang dia.
Bayu berharap, produk dalam negeri dapat bersaing dan dikenal luas di pasar global. Namun, sebelum eksis ke sana, produk Indonesia harus terlebih dahulu menaklukan pasar domestik.
Pemerintah, melalui Kementerian Perindustrian pernah menyatakan, akan melindungi pasar dalam negeri dari serbuan produk impor dengan mengeluarkan ketentuan Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk barang elektronik yang telah memiliki kompetensi tinggi.
Kemenperin juga tengah menyusun SNI wajib untuk 37 produk elektronik konsumsi, di samping penguatan balai besar bahan barang teknik serta Balai Riset dan Standarisasi (Baristan) Surabaya untuk uji laboratorium barang elektronik.
Data Badan Pusat Statistik 2013 juga menyebutkan, jumlah usaha UKM meningkat menjadi 56,5 juta dan memberikan memberikan kontribusi sebesar 97 persen terhadap penyerapan tenaga kerja.