Stabilitas.id – Kabut tipis masih menyelimuti perbukitan Pangalengan ketika rombongan tamu asing dan pejabat Indonesia menapakkan kaki di peternakan sapi Koperasi Peternakan Bandung Selatan (KPBS). Di antara deretan kandang, suara sapi bercampur riuh para peternak yang menyambut kedatangan Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar dan Wakil Presiden Swiss Guy Parmelin, Kamis pagi, 2 Oktober 2025.
Kunjungan itu bukan sekadar seremoni. Pangalengan kini menjadi panggung uji coba penting: digitalisasi ekosistem sapi perah lewat sistem Enterprise Resource Planning (ERP) yang merajut peternak rakyat, koperasi susu, dan industri dalam satu rantai modern. Sebuah model yang diharapkan mampu menjawab masalah klasik peternakan rakyat—mulai dari akses pembiayaan hingga efisiensi distribusi susu.
OJK menggandeng International Labour Organization (ILO) dan State Secretariat for Economic Affairs (SECO) asal Swiss untuk mewujudkan proyek ini. Bagi Mahendra, langkah ini adalah bagian dari strategi besar OJK: membangun ekonomi daerah berbasis komoditas unggulan dengan sentuhan teknologi finansial. “Salah satu program unggulan OJK adalah pengembangan ekonomi daerah melalui ekosistem keuangan yang kondusif dan berkelanjutan,” ujar Mahendra.
BERITA TERKAIT
Wakil Presiden Swiss, Guy Parmelin, menyebut pengalaman di Pangalengan memberi pelajaran berharga tentang agrikultur Indonesia. Ia menilai digitalisasi lewat platform ERP bukan hanya memudahkan peternak mengakses pembiayaan, tetapi juga meningkatkan produktivitas, yang pada akhirnya menyentuh kesejahteraan keluarga petani.
Lebih jauh, OJK menekankan pentingnya inovasi ini untuk kelompok underbanked dan unbankable. Hasan Fawzi, Kepala Eksekutif Pengawas Inovasi Teknologi Sektor Keuangan, menegaskan bahwa teknologi bisa menjadi jembatan antara peternak rakyat dan lembaga keuangan formal. “Digitalisasi ekosistem seperti di sektor sapi perah ini membuktikan bahwa teknologi mampu menyatukan sektor riil dengan sistem keuangan,” katanya.
KPBS sendiri bukan pemain baru. Sejak lama, koperasi ini menjadi penopang ekonomi daerah dengan membina lebih dari 4.500 peternak, mengelola populasi 15.553 sapi perah, dan menghasilkan rata-rata 80 ton susu segar per hari. Kini, lewat ERP, koperasi bukan hanya menjaga keberlanjutan bisnis, tetapi juga menata distribusi lebih efisien, memastikan kualitas produk, sekaligus memperluas akses keuangan anggotanya.
Pangalengan hanyalah awal. OJK dan ILO sudah merancang ekspansi proyek serupa ke Malang, Jawa Timur, dengan integrasi ERP ke Penyelenggara Pemeringkat Kredit Alternatif (PKA) dan Penyelenggara Agregasi Jasa Keuangan (PAJK). Dengan begitu, peternak rakyat bukan hanya mendapat pasar yang lebih terhubung, tapi juga skor kredit yang bisa menjadi pintu masuk ke sistem perbankan.
Kehadiran banyak pejabat dalam acara itu—mulai dari Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi Stella Christie, Deputi Kemenko Perekonomian Ali Murtopo Simbolon, hingga Sekretaris Daerah Jawa Barat Herman Suyatman—menjadi isyarat bahwa proyek ini dipandang lebih dari sekadar inovasi lokal. Ia adalah percobaan membangun laboratorium ekonomi inklusif: bagaimana teknologi, koperasi, dan regulasi bisa bertemu untuk memperkuat ekonomi daerah.
Bagi masyarakat Pangalengan, hasil akhirnya mungkin sederhana: harga susu lebih stabil, pendapatan lebih pasti, dan jalan menuju kemandirian semakin terbuka. Tapi di balik kesederhanaan itu, tersimpan pesan penting: digitalisasi bukan lagi milik kota, melainkan juga alat untuk menguatkan ekonomi desa. ***





.jpg)










