Klik tombol berikut ini untuk memesan edisi digital Majalah Stabilitas

Edisi 125 Nopember 2016

2
Dilihat
0
Bagikan
2
Dilihat

Pembaca yang budiman. Inklusi keuangan dan literasi keuangan menjadi isu sentral sejak dua tahun belakangan ini. Baik Bank Indonesia maupun Otoritas Jasa Keuangan, sama-sama berkeinginan agar masyarakat Indonesia lebih banyak lagi menggunakan layanan dari lembaga keuangan, khususnya perbankan.

BI mencoba mengakslerasi lewat program Layanan Keuangan Digital (LKD) dan OJK dengan program Layanan Keuangan Tanpa Kantor dalam Rangka Keuangan Inklusif (Laku Pandai). Kedua program tersebut intinya mencoba memanfaatkan kemajuan teknologi untuk menghadirkan layanan jasa keuangan ke tempat-tempat yang selama ini belum tersentuh lembaga keuangan formal. Bank pun didorong untuk menggaet agen agar dapat berperan sebagai ‘teller dadakan’ yang menjadi ujung tombak layanan yang baru.

Mengandalkan teknologi, si agen diharapkan dapat membantu bank menerima tabungan, proses kirim-terima uang dan beragam layanan keuangan lain di kawasan terpencil. Ironisnya, BI dan OJK seolah justru mena kan peran perusahaan- perusahaan telekomunikasi (telko) untuk berkontribusi memperluas akses masyarakat terhadap layanan keuangan. Melalui program LKD, BI memang telah memasukkan 5 perusahaan telko ke dalam jajaran penerbit uang digital (e-money). Namun diskriminasi dilakukan dengan dibatasinya perusahaan telko hanya boleh menggandeng agen berbadan hukum, sementara perbankan dibolehkan menggandeng agen perorangan.

BERITA TERKAIT

Memang hanya BI yang tampaknya mau mengakomodasi peran pelaku telko dalam layanan keuangan digital. Sedangkan OJK bahkan dengan tegas menganggap program Laku Pandai memang hanya diperuntukkan bagi bank dan belum membutuhkan “bantuan” dari perusahaan non bank, dalam hal ini merujuk pada perusahaan telko. Sikap BI dan OJK yang menganaktirikan perusahaan telko dalam upaya memperluas akses keuangan berbanding terbalik dengan data massifnya penetrasi kepemilikan ponsel di masyarakat.

Daily Social Annual Startup Report 2015 mencatat pengguna ponsel aktif di Indonesia saat ini mencapai 281,9 juta dari total penduduk hampir 250 juta jiwa. Artinya secara rata-rata tiap satu penduduk Indonesia memiliki 1,13 unit ponsel. Coba bandingkan dengan kiprah perbankan yang telah eksis demikian lama, namun jumlah kepemilikan rekening bank per akhir 2015 baru tercatat 60 juta saja. Karena itu, pada edisi kali ini Majalah Stabilitas bermaksud mengupas hal tersebut lebih dalam.

Nah, Majalah Stabilitas mengangkat tema itu dalam laporan utamanya kali ini. Pada tulisan awal akan dikupas kisah awal perkembangan industri keuangan yang semakin mengarah pada cashless society. Misalnya penggunaan sms banking, Internet banking dan semacamnya yang kian jamak meng-gantikan akti tas transaksi tunai di bank.

Selain itu kami juga akan mengulas sisi prudentialitas dari layanan via perusahaan telko serta apa saja yang sudah bisa dilayani oleh industri tersebut. Hal ini sebagai perbandingan dari layanan serupa yang sudah diterapkan perbankan.

Dalam tulisan berikut akan kami sajikan komparasi terkait perkembangan bisnis e-money di luar negeri yang banyak menggandeng perusahaan telko. Termasuk juga cara otoritas (lembaga pemerintah serupa BI dan OJK) dalam memperlakukan perusahaan telko terkait layanan jasa keuangan.

Harapan kami, sajian utama kali ini bisa menginsiprasi para pembaca sekalian dalam melihat potensi perusahaan telko untuk mendongkrak tingkat literasi keuangan di Indonesia.

 

Link untuk donwload versi PDF

Klik tombol berikut ini untuk memesan edisi digital Majalah Stabilitas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

BACA JUGA

Related Posts

TERPOPULER

Terbaru

STABILITAS CHANNEL

TWITTER STABILITAS

Welcome Back!

Login to your account below

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.