JAKARTA, Stabilitas.id — Munculnya fenomena risiko global yang berkaitan dengan peubahan iklim, penyakit menular, dunia bisnis juga dihadapkan pada risiko sustainabilitas yang menjadi perhatian bersama.
Hal ini diungkapkan Kepala Bank Indonesia Institute Solikin M. Juhro saat menyampaikan sambutannya dalam Penutupan Program SESPIBANK Angkatan 72 & 73 di Jakarta.
Solikin menambahkan, saat ini dunia bisnis sudah mengalami perubahan. Industri unggulan mulai berubah dan raksasa morporasi akan berganti dan sudah menjadi hal yang lumrah karena sudah mulai terjadi.
BERITA TERKAIT
“Ada begitu banyak leadership wisdom yang diperlukan untuk menghadapi masa depan dengan ciri yang demikian, dan saya akan menyampaikan lima catatan (insights) yang bersifat makro,”ujar Solikin.
Pertama, future legacy yang merupakam cara yang terstruktur dan sistematis dalam menggunakan ide-ide tentang masa depan agar lebih baik dalam mengantisipasi dan mempersiapkan perubahan.
“Bagaimana mengeksplorasi berbagai kemungkinan di masa mendatang, sehingga kita bisa lebih efektif mengelola dan memanfaatkan perubahan konstan yang terjadi di sekitar kita hari ini,”imbuh Solikin.
Kemampuan kedua yang diperlukan adalah proactive respons. Dengan memahami masa depan, seorang pemimpin bisa dengan jernih melihat situasi masa kini maupun masa depan sehingga bisa mengambil mengambil respons yang lebih proaktif.
“Dalam kaitan ini, leadership, skills profile dan pengembangan talent, serta transformasi digital menjadi lebih strategis dan imperative, ketika kita bicara tentang sektor keuangan dan perbankan,”lanjutnya.
Ketiga, inklusivitas dengan mendengungkan semangat, no one left behind.
Keempat, memiliki semangat green mindset. Ancaman krisis perubahan iklim sudah sedemikian nyata. Sementara itu penyelesaian masalah ini tidak bisa diserahkan sepenuhnya pada pemerintah.
“Masalah lingkungan adalah masalah bersama, sehingga harus ditangani bersama pula. Karena itu setiap pemimpin perlu membawa keprihatinan lingkungan ini dalam keseluruhan proses bisnis dalam organisasinya,”beber Solikin.
Kelima, semakin pentingnya kolaborasi yang katalitis (catalytic collaboration).
“Di era yang dipenuhi dengan ketidakpastian, betapa hebatnya suatu organisasi, tidak akan mampu bekerja sendiri,”kata Solikin.
Oleh Karena itu, lanjutnya, para otoritas kebijakan, pelaku di sektor keuangan (industri, professional), dan kalangan akademis dituntut untuk mengembangkan novel practice serta menjalin kolaborasi yang katalitis dengan berbagai pihak secara luas.
“Tentu saja dengan mengutamakan pembelajaran, saling share informasi secara luas, serta membangun network untuk memperluas perspektif kebijakan yang akan diambil,”pungkasnya.***





.jpg)










