Bank seharusnya bukan sekadar perusahaan pemburu keuntungan (profit oriented). Sebab, dalam sistem perekonomian suatu negara, peran lembaga keuangan ini teramat vital. Jika dalam tubuh ada darah yang berfungsi untuk mengantarkan zat-zat penting ke seluruh jaringan organ penting, maka bank memerankan peran yang sama dalam sebuah sistem perekonomian. Singkatnya, perbankan memungkinkan intermediasi antara pihak-pihak yang butuh dana dan mereka yang kelebihan dana berjalan dengan efektif.
Tentu saja lembaga nonbank yang lain juga bisa menjadi lembaga intermediasi. Misalnya saja koperasi simpan pinjam. Namun, di dalam sistem perekonomian modern, boleh dikatakan, tidak ada satupun lembaga keuangan yang memiliki pengaruh sebesar bank jika menyangkut intermediasi.
Di Tanah Air, pengaruh intermediasi bank ini juga kian tanpa saingan karena mendapat pengesahan Undang-Undang No.7 tahun 1992, yang pada intinya hanya membolehkan bank sebagai satu-satunya lembaga penghimpun dan penyalur dana di dalam negeri. Dengan perannya yang demikian besar ini, tak heran jika maju mundurnya perekonomian Indonesia sangat tergantung dengan efektivitas sistem perbankan. Malahan, secara global melihat besarnya peran perbankan, boleh kita katakan, kehancuran suatu sistem perbankan hampir pasti akan membuat perekonomian suatu negara juga ikut terpuruk.
Contoh untuk itu sangat banyak, terutama yang saat ini tengah berlangsung di kawasan Eropa. Indonesia sendiri pernah mengalami krisis multidimensi pasca berdarah-darahnya sistem perbankan nasional di tahun 1997-1998. Sementara perekonomian negara-negara Eropa dan Amerika menuai badai dari porak-porandanya sistem perbankannya di tahun 2007-2008.
Berkaca dari pengalaman masa lalu, penguatan sistem perbankan pun telah jadi agenda tetap pemeritah kita. Tujuannya jelas agar perekonomian nasional tidak terjerumus dalam lubang yang sama seperti di masa lampau. Nah, salah satu upaya penguatan sistem perbankan tadi adalah mendorong agar fungsi intermediasi perbankan berkerja secara optimal. Sederhananya, diupayakan agar dana-dana yang dihimpun oleh bank dapat tersalurkan kepada pihak- pihak yang membutuhkan dengan tepat sasaran.
Salah satu indikator untuk menilai apakah peran intermediasi perbankan sudah optimal atau belum, dapat kita lihat dari perbandingan antara jumlah dana yang dihimpun bank dengan yang disalurkannya. Dalam perbankan indikator ini dapat kita lihat pada rasio pinjaman terhadap dana pihak ketiga atau loan to deposit ratio (LDR).
Semakin besar rasio ini maka bank dianggap semakin optimal dalam menjalankan fungsi intermediasinya. Jika mengacu pada Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 12/ 19 / PBI/2010, LDR suatu bank dianggap baik apabila berada pada kisaran 78 persen sampai 100 persen. Berdasarkan regulasi ini, bank baru dianggap optimal hanya jika mampu mendistribusikan 78 hingga 100 persen dari dana yang ia himpun kepada nasabah peminjam. Bila kurang atau lebih dari angka itu maka fungsi intermediasi bank dinilai tidak optimal.
Hanya saja indikator LDR memiliki kelemahan. Khususnya karena LDR tidak dapat menjelaskan kepada pihak mana saja bank menyalurkan pembiayaannya. Jadi, bila cuma bersandar pada LDR, maka efektivitas intermediasi bank bisa menjadi semu. Terlihat bagus, tetapi sesungguhnya tidak tepat sasaran.
Ilustrasinya sebagai berikut: Bank A memiliki LDR sebesar 80 persen. Rasio ini jika menurut ketentuan BI sudah dianggap bagus. Namun jika dibedah lebih dalam, ternyata penyaluran dana Bank A hampir 100 persen pada kredit konsumtif. Oleh karena itu, selain LDR, untuk menilai efektivitas fungsi intermediasi bank perlu dilihat juga dari sisi kemana saja dana yang dihimpun bank tadi disalurkan. Secara garis besar, jenis pembiayaan yang dapat diberikan bank bisa dibagi dua, yaitu kredit konsumtif dan kredit produktif.
Untuk kredit produktif, bila kita menggunakan definisi BI, dapat dibagi lagi menjadi dua, yakni kredit modal kerja dan kredit investasi. Sesuai namanya kredit modal kerja adalah fasilitas pembiayaan yang diberikan untuk memenuhi kebutuhan dana operasional perusahaan selama satu periode.
Sementara kredit investasi merupakan jenis pembiayaan jangka menengah dan panjang. Umumnya kredit ini diberikan untuk ekspansi usaha, seperti untuk pembelian mesin-mesin, bangunan, dan tanah untuk pabrik. Adapun kredit konsumsi adalah kredit yang digunakan untuk membeli sesuatu yang sifatnya konsumtif, seperti membeli rumah atau kendaraan pribadi.
Dari jenis-jenis di atas, kredit produktif dianggap berefek lebih positif bagi kinerja perekonomian negara ketimbang kredit konsumsi. Dengan asumsi ini, semakin tinggi kredit produktif yang dibiayai oleh bank maka dapat dianggap semakin efektif juga fungsi intermediasinya. Sebaliknya, kian tinggi kredit konsumtif yang dibiayai bank maka kian tidak efektif pula fungsi intermediasinya.
Namun, dengan hanya menjadikan besarnya nilai kredit produktif semata- mata sebagai indikator untuk menilai baik buruknya fungsi intermediasi bank, sebenarnya kurang tepat juga. Pasalnya, kita tidak bisa memastikan apakah kredit produktif yang diberikan bank telah menyasar pada sektor yang tepat atau belum.
Dikatakan tepat apabila kredit produktif tersebut disalurkan pada sektor yang memiliki pengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Untuk menjelaskannya, kita ambil ilustrasi Bank A yang komposisi pembiayaan didominasi jenis kredit produktif. Namun kebanyakan pembiayaannya disalurkan pada sektor B yang kurang signifikan pada pertumbuhan ekonomi.
Sementara untuk sektor C yang memiliki pengaruh tinggi terhadap perekonomian justru hanya mendapat jatah minim. Dengan kata lain, jika Bank A lebih banyak menyalurkan kredit ke sektor C daripada B maka fungsi intermediasinya akan lebih efektif. Berdasarkan asumsi di atas, maka untuk mengetahui efektivitas fungsi intermediasi suatu bank, kita perlu tahu terlebih dahulu sektor-sektor mana saja yang memiliki pengaruh paling signifikan terhadap kinerja perekonomian nasional.
Dengan begitu, kita bisa melihat apakah penyaluran kredit yang dilakukan perbankan selama ini telah tepat, dalam arti disalurkan pada sektor yang dominan menunjang pertumbuhan ekonomi, atau tidak.
Belum Tepat Sasaran
Lantas, bagaimana fakta di lapangan, apakah peran intermediasi yang dijalankan oleh perbankan nasional sudah efektif atau belum? Untuk itu kita perlu melihat ketiga indikator yang telah disebutkan di atas, yaitu LDR, komposisi jenis kredit, dan komposisi kredit per sektor usaha. Dilihat dari sisi LDR, sepanjang tahun lalu, rasionya mencapai 78,77 persen, naik tipis dari tahun 2010 yang sebesar 75,92 persen. Kalau memakai aturan BI, artinya fungsi intermediasi perbankan bisa dianggap optimal.
Begitu juga bila kita tinjau dari sisi komposisi jenis kredit, efektivitas peran intermediasi perbankan nasional relatif baik. Hal ini karena kredit produktif mampu mendominasi hingga 69,68 persen dari total dana yang disalurkan perbankan pada tahun 2011. Sementara kredit konsumtif hanya sebesar 30,32 persen.
Lalu bagaimana dengan komposisi kredit per sektor usaha? Secara garis besar, Badan Pusat Statistik (BPS) membagi dua sektor utama yang mempengaruhi pertumbuhan perekonomian, diindikasikan dengan Produk Domestik Bruto (PDB), yakni sektor pedagangan (tradable) dan non perdagangan (nontradable).
Sektor tradable dibagi lagi menjadi tiga, yaitu sektor (1) Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan, (2) Pertambangan dan Penggalian, serta (3) Industri Pengolahan. Sementara sektor nontradable dibagi enam, yaitu sektor (1) Listrik, Gas, dan Air Bersih, (2) Kostruksi, (3) Perdagangan, Hotel, dan Restoran, (4) Pengangkutan dan Komunikasi, (5) Keuangan, Real Estate, dan Jasa Perusahaan, serta (6) Jasa-Jasa.
Berdasarkan data BPS, sepanjang tahun 2011 lalu, ternyata sektor tradable memiliki pengaruh yang sedikit lebih signifikan terhadap PDB ketimbang sektor nontradble. Sektor tradable memberikan sumbangan 50,94 persen pada pertumbuhan ekonomi, sedangkan nontradble ‘hanya’ 49,06 persen.
Akan tetapi, jika kita lihat data penyaluran kredit perbankan di periode yang sama, justru bank-bank di Tanah Air lebih memilih menggelontorkan dana ke sektor nontradble, yaitu 75,13 persen dari total kredit perbankan. Sementara jatah kredit sektor tradable jauh tertinggal, hanya 24,87 persen dari total kredit perbankan nasional.
Mengacu data tersebut, tentu saja ini bertentangan tesis yang dikemukan di atas, bahwa untuk mengoptimalkan fungsi intermediasi, seharusnya bank menyalurkan kredit kepada sektor yang paling signifikan mendongkrak PDB, yakni sektor tradable. Sementara dalam praktiknya, kredit perbankan malah sangat dominan didistribusikan ke sektor nontradble.
Kalau kita lihat lebih dalam lagi data BPS sepanjang tahun lalu, dari sembilan sektor yang berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi, maka urutan pertama diduduki sektor Industri Pengolahan, yang memberikan sumbangan sebesar 24,28 persen terhadap PDB. Disusul kemudian diperingkat kedua sektor Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan dengan kontribusi 14,72 persen terhadap PDB.
Namun, dari sisi penyaluran kredit oleh perbankan, bukan kedua sektor di atas yang menjadi juara. Pasalnya, perbankan ternyata lebih memilih menyalurkan dana ke sektor Perdagangan, Hotel, dan Restoran, dengan nilai kredit sebesar 18,43 persen dari total kredit perbankan nasional. Padahal sektor ini ‘hanya’ menempati posisi ketiga dengan sumbangan sebesar 13,76 persen terhadap PDB.
Berdasarkan semua fakta di atas, kesimpulan yang bisa kita ambil adalah fungsi intermediasi perbankan nasional ternyata belum sepenuhnya efektif. Memang dari sisi LDR dan komposisi jenis kredit, perbankan sudah cukup optimal. Tetapi tidak demikian jika dari sisi sasaran pembiayaan per sektor usaha.