Perlindungan konsumen di lini asuransi jiwa masih banyak dikeluhkan di tengah rendahnya literasi dan maraknya praktik fraud. Dibutuhkan kehadiran sebuah lembaga independen yang akan jadi penengah, sekaligus sebagai jaminan kepastian hukum jika ada sengketa antara perusahaan dan nasabah.
Oleh Romualdus San Udika
Mungkin berlebihan jika dikatakan bahwa reputasi perusahaan-perusahaan asuransi saat ini sedang berada ke pinggir jurang. Tetapi dengan banyaknya permasalahan yang mencoreng citra sektor proteksi ini kondisi itu bisa terjadi tidak ama lagi.
Ketika literasi nasabah industri asuransi yang lemah berhadapan dengan kerumitan yang ada jika mereka ingin memahami produk-produk yang ditawarkan perusahaan. Jadilah nasabah mengambil jalan pintas dengan mempercayai begitu saja janji manis sang agen yang di kemudian hari kerap kali memunculkan sengketa.
BERITA TERKAIT
Jika sudah masuk dalam tahap sengketa di ranah hukum, acap kali nasabah menjadi pihak yang paling lemah dan dirugikan. Itulah yang kemudian memaksa konsumen untuk memilih bilik pengaduan yang ada di lembaga pengawas sektor keuangan di saat mereka menemui masalah dengan perusahaan asuransi.
Tidak mengherankan jika pengaduan konsumen asuransi selalu memenuhi daftar teratas di catatan Otoritas Jasa Keuangan. Menurut Kepala Departemen Perlindungan Konsumen OJK, Agus Fajri Zam, pengaduan dari masyarakat terhadap industri asuransi meningkat yang didominasi ketidaksesuaian penjualan, terutama terkait produk asuransi yang dikaitkan investasi (PAYDI) atau unitlink oleh agen atau tenaga pemasar produk asuransi.
Pada 2019 ada sebanyak 360 pengaduan, kemudian tahun 2020 meningkat menjadi 593 pengaduan, dan hingga triwulan pertama 2021 telah mencapai 273 aduan. Meskipun semua pengaduan bisa diselesaikan secara internal dan sebagian besar bisa diselesaikan, tren peningkatan pengaduan bukanlah sinyal yang baik.
Secara umum permasalahan yang paling banyak diadukan adalah pertama, ketidaksesuaian informasi awal yang disampaikan oleh agen dengan produk yang dijual. Kedua, pengaduan karena turunnya nilai investasi. “Dijanjikan segini, ketika diklaim hanya segini (lebih kecil -red). Ini yang kadang menjadi keributan,” kata Agus.
Kemudian, kebanyakan dari pengaduan yang disampaikan juga meminta agar premi yang sudah dibayarkan selama beberapa periode dapat dikembalikan seluruhnya secara utuh. Padahal diketahui, ada dua komponen yaitu komponen asuransi dan komponen investasi. Tak hanya itu, pengaduan lainnya yakni perihal kesulitan dalam memproses klaim yang sudah jatuh tempo tapi belum juga dibayarkan.
Agus menilai pengaduan terkait produk unitlink tersebut bisa disebabkan berbagai faktor dan pelaku, mulai dari perusahaan, agen, atau bahkan masyarakat selaku nasabah itu sendiri. Dari sisi nasabah, selain yang benar-benar terkena fraud,i faktanya masih banyak yang minim pengetahuan atau belum memiliki awareness terkait risiko dari produk asuransi yang dibarengi dengan investasi. Sementara dari sisi perusahaan, kebanyakan masalah timbul akibat penawaran produk yang kurang memiliki transparansi. Misalnya, tidak mengungkap histori kinerja, menekankan kata tabungan agar dianggap tidak berisiko, atau menjamin kepastian bahwa nasabah bakal mendapat profit.
Otoritas tentu tidak menginginkan reputasi asuransi rusak hanya karena literasi nasabah yang rendah dimanfaatkan oleh sebagian tenaga pemasar untuk berbuat curang. Dalam jangka panjang hal itu akan membuat resistensi masyarakat terhadap asuransi makin membesar.
Sejatinya OJK telah mengatur terkait perlindungan konsumen melalui POJK No.1/POJK.07/2013 Tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan. Namun pada kenyataannya masih banyak kasus-kasus kecurangan yang pada akhirnya berujung gagal bayar yang pada akhirnya merontokkan reputasi industri asuransi.
Kenyataan itu tidak bisa dilepaskan dengan tingkat literasi masyarakay yang masih semenjana. Berdasarkan hasil survei nasional literasi 2019, indeks literasi asuransi penduduk Indonesia itu adalah sebesar 19,40 persen, hampir separo dar tingkat literasi perbankan. Hanya sekitar 21 orang yang kenal dan paham asuransi dari 100 orang yang ada di Indonesia.
Rendahnya tingkat literasi ini akan menerbitkan terjadinya risiko ketidaksesuaian penjualan produk lantaran perusahan asuransi kesuitan memasarkan produk dengan spesifikasi relatif kompleks kepada nasabah. Pada ujungnya kondisi ini membuat penetrasi asuransi di Indonesia relatif rendah dibanding dengan negara tetangga di ASEAN.
Dewan Penasihat Indonesia Financial Group Progress Agus Martowardojo mengatakan hambatan utama pendalaman di pasar keuangan asuransi yakni perlindungan konsumen dan literasi. Dia berharap perlindungan konsumen asuransi bisa terus diperbaiki ke depannya. “Kita banyak mendengar di Indonesia ada perusahaan-perusahaan asuransi yang bermasalah dan menyusahkan pemegang polis,” ujar Agus April lalu.
Perlindungan konsumen ini perlu mendapat dukungan sumber daya manusia, permodalan dan kemampuan inovasi produk yang baik. “Jangan membuat produk yang terlalu menjanjikan return atau hasil yang terlalu tinggi,” kata Agus.
Jaga Keseimbangan
Regulator mengakui bahwa perlindungan konsumen dalam industri asuransi memang masih perlu ditingkatkan. Namun demikian Otoritas Jasa Keuangan tidak boleh gegabah langsung menerbitkan aturan yang hanya mengutamakan kepentingan konsumen semata.
Sebagai lembaga pengawas sektor keuangan OJK harus adil dan berimbang dalam mengatur industri. “Terkait hal ini, ada tiga unsur penting yang harus berkerja sama, yaitu dari sisi lembaga, perusahaan, dan konsumen itu sendiri,” ungkap Anggota Dewan Komisioner Bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen OJK Tirta Segara dalam diskusi virtual bersama LPPI, akhir Juni 2021 lalu.
Ketiga unsur ini harus mencermati secara bersama mengingat dari sisi pelaku jasa keuangan industri asuransi, secara umum perusahaan asuransi komersial mampu menunjukkan kinerja cukup baik per April 2021, dengan nilai aset masih tumbuh 9,8 persen (year-on-year) menjadi ke kisaran Rp760 triliun, dan pendapatan premi tumbuh 16,6 persen (yoy) ke sekitar Rp101 triliun. “Sayangnya, di balik pertumbuhan ini, timbul pemberitaan negatif, terutama terkait asuransi gagal bayar dan kerugian konsumen asuransi unit link. Ini yang harus kita perbaiki bersama,” kata Tirta.
OJK sendiri berupaya mengatasi beberapa temuan ini lewat pengawasan market conduct, di samping sisi prudential dan kesehatan perusahaan. OJK juga terus mengawasi setiap aktivitas pelaku industri asuransi, mulai dari peluncuran produk, purna jual, sampai penanganan pengaduan, karena LJK yang sehat menurut indikator prudential, belum tentu ideal dalam memenuhi indikator market conduct.
Di samping itu untuk meningkatkan perlindungan nasabah OJK mengakui bahwa industri membutuhkan kehadiran lembaga baru, yaitu Lembaga Penjamin Polis. Tirta berharap dengan adanya Lembaga Penjamin Polis, akan membuat kepercayaan masyarakat terhadap industri perasuransian meningkat.
Sementara itu Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) juga angkat bicara mengenai risiko tergerusnya kepercayaan publik terhadap industri jasa keuangan yang satu ini. Selain kasus aduan terhadap produk unit link, kasus gagal bayar perusahaan asuransi juga menjadi sorotan utama nasabah belakangan ini, apalagi kasus tersebut terjadi pada perusahaan-perusahaan besar.
BPKN pada 2019 telah memberikan rekomendasi terkait asuransi kepada Presiden Joko Widodo. Dalam Peraturan Presiden (Perpres) No.50 Tahun 2017 tentang Strategi Nasional Perlindungan Konsumen Tahun 2017 yang menetapkan sektor keuangan sebagai salah satu sektor prioritas.
BPKN mencatat bahwa krisis likuiditas yang terjadi di PT Asuransi Jiwasraya, Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera, dan PT Asuransi Jiwa Kresna Life adalah kasus sektor keuangan yang menjadi sorotan publik dan merugikan konsumen.
Ketua BPKN Rizal E Halim menyatakan akan terus berkomitmen pada perlindungan hak para korban Jiwasraya yang masih belum dibayarkan. Menurutnya, meski Jiwasraya telah memberikan opsi restrukturisasi yang ditawarkan ke nasabah, namun Jiwasraya tidak boleh merugikan hak konsumen dan tetap mengedepankan unsur keadilan serta kepastian hukum.
Terkait pendirian Lembaga Penjamin Polis, BPKN juga mendorong pemerintah untuk merealisasikan pembentukannya guna menjamin kepastian hukum perlindungan terhadap konsumen industri asuransi, seperti yang telah diamanatkan oleh Undang-undang No.40 Tahun 2014 tentang perasuransian.
Sektor perasuransian nasional telah menghasilkan berbagai variasi produk yang dapat dinikmati oleh nasabah. Bahkan kemajuan teknologi telekomunikasi dan informatika telah memperluas ruang penetrasi pasar asuransi, melintasi batas-batas ekslusifitas wilayah di Tanah Air. Kondisi yang demikian pada satu pihak mempunyai manfaat bagi nasabah, karena kebutuhan proteksi yang semakin meningkat,, dihadapkan dengan aneka pilihan jasa asuransi yang sekiranya sesuai dengan keinginan dan kemampuan konsum.
Namun di sisi lain, kondisi dan fenomena tersebut di atas dapat mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan nasabah selaku konsumen menjadi tidak seimbang. Dan pada kenyataannya masih banyak nasabah berada pada posisi yang lemah. Ada kesan nasbah asuransi menjadi objek untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya melalui kiat promosi, cara penjualan yang menjebak, namun tidak disertai penerapan perjanjian standar yang benar dan mudah dipahami nasabah.
Celakanya, ada pula faktor utama yang menjadi kelemahan nasabah adalah tingkat kesadaran konsumen akan haknya masih rendah. Hal ini terutama disebabkan oleh rendahnya pendidikan konsumen. Oleh karena itu, perlindungan nasabah di sektor asuransi membutuhkan perhatian khusus dari bebagai pihak baik regulator maupun pelaku industri asuransi dengan melakukan upaya pemberdayaan konsumen melalui literasi dan sosialisasi.
Ini penting dilakukan karena tidak mudah mengharapkan kesadaran pelaku usaha yang pada dasarnya prinsip ekonomi adalah mendapat kentungan yang semaksimal mungkin dengan modal seminimal mungkin. Prinsip ini sangat potensial merugikan kepentingan konsumen, baik secara langsung maupun tidak langsung. Maka atas dasar kondisi tersebut, perlu penguatan regulasi yang dapat melindungi kepentingan nasabah, hingga sebuah lembaga khusus perlindungan bagi polis asuransi.
Sejatinya OJK telah mengatur terkait perlindungan konsumen melalui POJK Nomor : 1/POJK.07/2013 Tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan. Konsumen sangat diutamakan dalam peraturan ini. Ini terlihat bagaimana perumusan mengenai perlindungan konsumen industri jasa keuangan sangat lengkap. OJK pun terus mengawasi jasa keuangan melalui koordinasi antara OJK, otoritas moneter, pemerintah dan LPS, yang telah diatur dalam UU OJK.
Modus dan Pengaduan
Seharusnya, kehadiran regulasi dan koordinasi pengawasan ini semakin mendorong bertambahnya lembaga keuangan yang sehat, efektif dan melayani nasabah dengan baik. Itu merupakan elemen penting terciptanya daya tahan industri keuangan ketika mengalami gejolak, seperti pandemi saat ini.
Namun, hingga kini masih banyaknya aduan nasabah asuransi kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terkait produk asuransi yang dibelinya menandakan bahwa pemberdayaan konsumen dan profesionalisme kerja para agen penjual produk asuransi belum berjalan seimbang.
Dari catatan OJK, pengaduan konsumen industri asuransi terus meningkat sejak beberapa tahun terakhir, bahkan menduduki urutan kedua untuk jumlah pengaduan konsumen tertinggi. Menurut Kepala Departemen Perlindungan Konsumen OJK, Agus Fajri Zam, pengaduan dari masyarakat terhadap industri asuransi meningkat yang didominasi ketidaksesuaian penjualan, terutama terkait produk asuransi yang dikaitkan investasi (PAYDI) atau unit-linked oleh agen atau tenaga pemasar produk asuransi.
Menurut Agus, pada tahun 2019 ada sebanyak 360 pengaduan, kemudian tahun 2020 meningkat menjadi 593 pengaduan, dan hingga triwulan I 2021 telah mencapai 273 aduan. Untungnya, semua pengaduan bisa diselesaikan secara internal dan bisa memfasilitasi untuk menyelesaikan komplain ini.
Secara umum permasalahan yang paling banyak diadukan adalah pertama, ketidaksesuaian informasi awal yang disampaikan oleh agen dengan produk yang dijual. Kedua, pengaduan karena turunnya nilai investasi. “Dijanjikan segini, ketika diklaim hanya segini (lebih kecil -red). Ini yang kadang menjadi keributan,” kata Agus.
Kemudian, kebanyakan dari pengaduan yang disampaikan juga meminta agar premi yang sudah dibayarkan selama beberapa periode dapat dikembalikan seluruhnya secara utuh. Padahal diketahui, ada dua komponen yaitu komponen asuransi dan komponen investasi. Tak hanya itu, pengaduan lainnya yakni perihal kesulitan dalam memproses klaim yang sudah jatuh tempo tapi belum juga dibayarkan.
Agus menilai pengaduan terkait unit-linked tersebut bisa disebabkan berbagai faktor dan pelaku, mulai dari perusahaan, agen, atau bahkan masyarakat selaku nasabah itu sendiri. Dari sisi nasabah, selain yang benar-benar terkena fraud, faktanya masih banyak yang minim pengetahuan atau belum memiliki awareness terkait risiko dari produk asuransi yang dibarengi dengan investasi. Sementara dari sisi perusahaan, kebanyakan masalah timbul akibat penawaran produk yang kurang memiliki transparansi. Misalnya, tidak mengungkap histori kinerja, menekankan kata tabungan agar dianggap tidak berisiko, atau menjamin kepastian bahwa nasabah bakal mendapat profit.
Dari hasil pemetaan OJK, proses pemasaran yang menyerupai bisnis Multi Level Marketing (MLM) pun menjadi salah satu penyebab fraud. Karena lebih menekankan bonus pendapatan, dan banyaknya agen tidak tersertifikasi. Sistem ini membuat kecenderungan agen tidak memberikan pemahaman kepada konsumen dengan baik. Pada kondisi tersebut, sisi perlindungan konsumen menjadi terabaikan.
Dengan kenyataan tersebut, OJK menilai perlindungan konsumen dalam industri asuransi masih perlu ditingkatkan. OJK selaku regulator terus berupaya mencari titik keseimbangan agar industri asuransi tumbuh secara berkelanjutan. Tujuannya, melindungi konsumen dan investor sehingga pertumbuhan industri sejalan dengan perlindungan konsumen, tanpa terjadi moral hazard atau kehilangan trust dari pasar.
Pasalnya, terlalu memberikan kenyamanan buat konsumen akan menimbulkan moral hazard. Sebaliknya, mendorong pertumbuhan industri tanpa adanya perlindungan konsumen akan menyebabkan kehilangan kepercayaan “Terkait hal ini, ada tiga unsur penting yang harus berkerja sama, yaitu dari sisi lembaga, perusahaan, dan konsumen itu sendiri,” ungkap Anggota Dewan Komisioner Bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen OJK Tirta Segara dalam diskusi virtual bersama LPPI, akhir Juni 2021 lalu.
Ketiga unsur ini harus mencermati secara bersama mengingat dari sisi pelaku jasa keuangan industri asuransi, secara umum perusahaan asuransi komersial mampu menunjukkan kinerja cukup baik per April 2021, dengan nilai aset masih tumbuh 9,8 persen (year-on-year) menjadi ke kisaran Rp760 triliun, dan pendapatan premi tumbuh 16,6 persen (yoy) ke sekitar Rp101 triliun. Sayangnya, di balik pertumbuhan ini, timbul pemberitaan negatif, terutama terkait asuransi gagal bayar dan kerugian konsumen asuransi unit link. Ini yang harus kita perbaiki bersama,” pungkas Tirta.
Menjaga Reputasi
Dari sisi kelembagaan, OJK sendiri berupaya mengatasi beberapa temuan ini lewat pengawasan market conduct, di samping prudential atau kesehatan perusahaan. Selain itu, dengan menerbitkan beberapa regulasi baru. OJK juga terus mengawasi setiap aktivitas pelaku industri asuransi, mulai dari peluncuran produk, purna jual, sampai penanganan pengaduan, karena LJK yang sehat menurut indikator prudential, belum tentu ideal dalam memenuhi indikator market conduct.
Sementara lembaga lain yang ikut menunjang kinerja OJK, di antaranya konsultan, pengadilan, Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (LAPS). Di mana sejak Januari sampai Juni 2021, sengketa terkait industri asuransi telah mencapai 13 persen dari 461 kasus lembaga jasa keuangan. Akan tetapi, salah satu hal yang masih jadi pekerjaan rumah menurut Tirta adalah dari sisi kelembagaan, yaitu belum terbentuknya Lembaga Penjamin Polis. OJK akan ikut mendorong pembentukan lembaga ini.
Tirta berharap dengan adanya Lembaga Penjamin Polis, ke depan kepercayaan masyarakat terhadap industri perasuransian meningkat, sehingga mampu ikut mendorong minat menggunakan jasa asuransi. Selebihnya, OJK masih berharap sisi konsumen itu sendiri mau untuk ikut berkembang meningkatkan pengetahuan.
Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) juga angkat bicara mengenai risiko tergerusnya kepercayaan publik terhadap industri jasa keuangan yang satu ini. Selain kasus aduan terhadap produk unit link, kasus gagal bayar perusahaan asuransi juga menjadi sorotan utama nasabah belakangan ini, apalagi kasus tersebut terjadi pada perusahaan-perusahaan besar.
BPKN pada 2019 telah memberikan rekomendasi terkait asuransi kepada Presiden Joko Widodo. Dalam Peraturan Presiden (Perpres) No.50 Tahun 2017 tentang Strategi Nasional Perlindungan Konsumen Tahun 2017 yang menetapkan sektor keuangan sebagai salah satu sektor prioritas.
BPKN mencatat bahwa krisis likuiditas yang terjadi di PT Asuransi Jiwasraya, Asuransi Jiwa Bersama Bumiputera, dan PT Asuransi Jiwa Kresna Life adalah kasus sektor keuangan yang menjadi sorotan publik dan merugikan konsumen.
Ketua BPKN Rizal E Halim menyatakan akan terus berkomitmen pada perlindungan hak para korban Jiwasraya yang masih belum dibayarkan. Menurutnya, meski Jiwasraya telah memberikan opsi restrukturisasi yang ditawarkan ke nasabah, namun Jiwasraya tidak boleh merugikan hak konsumen dan tetap mengedepankan unsur keadilan serta kepastian hukum.
Terkait pendirian Lembaga Penjamin Polis, BPKN juga mendorong pemerintah untuk merealisasikan pembentukannya guna menjamin kepastian hukum perlindungan terhadap konsumen industri asuransi, seperti yang telah diamanatkan oleh Undang-undang No.40 Tahun 2014 tentang perasuransian. ***





.jpg)










