Isu pembatasan gaji bankir-bankir papan atas, tak dipungkiri mencuat karena adanya krisis di AS dan Eropa. Karena masih banyaknya bankir-bankir yang mendapat gaji tinggi meski banknya merugi dan harus mendapatkan suntikan dana pemerintah, desakan agar kompensasi bankir dibatasi pun mencuat. Meski demikian hal itu, menurut Ryan Kiryanto, Vice President Investor & Public Relation BNI, tidak harus diikuti oleh perbankan di Indonesia. “Aneh bin lucu kalau negara-negara Eropa dan AS yang gagal lantas Indonesia harus mengadopsinya padahal negara ini sudah benar dalam menjalankan praktik perbankannya,” kata dia saat menemui Romualdus San Udika dari Majalah Stabilitas Perbankan. Lalu apa yang harus dilakukan pelaku perbankan dan otoritas terkait masalah kompensasi bankir yang teramat tinggi ini? berikut petikannya:
Apa yang melandasi sistem remunerasi bagi pejabat-pejabat di perbankan Indonesia?
Sistem remunerasi di perbankan Indonesia mendasarkan diri pada prinsip equal pay for equal job. Dalam arti seseorang dihargai karena kompetensi dan profesionalismenya. Semakin tinggi level dan kedudukannya, juga semakin besar ruang lingkup tanggung jawab atas risiko yang diembannya, semakin besar pula paket remunerasinya.
Bagaimana perbandingannya dengan remunerasi sektor lainnya?
Untuk sesama industri keuangan, paket remunerasi di perbankan Indonesia memang relatif lebih tinggi. Bahkan, jika dibandingkan dengan paket remunerasi di sektor non keuangan, angkanya malah lebih tinggi lagi. Pelaku industri perbankan memang layak memperoleh remunerasi yang baik karena ruang lingkup beban dan tanggung jawabnya yang besar terutama dalam mengelola dana masyarakat dan menyalurkan kredit dengan sehat dan aman.
Bagaimana pandangan Anda mengenai perbandingan pemberian gaji karyawan dari yang bergaji terendah hingg tertinggi dengan direksi?
Tidak bisa digeneralisasi rentang gaji tertinggi dengan gaji terendah di industri perbankan nasional, karena skala atau kelas atau strata banknya berbeda. Rasio gaji tertinggi dan terendah tidak ada patokan yang pasti. Namun secara umum, rasio gaji tertinggi dengan gaji terendah tidak boleh terlalu tinggi, misalnya sampai di atas 50 kali.
Kenapa bankir layak untuk digaji tinggi?
Pertama, bisnis perbankan adalah bisnis spesifik yang membutuhkan keahlian dan kompetensi khusus. Kedua, ruang lingkup tanggung jawab atas risiko yang dipikul tergolong berat karena mengelola dana masyarakat. Ketiga, tingkat kompetisi dengan bankir-bankir asing semakin ketat sehingga standar remunerasi setiap waktu perlu disesuaikan. Keempat, untuk merangsang dan memotivasi para bankir bekerja profesional dan amanah atau bertanggung jawab.
Apa saja dampak dan risiko yang bisa ditimbulkan dari pemberian gaji tinggi bagi bankir?
Dampak dan risiko dari pemberian gaji yang tinggi sebenarnya tidak ada, karena semuanya diatur berdasarkan prinsip equal pay for equal job atau competency and performance based. Makanya pemilik bank (dalam hal ini divisi sumber daya manusia) juga harus hati-hati dan cermat dalam menetapkan standar gaji bankir agar tidak ketinggian (over pay) dan juga tidak terlalu rendah (under pay).
Lantas apakah perlu gaji bankir dibatasi?
Tidak ada regulasi yang membatasi gaji bankir. Itu hanya sebuah wacana semata. Kalau gaji bankir dibatasi, dikhawatirkan seseorang akan dengan mudah loncat pagar ke industri lain yang tidak membatasi gaji sehingga stok bankir-bankir handal dan professional untuk jangka panjang akan habis. Akibatnya industri perbankan nasional akan merugi sendiri.
Jadi hendaknya dipikirkan kembali matang-matang apabila ada mimpi atau ilusi atau wacana untuk membatasi gaji bankir, karena semuanya bergantung kepada mekanisme pasar.
Pemain sepakbola saja gajinya tidak dibatasi, mana mungkin gaji bankir mau dibatasi. Jangan-jangan nanti akan banyak bankir yang beralih profesi menjadi pemain sepakbola profesional agar bisa digaji tinggi tanpa dibatasi. Kalau tidak percaya, tanya saja sama Wayne Rooney atau Robin van Persie di klub Manchester United.
Sejauh ini seruan pembatasan gaji bankir datang dari Bank Indonesia. Sejatinya siapa yang harus muncul sebagai pengatur remunerasi bankir?
Yang harus mengatur adalah mekanisme Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dimana pemegang saham menentukan standar gaji komisaris dan direksi sebagai pengurus bank. Untuk bankir professional, pemilik atau direksi yang akan menentukan gaji bankir profesionalnya. Kalau perlu bank menggunakan jasa konsultan SDM untuk menetapkan kelayakan standar remunerasi seorang bankir professional.
Menurut saya, tidak pada tempatnya regulator mengatur, apalagi membatasi, penetapan standar remunerasi bankir. Semuanya diserahkan kepada industrinya masing-masing.
Apa saja indikator atau pertimbangan pembatasan yang begitu lama sehingga pembatasan masih sebatas wacana?
Karena pelaku industri pasti tidak setuju dengan wacana atau ilusi pembatasan gaji. Pembatasan gaji menjadikan industri perbankan tidak menarik lagi di mata pencari kerja. Pada akhirnya, industri perbankan tidak akan dilirik lagi oleh para pencari kerja yang berbakat. Mereka akan beralih ke profesi lain yang standar gajinya tidak dibatasi atau diatur-atur oleh regulator, misalnya menjadi pemain bola, pewarta atau jurnalis, komentator olahraga, presenter, artis (penyanyi, model, comedian), dan sebagainya.
Bagaimana Anda melihat rekomendasi FSF dan praktek di Eropa serta AS soal pembatasan kompensasi/gaji bankir?
Referensi rekomendasi FSF untuk diterapkan di Indonesia tidak tepat. Yang dilakukan di Eropa dan AS adalah untuk meluruskan perilaku rakus (greedy) sebagian kecil bankir di sana sehingga melupakan good governance principles dan business ethic di industri perbankan karena mereka mengejar insentif atau bonus sebagai variable income. Praktik di Indonesia sudah baik dan benar serta jauh lebih banyak bankir professional dan bermoral di Indonesia ketimbang di negara-negara maju. Jadi aneh bin lucu kalau negara-negara Eropa dan AS yang gagal dalam mengelola industri keuangannya menetapkan aturan baru sistem kompensasi untuk kalangan bankir, lantas Indonesia harus mengadopsinya padahal negara ini sudah benar dalam menjalankan praktik perbankannya.
Tapi bukankah sebagai anggota organisasi G20 negara kita juga harus menerapkannya?
Poin pentingnya adalah agar standar bonus diatur dalam rentang nilai tertentu dan ditinjau sistemnya untuk tidak menciptakan kerakusan bagi bankir-bankir di Eropa dan AS. Yang ekstrim, tapi juga lucu, penetapan pagu gaji atau remunerasi juga memperhitungkan dampak krisis yang potensial akan terjadi di masa depan. Jadi standar gaji bankirnya ditetapkan dengan memperhitungkan potensi risiko di masa depan.
Masalahnya: siapa bisa memastikan potensi risiko di masa depan akan benar-benar terjadi? Krisis utang Yunani dan skandal LIBOR saja tiba-tiba muncul tanpa ada orang yang mampu mendeteksi sebelumnya. Jadi sebenarnya yang harus diluruskan adalah masalah moralitas, etika dan kepatutan berperilaku dalam industri keuangan di Eropa dan AS. Bukan soal standar gajinya.