Tetap tumbuh positif hingga jelang tutup tahun ini menjadi momentum bagi Indonesia untuk tumbuh di atas ekspektasi. Penguatan investasi dan perdagangan domestik mulai digenjot pemerintah di samping diversifikasi ekspor ke negara-negara yang tidak terpengaruh dampak krisis Eropa dan Amerika Serikat.
Oleh: Romualdus San Udika
BERITA TERKAIT
Sebagai negara terbuka, Indonesia tentunya tidak terlepas dari pengaruh ekonomi global. Dengan kata lain, melihat kondisi ekonomi dunia yang masih gonjang-ganjing terutama karena krisis Eropa dan pemulihan AS yang belum menunjukkan tanda-tanda positif, ekonomi Indonesia tentu tidak bisa steril dari imbasnya.
Bahkan ekonomi Indonesia diprediksi akan melemah 0,11 persen setiap pelemahan pada ekonomi AS sebesar 1 persen. Meski begitu, imbas itu masih lebih minim dibanding yang akan diderita oleh Negara-negara lain di kawasan Asia Tenggara. Ekonomi Singapura dan Thailand diprediksi akan melemah sebesar 1,8 persen dan 1,3 persen setiap satu persen pelemahan ekonomi AS.
Meski demikian, Indonesia dan negara-negara emerging market lainnya diperkirakan tidak ingin santai-santai saja menghadapi kemungkinan meledaknya krisis di zona Eropa dan keterpurukan AS. Menurut pengamat ekonomi Aviliani, Indonesia akan mengantisipasi potensi pemburukan ekonomi dunia dengan memperkuat ekonomi domestik. “Fokus pada normalisasi kebijakan sebagai upaya meredam lonjakan inflasi dan overheating. Selain dari harga minyak dan pangan, inflasi turut disumbang oleh kenaikan harga properti,” saran Aviliani.
Berdasarkan penilaian perempuan yang juga komisaris independen BRI itu, penanganan inflasi menjadi sesuatu yang sangat esensial mengingat jika harga-harga bergejolak maka hal itu akan memicu keluarnya dana-dana asing secara tiba-tiba (sudden reversal). Padahal modal asing sudah deras mengalir sejak dua tahun lalu dan berhasil mendongkrak beberapa indikator ekonomi, termasuk indeks saham dan nilai tukar serta cadangan devisa.
Bahkan tanda-tanda sudden reversal sudah mencuat ketika pada September lalu neraca pembayaran mengalami defisit sebesar 4 miliar dollar AS akibat defisit transaksi modal dan finansial yang dipicu capital outflow sebesar 3,4 miliar dollar AS. Pada saat yang bersamaan, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan kinerja ekspor Indonesia turun sebesar 4,45 persen atau mendekati 1 miliar dollar AS dari posisi Agustus.
Pelemahan ekspor itu ditengarai dipicu oleh penurunan jumlah permintaan barang yang cukup besar ke AS dan Eropa, disamping disebabkan juga oleh jatuhnya harga komoditas seperti pangan dan minyak sawit mentah (CPO).
Ke depan, krisis dan penurunan harga komoditas diprediksi masih akan membayangi kinerja ekspor Indonesia. Sebagaimana dikatakan Kepala Ekonom Bank Danamon Anton Gunawan bahwa meski harga komoditas batu bara relatif masih stabil, akan tetapi perlambatan ekonomi yang terjadi di China menyebabkan ekspor batu bara ke China juga mengalami pelemahan. “Berdasarkan perhitungan statistik, setiap 1 persen penurunan ekonomi China akan berdampak terhadap penurunan ekonomi Indonesia sebesar 0,3 persen,” kata Anton.
Untungnya, melihat gelagat ekspor yang tidak baik itu, pemerintah berancang-ancang mendiversifikasi ekspor ke negara-negara lain, yang dinilai tidak terkena dampa krisis AS dan Eropa secara signifikan. Hasilnya pun sudah bisa dilihat kasat mata. Pada September lalu, India merangsek ke posisi nomor satu sebagai negara tujuan ekspor barang-barang Indonesia menggeser AS. Ekspor ke India mencapai 1,20 miliar dollar AS, sementara ekspor ke AS sebesar 1,19 dollar AS.
Selain itu, diversifikasi ke China, kendati mulai mengalami perlambatan ekonomi, juga mulai memperlihatkan hasil yang cukup memuaskan untuk menjadi Negara ekspor utama Indonesia. Pemerintah pun terus berupaya untuk terus mendiversifikasi ekspor ke pasar non-tradisional seperti Afrika, Timur Tengah dan Amerika Selatan.
Selain meningkatkan ekspor ke negara-negara tujuan baru seharusnya pemerintah juga mulai memperhatikan pasar domestik. Karena tidak bisa dipungkiri, potensi pasar yang besar seperti Indonesia dengan penduduk lebih dari 200 juta jiwa selalu menjadi incaran produk-produk asing. Mengapa para pengusaha produk dalam negeri tidak menggarapnya pasar yang besar itu?
TANTANGAN INFRASTRUKTUR
Menurut Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi penguatan pasar domestik bisa membuat daya saing produk-produk nasional meningkat. “Untuk meningkatkan daya saing investasi di dalam negeri harus terus dilaksanakan. Hanya saja kendalanya adalah bagaimana mendorong dan mempersiapkan infrastruktur guna mendukung investasi tersebut,” jelas dia.
Saat ini, rasio investasi infrastruktur terhadap produk domestik bruto (PDB) masih di bawah 5 persen. Padahal, kata Sofyan, sulit bagi pemerintah mencapai target pertumbuhan 6 -7 persen dengan rasio investasi infrastruktur rendah tanpa menimbulkan potensi overheating. Apalagi dalam sistem desentralisasi saat ini, pembangunan infrastruktur tidak bisa hanya mengandalkan biaya investasi dari pemerintah pusat.
Berdasarkan data, pada 1997, rasio investasi infrastruktur mencapai 7 persen dari PDB, tetapi pembangunan saat itu bersifat sentralistik. Setelah krisis ekonomi 1998, rasio investasi itu turun dan pada 2010 hanya 3,8 persen. Jika membandingkan dengan beberapa negara maju, investasi infrastruktur sangat mempengaruhi tingkat pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi, China, misalnya, bisa mencapai 10 persen karena didorong rasio investasi infrastruktur sebesar 8 persen.
Namun demikian dengan keterbatasan dana milik pemerintah dalam pembangunan infrastruktur, mau tidak mau dibutuhkan peran sektor swasta untuk ikut menggarapnya agar target pertumbuhan ekonomi bisa tercapai.
Tahun depan, pemerintah menetapkan target pertumbuhan sebesar 6,7 persen. Target tersebut disebutkan dalam rancangan Masterplan Percepatan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025.
Selain itu, berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJM), dalam lima tahun ke depan diperlukan anggaran infrastruktur Rp 1.923 triliun. Khusus MP3EI (di luar RPJM), kebutuhan anggaran infrastruktur tahun ini diperkirakan Rp 1.786 triliun.
Meski demikian keinginan itu akan sia-sia jika pemerintah tidak membenahi aturan yang ada. Kenyataannya masih banyak regulasi mulai peraturan daerah (Perda) hingga pusat (Undang-Undang) yang dinilai tumpang tindih sehingga menghambat pembangunan infrastruktur. Merujuk pada data Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) bahwa dari 23.000 ribu Perda yang dikeluarkan, sebanyak 5.000 perda dianggap mengganggu iklim usaha.
Persoalan regulasi dan mandeknya pembangunan infrastruktur pada akhirnya dapat memengaruhi tingkat daya saing Indonesia relatif terhadap negara lain. Untuk diketahui saja, dalam World Economic Forum, tingkat daya saing Indonesia berada di posisi ke-46, jauh di bawah Malaysia dan bahkan Thailand. Salah satu penyebabnya adalah buruknya kualitas infrastruktur.
Jadi jika pasar domestik memang akan dijadikan penolong bagi perekonomian nasional dalam menghadapi krisis ekonomi dunia yang masih mengancam, pemerintah sebenarnya sudah tahu apa yang harus dibenahi. SP





.jpg)










