BI tengah menyiapkan kebijakan yang berbeda agar langkah penurunan BI Rate bisa diikuti oleh perbankan dengan menurunkan bunga kredit. Selama ini BI selalu ditelikung oleh perbankan.
Oleh : Yudi Rachman
Dalam lima tahun belakangan, belum pernah Bank Indonesia menaikkan dan lalu menurunkan suku bunga acuan dalam satu tahun berjalan. Tetapi tahun ini lain. Sepanjang 2011, BI Rate sempat dikerek satu kali pada Februari dan diturunkan kembali bahkan sampai dua kali berturut-turut pada Oktober dan November.
Tentu otoritas memiliki pertimbangan sendiri mengapa kebijakan tersebut diambil. Antisipasi krisis yang tengah berkecamuk di Eropa dan pemulihan lambat pada ekonomi AS disebutkan menjadi alasannya.
Dalam pernyataan resmi saat mengumumkan penurunan BI Rate, BI mengatakan bahwa langkah tersebut sejalan dengan tekanan inflasi ke depan yang semakin rendah sekaligus sebagai langkah perbaikan terhadap struktur suku bunga (term structure) jangka pendek, menengah dan panjang. ”Penurunan tersebut juga dimaksudkan untuk mengurangi dampak memburuknya prospek ekonomi global terhadap perekonomian Indonesia,” kata siaran pers itu.
Meski demikian tetap saja kebijakan itu dianggap terlalu berani dan mengejutkan oleh beberapa kalangan. Salah satunya datang dari Kepala Ekonom Danareksa Research Institute, Purbaya Yudhi Sadewa. Dia mengatakan bahwa keputusan Rapat Dewan Gubernur BI untuk menurunkan BI Rate merupakan kebijakan yang mengejutkan karena tekanan inflasi akhir tahun ini diperkirakan masih besar. ”Penurunan BI Rate menjadi enam persen agak mengagetkan, karena meskipun ekspektasi inflasi sampai saat ini year to date masih di bawah 4,5 persen, tapi di akhir tahun ada sedikit kekhawatiran ancaman inflasi dari pangan, artinya bisa saja inflasi lebih besar dari itu,” kata Yudhi.
Menurut prediksinya, dalam jangka pendek, penurunan suku bunga ini dapat menimbulkan kekhawatiran terhadap pasar. ”Kekhawatiran saya terhadap penurunan ini diekspektasikan negatif oleh pasar sehingga terjadi kepanikan pasar. Capital inflow masih akan terus masuk, seharusnya BI tidak perlu seagresif ini untuk menurunkan BI rate, apalagi penurunan ini tidak bisa terakselerasi langsung kepada sektor riil karena membutuhkan waktu paling lambat empat bulan,” ujar Yudhi.
Namun dia memaklumi jika langkah BI tersebut merupakan upaya antisipasi kemungkinan terburuk apabila terjadi pelambatan ekonomi global. Dengan begitu tentunya diperlukan stimulus untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dalam negeri. ”Dampaknya memang positif ke pertumbuhan ekonomi karena ekonomi bisa tumbuh lebih cepat,” ujar Yudhi.
Akan tetapi ada suatu kemungkinan yang akan terjadi setelah BI menurunkan bunga acuan yaitu dampaknya pada arus modal masuk yang saat ini dinilai masih cukup deras. Penurunan arus modal tentu akan berpengaruh pada nilai tukar. ”Penurunan BI Rate ini juga membuat capital inflow, agak sedikit melambat karena imbal hasil menurun, dan rupiah juga melemah,” kata ekonom Bank BCA, David Sumual.
Jika melihat kondisi pasar pada pekan terakhir November kemarin, kekhawatiran David sangatlah beralasan. Pasalnya, pada transaksi pekan terakhir November, nilai tukar yang diperdagangkan sempat ambruk ke level Rp9.200 per dollar AS. Padahal pekan-pekan sebelumnya bahkan bulan-bulan sebelumnya rupiah masih stabil di level Rp8.700-Rp8.800 per dollar AS.
Kondisi ini jelas bukanlah pertanda buruk bagi BI meskipun juga bukan “kiamat”. Otoritas harus bekerja ekstra keras untuk menstabilkan nilai tukar seperti yang dilakukan sebelumnya saat menahan penguatan rupiah akibat derasnya arus dana asing yang masuk pada awal tahun ini dan tahun lalu.
BUNGA KREDIT
Dipangkasnya BI Rate sebesar 75 basis poin dalam dua bulan sejatinya juga merupakan sinyal bahwa otoritas ingin terus menekan perbankan agar menurunkan suku bunga kredit. Penurunan itu dibutuhkan perekonomian untuk meningkatkan usaha di sektor riil yang pada akhirnya menjadi tameng kuat untuk menangkal dampak krisis Eropa dan AS. Pasalnya industri dalam negeri menjadi lebih bergairah dan tidak bergantung dengan pasar di luar negeri.
Namun jika melihat pengalaman sebelumnya, BI pantas khawatir karena penurunan BI Rate seringkali tidak direspons positif oleh kalangan industri perbankan dengan menurunkan bunga kredit. Di saat BI Rate turun, kebanyakan bank justru menahan suku bunga kreditnya atau turun sedikit, dengan tetap menjaga rentang spread suku bunganya. Tentunya kondisi seperti itu bertolak belakang dengan keinginan BI dan khalayak industri. Mayoritas menginginkan industri perbankan merespons penurunan BI rate dengan menurunkan suku bunga kreditnya. Sehingga mampu memicu pertumbuhan ekonomi, karena sektor riil bergerak, dengan lebih signifikan.
Tidak mau kebijakannya itu kembali ditelikung bank seperti pengalaman tahun 2009 dan 2010, Gubernur Bank Indonesia, Darmin Nasution angkat bicara. Untuk mempercepat penurunan bunga kredit sekaligus bisa memantau penurunannya BI meminta industri perbankan untuk memasukkan faktor penurunan BI Rate ke dalam rencana bisnis bank (RBB) berikutnya dan memperhitungkan suku bunga pinjaman. Jika tidak, BI akan memanggil bank yang tidak mengindahkan saran tersebut. ”BI akan mencermati rencana bisnis bank yang akan mulai masuk akhir bulan ini, sampai dengan Desember untuk 2012,” ucap Darmin.
Dengan melihat proyeksi bisnis bank BI akan lebih bisa untuk memastikan kalau bank mengikuti kebijakan suku bunga acuan. ”Kami tidak bisa lagi sekadar menurunkan policy rate kemudian melihat-lihat SBDK (suku bunga dasar kredit)-nya dan kami berharap mereka menurunkan lending rate. Kami akan memanggil kalau kami anggap RBB tidak memasukkan faktor perubahan (BI Rate) ke dalam rencana mereka,” tegas Darmin.
Selama ini BI memang sulit untuk memaksa bank menurunkan margin bunga bersih (net interest margin/NIM). Karena bank sering berdalih NIM sudah ditentukan dalam rapat umum pemegang saham (RUPS) sehingga tidak bisa lagi diturunkan.
Namun dengan kebijakan tersebut bank tidak bisa lagi beralasan untuk tidak menurunkan bunga kredit setara dengan penurunan BI Rate. Penurunan bunga kredit dipercaya akan mendongkrak pertumbuhan ke level yang digariskan bank sentral yaitu mencapai 6,7 persen tahun depan. “Kita menginginkan ekonomi growth-nya bisa kembali ke 6,7%, kita tidak puas dengan 6,5 persen,” tukas Direktur Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter Bank Indonesia Perry Warjiyo.
Menurutnya, untuk itu bank sentral menurunkan BI Rate sebesar 75 basis poin dalam dua bulan terakhir ke level 6 persen, dengan pertimbangan tingkat inflasi yang bisa dijaga di level 4% sampai akhir 2011.
“Nah, ini makanya kita buat stimulus dengan BI Rate ini, sehingga bisa memberikan lending yang prudent untuk pertumbuhan ekonomi kembali ke level 6,7 persen. Apalagi kalau pemerintah turut memberikan stimulus,” tambah Perry. SP