Meski tingkat keberhasilan bisnis franchise alias waralaba relatif tinggi, namun risiko gagal tetap ada. Bagaimana mengantisipasinya?
Oleh : Yudi Rachman
BERITA TERKAIT
Setiap bisnis, apalagi yang baru saja dijalankan, memiliki risiko untuk gagal. Meski demikian, seperti yang dikatakan para motivator bisnis, “Janganlah merencanakan kegagalan dalam berbisnis. Artinya jangan pernah berkata bagaimana seandainya bisnis ini gagal.”
Mungkin itu pula yang dijalankan Tohar Ota saat memutuskan untuk berbisnis lewat franchise (waralaba). Lelaki kelahiran Jakarta 24 Maret 1974 tentunya membayangkan keuntungan yang akan diraihnya dalam beberapa tahun setelah mengambil merek dan sistem bisnis dari Rumah Makan Padang Sederhana (RMPS) Bintaro. Dan betul saja, sejak dia mengambil waralaba RMPS Bintaro tahun 2007 silam dan memilih lokasi bilangan Jalan Raya Pasar Minggu, Jakarta Selatan, bisnisnya terus beranjak naik.
Sebenarnya pilihan untuk mengambil waralaba masakan Padang merupakan pengalamannya yang kedua. Pertama kalinya mengambil waralaba, dia memilih Bakmi Japos yang akhirnya menemui kegagalan. Dari kegagalannya beberapa tahun silam, ia mengaku menimba banyak pelajaran. Antara lain, penting memilih franchisor (pemberi waralaba/pewaralaba/pemilik merek) yang peduli terhadap perkembangan mitranya. Tidak sebaliknya, ketika omset sedang tidak bagus, franchisor tetap meminta fee 6 persen di muka.
Cukup lama setelah kegagalannya itu, Tohar mengaku mencermati berbagai jenis waralaba. Ia menyimpulkan, rumah makan Padang lebih mapan dan tak lekang dimakan zaman. Menu dan rasanya pun disukai banyak orang Jakarta yang supersibuk.
Pilihannya terhadap RMPS Bintaro pun bukan sembarangan. Maklum, brand rumah makan Padang memang banyak. “Awareness-nya di masyarakat sudah ada. Lalu, menu serta rasanya juga bagus, ujar Tohar. Selain itu, “Franchisor memberi kebebasan kepada kami selaku mitranya untuk ikut di bidang operasional,” ujarnya lagi.
Tak perlu menunggu terlalu lama, Sarjana manajemen perbankan dari STIE Perbanas, Jakarta, ini berhasil meraup keuntungan pada bulan ke-4 sekitar 40 persen. “Dan, ini terus stabil hingga sekarang,“ cerita Tohar. Tak mengherankan, 9 bulan kemudian ia memutuskan membuka cabang baru di Jalan Petamburan, Jakarta, bersebelahan dengan Hotel Santika. Tohar mengaku total dana yang ia investasikan di dua gerai RMPS Bintaro ini sekitar Rp4 miliar, 40 persen dari pinjaman bank dan 60 persen dari kantongnya sendiri.
Cerita sebaliknya terjadi pada diri Budi Utoyo. Tahun 2004 silam, dengan investasi Rp150 juta Budi membeli jaringan franchise lokal di bidang makanan donat, lalu membuka gerainya di Yogyakarta.”Pada waktu itu saya tidak mengerti bagaimana franchise, tetapi saya tahu pemilik franchise itu cukup ulet dan punya outlet di beberapa tempat. Makanya, saya ambil franchise itu tanpa berhitung dan tanya banyak hal,” katanya mengenang.
Ketika itu dia membayar franchise fee Rp50 juta, dan total investasi Rp150 juta –termasuk untuk membeli berbagai perlengkapan. Franchisor sempat mengatakan dalam empat bulan bisa balik modal. Apa yang terjadi? ”Boro-boro balik modal, saya tekor terus. Merugi tapi terus menggaji karyawan. Belum sempat menikmati hasil. Kalau dihitung kerugian selama empat tahun, saya keluar uang Rp250 jutaan,” katanya seraya menjelaskan gerai donut itu sudah ditutupnya.
Meski begitu, Budi tak merasa dendam dan menyesal, dan justru memandang hal itu sebagai proses belajar franchise. Dari situ saya mengerti, kalau mau mengambil franchise, jangan tanya pada franchisor. Tanyalah franchisee (pembeli waralaba/terwaralaba) yang sudah buka. Cari yang unik, tidak gampang ditiru. Cari yang sudah punya SOP dan petunjuk teknis bagus. Waktu itu saya tidak perhatikan, asal ambil saja,” ujar Budi yang kini menjadi franchisor usaha spa Leha-Leha.
Risiko Gagal
Dalam lima tahun belakangan ini, bisnis franchise alias waralaba nampaknya sedang booming. Franchise telah menjadi alternatif pilihan investasi untuk memulai wira usaha. Berdasarkan survei, tingkat keberhasilan bisnis franchise alias waralaba relatif tinggi dan bahkan bisa mencapai 85 persen. Sistem franchise yang benar memang memiliki sejumlah keuntungan. Bagi franchisor, sistem ini memungkinkan usaha berkembang lebih cepat dengan menggunakan modal orang lain. Alhasil, si pemilik franchise tak perlu keluar uang banyak, walau tetap menikmati bagian dari usaha tersebut dari pembayaran royalti.
Bagi franchisee atau si pembeli hak waralaba, ia bisa memiliki usaha yang mempunyai sistem yang telah mapan serta brand yang sudah dikenal masyarakat. Dengan demikian, potensi keberhasilan usaha tersebut lebih besar ketimbang ia mulai membangun usaha dari nol. Lantaran tidak berangkat dari nol dan tinggal menduplikasi sistem usaha yang sudah jadi, periode serta tingkat pengembalian investasinya pun lebih terukur.
Wajar, bila kelebihan-kelebihan tersebut menggoda pemilik usaha untuk mewaralabakan usaha mereka. Keunggulan itu juga memikat masyarakat untuk berbondong-bondong membeli hak waralaba. Apalagi, kini mereka tak harus memodali usaha sepenuhnya dari kocek sendiri. Sejumlah bank kini bersedia membiayai usaha dengan pola franchise ini.
Tak pelak, tawaran franchise subur bermunculan. Kemungkinan, jumlah franchise lokal saja mencapai ratusan waralaba. Asosiasi Franchise Indonesia (AFI) mengaku, sampai medio 2011 memiliki 75 anggota. Di luar ini, banyak franchisor belum atau tidak menjadi anggota AFI. “Ada kelompok orang yang suka memburu franchise baru. Mungkin pola kerjasama bisnis yang diburunya masih belum masuk kategori franchise, konsepnya masih business opportunity (BO), konsep bisnis model franchise yang masih prematur, tapi jika dikembangkan sedikit lagi akan menjadi franchise. Bisa juga bentuk kemitraan lain yang punya potensi dikembangkan menjadi franchise,” terang Ketua AFI Anang Sukandar.
Tak mengherankan bila di lapangan ditemui kenyataan, beberapa franchise atau BO telah gulung tikar atau gagal berkembang. Padahal, ketika ditawarkan, si pemilik merek optimistis menjanjikan prospek bisnis yang menarik, simulasi pengembalian investasi yang cukup singkat, serta bantuan kepada pembeli merek jika mengalami kendala dalam mengembangkan bisnisnya.
“Saya sering menjumpai calon investor atau investor franchise di Indonesia yang beranggapan bahwa franchise bisa memberikan jaminan bisnis pasti akan berjalan sukses,” ujar konsultan dan pengamat franchise Bije Widjajanto. Anggapan tersebut akhirnya hanya mengakibatkan kekecewaan apabila asumsi mereka tidak terjadi.
Menjadi franchisee, sambung pendiri BenWarG Consulting ini atau membangun bisnis dengan membeli franchise tidak ubahnya seperti menjalankan bisnis sendiri. Risiko gagal bisnis tetap ada, apa pun bentuk bisnis yang dijalankan. “Kemungkinan bisnis franchise ini gagal tetap ada, walaupun relatif jauh lebih kecil ketimbang memulai bisnis sendiri dari nol. Hal ini perlu disadari dan dipahami oleh semua orang yang akan memulai bisnis dengan sistem franchise. Semua keunggulan dan manfaat yang diberikan oleh sistem franchise pada dasarnya akan memangkas potensi kerugian investor,” tegas penulis buku “Franchise: Cara Aman Memulai Bisnis” ini.
Jadi, bisa dibilang, bahwa pesan moral dari nasehat Bije adalah kita harus bersikap jeli dan hati-hati dalam memilih tawaran franchise. Dan seperti bisnis lainnya, outlet (gerai) franchise pun bisa tutup atau gagal karena faktor-faktor tertentu, misalnya lokasi usaha yang tidak cocok atau pengelolaan yang melenceng dari SOP. Intinya, tawaran franchise sebagaimana bisnis yang lain tidak selalu menjanjikan keberhasilan yang pasti. SP





.jpg)










