JAKARTA, Stabilitas.id – Saat ini Indonesia terus menunjukan pertumbuhan yang stabil dengan angka kemiskinan yang terus menurun. Namun, bagaimana meningkatkan kesejahteraan tanpa merusak bumi akibat isu perubahan iklim, geopolitik, hingga digitalisasi masih menjadi perhatian pemerintah.
Hal tersebut diungkapkan oleh Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati, pada acara “Climate Change and Indonesia’s Future: An Intergenerational Dialogue”, yang berlangsung di Jakarta, pada Senin (27/11/23).
“So, climate change is a problem. How we are all can work together, especially antar generasi ke generasi,” ungkap Menkeu.
Menkeu juga mengungkapkan, penyelesaian masalah iklim memerlukan rencana pembiayaan yang kongkrit.
“Kita melakukan berbagai Instrumen kebijakan dan motivasi kepada local government. Kita menggunakan instrumen seperti di Dana Alokasi Khusus (DAK) fisik, Dana Bagi Hasil (DBH) dan berbagai instrumen untuk memotivasi daerah memainstreamkan climate change,” ungkapnya.
Untuk memenuhi hal itu, pemerintah tengah mengembangkan sejumlah instrumen fiskal dan keuangan untuk menangani perubahan iklim. Salah satunya dalam bentuk instrumen green bond yang dikombinasikan dengan SUKUK atau obligasi berbasis syariah.
“Peluncuran instrumen ini secara akuntabel menjelaskan instrumen green related dengan penurunan emisi. Total 5,7 juta ton Co2 pada 2018, 3,2 juta juta ton Co2 pada 2019, 1,4 juta ton Co2 pada 2020, dan 222.647 juta ton Co2 pada 2022. Ini semua tidak berdasarkan hitungan kita sendiri, tapi diaudit lembaga kredibel,” jelasnya.
Selain itu, pemerintah juga mengadakan kerjasama pendanaan terintegrasi yang mendukung pembangunan infrastruktur yang sejalan dengan pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs) di Indonesia yakni SDG Indonesia One.
Indonesia juga sudah mendapat dukungan keuangan dari sejumlah negara atau green climate fund (GCF) untuk melaksanakan berbagai proyek transisi energi. Berdasarkan data GCF Financial Instrument, terdapat total US$ 486 juta anggaran yang sudah masuk di Indonesia yang terbagi dalam 23% bersifat ekuitas, 26% bersifat dana pinjaman, dan 35% bersifat dana hibah.
“Untuk itu, kami akan terus bekerja sama dan membuka diri. Karena climate agenda without financing hanya akan menjadi agenda, hanya akan menjadi dream. Financing is one of the most critical element dari climate agenda,” tutupnya.***