JAKARTA, Stabilitas.id — Pentingnya perhatian industri keuangan pada permasalahan lingkungan telah dibuktikan oleh Otoritas Jasa Keuangan yang telah menerbitkan peta jalan (roadmap) keuangan berkelanjutan 2015-2019 pada 5 Desember 2014 lalu. Mulai tahun ini perhatian itu makin bertambah karena OJK juga telah menerbitkan peta jalan tahap kedua 2021-2025 pada Januari lalu.
Di tengah makin seringnya terjadinya perubahan iklim dan cuaca ekstrem yang berdampak kepada perekonomian, maka tindakan nyata oleh industri keuangan sangat dibutuhkan. Ada tiga risiko besar yang dihadapi oleh perekonomian dan juga industry keuangan terkait perubahan iklim yaitu pertama, risiko fenomena perubahan iklim yang menimbulkan kerusakan properti dan berdampak langsung terhadap proses bisnis (physical risk). Kedua, risiko yang muncul dari perubahan kebijakan dan pengembangan teknologi untuk beralih ke ekonomi rendah karbon (transition risk). Dan ketiga risiko kerugian hukum atau klaim akibat kegiatan usaha yang tidak mempertimbangkan dampak perubahan iklim (liability risk).
Risiko-risiko ini bisa diminimalisisakan dengan kesediaan lembaga keuangan untuk mengungkap eksposure dari pembiayaan yang berkaitan dengan isu lingkungan agar investor bisa mengetahui hal tersebut. Beberapa regulator dunia sudah melakukan hal itu seperti di Inggris dan Prancis dengan menerbitkan aturan climate-related financial disclosure yang memaksa lembaga keuangan untuk men-disclose climate risk. Dan saya yakin Indonesia juga akan menuju ke sana, kata Nurhaida, Wakil Komisioner Otoritas Jasa Keuangan, ketika menjadi pembicara kunci pada Internationl Virtual Seminar berjudul How Indonesia Financial Institution Respond To Climate-Related Financial Risks, yang diselenggarakan LPPI, 18 Januari 2021 lalu.
BERITA TERKAIT
Dia mengutip study Unilever dari survey yang dilakukan di 5 negara, yang menjunjukkan 20 persen orang memilih produk yang menggunakan packaging yang ramah lingkungan. Dia juga menyebutkan jika 21 persen konsumen AS sudah member sanksi bagi perusahaan yang menyebabkan perubahan iklim dengan menghindari penggunaan produk mereka.
Jadi isu yang ingin dibahas adalah mempertimbangkan perubahan iklim. Ini sudah banyak akibatnya, tak hanya kenaikan suhu tetapi juga terjadi perubahan cuaca ekstrem, juga kenaikan level air laut dan bencana alam lainnya. Semua perubahan membawa dampak pada sektor financial. Di masa depan akan ada transisi dalam risiko yang berimplikasi pada portofolio. Ini berhubungan dengan pertimbangan investor, sebut Nurhaida.
Risiko lainnya menurut Nurhaida, juga bisa memberi dampak pada employee, asset dan suplay chain disruption. Pada praktiknya risiko ini terlihat pada kenaikan asset dan NPL di perbankan dan IKNB. Isu ini bisa dimitigasi dengan mengungkapkan risiko iklim agar investor isa mempersiapkan diri dengan tantangan perubahan iklim. Transisi harus dilakukan sebaik mungkin agar bisa dimitigasi dengan baik. Beberapa regulator sudah melakukannya dan saya percaya Indonesia juga bisa mempraktikkannya, katanya.
Isu kedua menurut Nurhaida, adalah mengenai kesempatan. Menurutnya, perubahan bisnis bisa mejadi keuntungan di masa depan. Kenaikan isu dan risiko lingkungan dan sosial menyebabkan orang di industri keuangan menciptakan kesempatan inovasi bisnis baru yang mensuport ekonomi berkelanjutan.
“Bank fokus pada sustainability. Harus fokus pada memfasilitasi green bonds. OJK telah menyelesaikan draft regulasi tentang penerbitan dan persyaratan efek bersifat utang berwawasan lingkungan atau green bond. Kini, draft tersebut telah disebarkan kepada public untuk memberikan masukan dalam rangka penyempurnaan, ungkap Nurhaida.
Dalam draft tersebut, jelasnya, green bond didefinisikan sebagai efek bersifat utang yang dana hasil penerbitannya digunakan untuk membiayai atau membiayai ulang sebagian atau seluruh kegiatan usaha yang berwawasan lingkungan (KUBL).
“KUBL tersebut misalnya di sektor energy terbarukan atau efisiensi energi, pencegahan dan pengendalian polusi, green building, konservasi alam, pengendalian polusi dan adaptasi perubahan iklim, transportasi ramah lingkungan, dan aktivitas bisnis lainnya yang berwawasan lingkungan, pungkasnya.
Sementara itu Direktur Utama LPPI Mirza Adityaswara saat membuka seminar itu mengatakan bahwa perubahan ilim saat ini menjadi sesuatu yang sangat serius. Seluruh dunia mengalami beberapa bencana yang berhubungan dengan perubahan iklim. Regulator keuangan di dunia telah melakukan berbagai upaya untuk memanage risiko iklim.Seperti OJK juga keluarkan panduan untuk bagaimana memanage keuangan berkelanjutan. Dan menjadi topik yang hangat tidak hanya bagi lingkungan tapi juga keuangan, ungkap Mirza.





.jpg)










