Stabilitas.id – Suara mesin Electronic Data Capture (EDC) terdengar lirih di antara hembusan angin laut Kampung Yenburwo, Distrik Numfor Timur. Dari balik etalase kios kecil bercat biru, Hamjah, kepala sekolah SMKN 3 Kemaritiman Biak Numfor, menatap layar mesin itu dengan fokus. Di tangannya, bukan sekadar transaksi keuangan yang berlangsung, melainkan sebuah jembatan antara dunia perbankan dan kehidupan warga pesisir yang jauh dari kota.
Sejak 2022, Hamjah menambah satu peran baru di luar profesinya sebagai pendidik: menjadi AgenBRILink, mitra PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk yang menghadirkan layanan keuangan hingga ke pelosok negeri. Dari kios sederhananya, warga bisa menabung, mentransfer uang, membayar tagihan listrik, hingga membeli pulsa tanpa harus menempuh perjalanan panjang ke Biak.
“Kalau tidak ada kios ini, kami harus ke kota. Ongkos kapal dan waktu bisa habis satu hari,” kata seorang warga yang datang menarik tunai bantuan sosial. Kalimat sederhana itu menjadi bahan bakar semangat bagi Hamjah. “Setiap kali dengar ucapan terima kasih, rasanya seperti gaji tambahan,” ujarnya sambil tersenyum kepada Tim BRI yang mengunjunginya.
BERITA TERKAIT
Perjalanannya tak selalu mulus. Pada masa awal menjadi agen, Hamjah harus berhadapan dengan jaringan 2G yang kerap terputus. “Kadang transaksi gagal, pelanggan gelisah, saya pun ikut panik,” kenangnya.

Namun ia tak menyerah. Dukungan BRI yang terus memperkuat infrastruktur digital dan memperbarui sistem transaksi membuat pelayanannya kini jauh lebih stabil. “Sekarang mesin baru dan jaringan lebih kuat, semua jadi lebih lancar,” ujarnya.
Dari pengalaman itu, Hamjah belajar membaca ritme ekonomi lokal: kapan nelayan pulang melaut, kapan hasil panen dijual, kapan warga ramai mengirim uang ke keluarga. Ia mulai menata pencatatan, memperkuat kepercayaan, dan menjadikan kiosnya sebagai simpul transaksi keuangan di kampung.
Sebagai seorang guru, Hamjah tak hanya melayani, tapi juga mendidik. Ia sering mengingatkan warga agar menabung dan berhati-hati saat bertransaksi. “Biar mereka tahu, uang bukan cuma untuk dibelanjakan, tapi disimpan dan dikelola dengan aman,” ujarnya.
Selain di lapangan, Hamjah aktif di komunitas virtual AgenBRILink Biak Numfor, tempat para agen berbagi pengalaman dan solusi. “Kami jauh dari kantor cabang, tapi dekat lewat grup daring. Kami saling bantu,” katanya.
Ujung Tombak Inklusi di Wilayah 3T
Kisah Hamjah hanyalah satu dari lebih dari 1 juta pejuang inklusi yang tersebar di seluruh Indonesia. Bagi BRI, para agen seperti dia adalah “ujung tombak” dalam misi membangun akses keuangan yang merata, terutama di wilayah 3T (Terdepan, Terluar, dan Tertinggal).
Hingga semester pertama 2025, jaringan AgenBRILink telah menembus 1,2 juta agen yang menjangkau sekitar 67 ribu desa, atau 80,96 persen dari total desa di Indonesia. Sepanjang Januari–Juni 2025, volume transaksi melalui AgenBRILink mencapai Rp843 triliun dengan lebih dari 540 juta transaksi, dan melonjak menjadi Rp1.145 triliun hingga Agustus 2025. Angka itu mencerminkan betapa pentingnya peran agen dalam menggerakkan ekonomi desa.
“Melalui AgenBRILink, masyarakat dapat mengakses sistem keuangan nasional secara mudah, cepat, dan aman,” ujar Corporate Secretary BRI, Dhanny dalam siarna pers, awal Oktober 2025, yang menyebut para agen sebagai “simpul ekonomi rakyat” di tingkat desa.
Dhanny menambahkan bahwa keberadaan AgenBRILink menjadi kunci strategi hybrid banking BRI — menggabungkan layanan digital dan jaringan fisik untuk memperluas inklusi. “BRI akan terus memperkaya fitur layanan agar agen dapat memberikan beragam solusi keuangan kepada masyarakat, mulai dari transfer, pembayaran tagihan, hingga produk mikrofinansial,” ujarnya.
Kontribusi jaringan agen ini juga signifikan secara bisnis. Pada paruh pertama 2025, AgenBRILink menyumbang pendapatan non-bunga (fee based income) sebesar Rp643 miliar, sekaligus memperkuat posisi BRI sebagai bank dengan jangkauan layanan mikro terluas di Tanah Air.
Dari Layanan ke Literasi
Lebih dari sekadar kanal transaksi, AgenBRILink kini menjadi wadah literasi keuangan di tingkat komunitas. Para agen berperan mengenalkan produk tabungan, asuransi mikro, setoran pinjaman, hingga program Basic Saving Account (BSA). Di banyak tempat, mereka menjadi “guru keuangan” bagi warga yang baru mengenal sistem perbankan.
Model keagenan ini juga membuka peluang usaha baru. Di wilayah dengan mobilitas terbatas seperti Numfor Timur, kios-kios AgenBRILink menjadi nadi ekonomi desa. Transaksi berlangsung bahkan pada hari libur, karena kebutuhan keuangan tak mengenal waktu.
BRI melengkapi jaringan ini dengan fitur tambahan—mulai dari tarik tunai remitansi luar negeri hingga pembelian tiket transportasi. Dengan begitu, agen bukan hanya perpanjangan tangan bank, tapi juga penyedia layanan publik di komunitasnya.
Di tengah arus digitalisasi yang melaju cepat, kisah Hamjah di Yenburwo menjadi pengingat bahwa inklusi keuangan sejati tidak hanya lahir dari aplikasi dan jaringan internet, tetapi juga dari tangan-tangan yang melayani dengan keikhlasan. “Selama masih ada warga yang butuh bantuan transaksi, kios ini tidak akan tutup,” katanya pelan.
Di antara papan tulis, jaringan sinyal, dan layar mesin EDC, Hamjah dan sejuta agen lain menulis bab penting dalam sejarah inklusi keuangan Indonesia — menjadi pejuang di garis depan, yang memastikan layanan perbankan bukan hanya milik kota besar, melainkan juga hak setiap warga hingga ke ujung negeri. ***




.jpg)
.jpg)










