Stabilitas.id – Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto menggunakan panggung Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ke-80 pada 23 September 2025 untuk menegaskan komitmen Indonesia terhadap perubahan iklim dan transisi energi. Dalam pidato berdurasi 19 menit, Prabowo menyampaikan bahwa Indonesia memilih aksi nyata, bukan slogan, dalam menghadapi krisis iklim global.
Pidato Prabowo disampaikan tak lama setelah Presiden Amerika Serikat Donald Trump menyebut energi terbarukan sebagai “lelucon” yang mahal dan tidak efektif. Trump bahkan menyindir turbin angin sebagai pembangkit yang mudah rusak dan tidak layak secara ekonomi.
Sebaliknya, Prabowo menekankan bahwa Indonesia sebagai negara kepulauan sudah merasakan dampak nyata perubahan iklim. “Permukaan laut di pantai utara Jakarta meningkat lima sentimeter setiap tahun. Bisakah Anda bayangkan dalam 10 tahun? Dalam 20 tahun?” ujarnya di hadapan Majelis Umum.
Prabowo menegaskan bahwa Indonesia akan memenuhi Perjanjian Paris dan menargetkan emisi nol bersih pada 2060 atau lebih cepat. Ia juga menyampaikan rencana reforestasi lebih dari 12 juta hektare hutan terdegradasi, serta pemberdayaan masyarakat lokal melalui pekerjaan hijau.
“Indonesia secara tegas beralih dari pembangunan berbasis bahan bakar fosil menuju pembangunan berbasis energi terbarukan. Mulai tahun depan, sebagian besar tambahan kapasitas pembangkit listrik kami akan berasal dari energi terbarukan,” tegasnya.
PLTS Desa dan Pengurangan Subsidi Listrik
Langkah konkret pemerintah mulai terlihat dari wacana pembangunan PLTS atap 1–1,5 MW per desa, seperti disampaikan Menteri ESDM Bahlil Lahadalia usai rapat dengan Presiden Prabowo pada 15 September. Selain itu, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengusulkan pengalihan subsidi listrik ke energi surya dalam rapat terbatas di Hambalang.
“Waktu di Hambalang kemarin, ada diskusi tentang pengurangan subsidi listrik, utamanya dengan penggunaan PLTS Surya,” kata Purbaya.
Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira menyebut strategi Prabowo sebagai bentuk diplomasi iklim yang cerdas. “Diplomasi iklim tidak dipakai Trump. Ini strategi Presiden Prabowo yang baik. Tinggal bagaimana melaksanakannya,” ujarnya.
Bhima menilai pendekatan ini bisa menarik investasi transisi energi dan teknologi hijau, termasuk untuk sektor pertanian dan ketenagalistrikan. “Prabowo tidak lagi melihat hijau sebagai penghambat, tetapi sebagai leverage di mata internasional,” tambahnya.
Namun, Direktur Eksekutif CERAH Agung Budiono mengingatkan bahwa regulasi energi nasional belum sepenuhnya mencerminkan komitmen tersebut. Ia mendorong revisi menyeluruh terhadap KEN dan RUPTL agar selaras dengan target 100% energi terbarukan dalam 10 tahun ke depan.
Penyangkalan Trump vs Konsensus Dunia
Pidato Trump yang menyebut transisi energi sebagai “penipuan besar” mendapat kritik tajam dari berbagai pihak. Direktur Eksekutif LSM Uplift Tessa Khan menyebut pandangan Trump “sama kredibelnya dengan klaim parasetamol menyebabkan autisme.” Sementara Kepala Eksekutif Yayasan Iklim Eropa Laurence Tubiana menyatakan bahwa “berpura-pura perubahan iklim tidak nyata sama saja dengan mengingkari kenyataan global.”
Data BloombergNEF menunjukkan bahwa pada 2024, 84% pertumbuhan permintaan listrik di China dipenuhi oleh tenaga angin dan surya. Inggris bahkan mendapatkan hampir sepertiga listriknya dari angin, menjadikannya sumber utama energi nasional.***





.jpg)










