JAKARTA, Stabilitas.id – Perbedaan proyeksi nilai tukar rupiah kembali muncul antara pemerintah dan Bank Indonesia (BI) dalam Rapat Kerja bersama Badan Anggaran DPR RI, Selasa (1/7/2025). Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan Gubernur BI Perry Warjiyo menyampaikan pandangan yang berbeda atas arah pergerakan rupiah sepanjang paruh kedua tahun ini.
Pemerintah memperkirakan rupiah akan bergerak dalam kisaran Rp16.300–Rp16.800 per dolar AS pada semester II/2025. Proyeksi ini mencerminkan kekhawatiran terhadap ketidakpastian global, terutama terkait konflik geopolitik dan kebijakan dagang proteksionis yang kembali digaungkan oleh pemerintahan Donald Trump di Amerika Serikat.
“Yang harus diwaspadai pada kuartal II ini adalah dampak dari tarif AS terhadap mitra dagangnya. Ini menambah tekanan terhadap arus modal dan pembiayaan defisit anggaran,” ujar Sri Mulyani dalam rapat tersebut.
BERITA TERKAIT
Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu menambahkan bahwa tekanan eksternal dapat berdampak pada pelebaran defisit transaksi berjalan (CAD) serta mengganggu stabilitas sektor eksternal.
BI Lebih Optimistis
Di sisi lain, Gubernur BI Perry Warjiyo mengemukakan outlook yang lebih optimistis. Bank sentral memproyeksikan nilai tukar rupiah akan bergerak di kisaran Rp16.000–Rp16.500 per dolar AS sepanjang 2025. Menurutnya, proyeksi ini masih sejalan dengan asumsi nilai tukar dalam Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) 2026, yakni Rp16.500–Rp16.900 per dolar AS.
“Kami menilai kisaran ini realistis, mencerminkan stabilitas yang dijaga melalui bauran kebijakan, termasuk intervensi di pasar valas dan optimalisasi yield aset domestik,” ungkap Perry.
Ia menyebut BI terus menjaga stabilitas rupiah melalui strategi tiga lapis intervensi, termasuk pasar spot, Domestic NDF (DNDF), serta instrumen di pasar offshore. Salah satu hasil konkret terlihat saat pasca-libur Lebaran 2025, di mana rupiah sempat menguat dari level Rp16.900 menjadi Rp16.100 per dolar AS, berkat aksi stabilisasi BI.
Namun demikian, Perry juga mengakui bahwa risiko global, termasuk ketegangan geopolitik dan arah kebijakan tarif AS, masih menjadi variabel yang perlu dicermati ketat.
Perbedaan proyeksi nilai tukar ini bukan kali pertama terjadi. Saat penyusunan APBN 2025, pemerintah dan BI juga mengajukan asumsi yang berbeda. Saat itu, BI menyampaikan bahwa nilai fundamental rupiah terhadap dolar AS berada pada kisaran Rp15.300–Rp15.700.
Namun, Perry mengakui bahwa asumsi tersebut belum memperhitungkan eskalasi risiko global. Ia menyebut bahwa dengan tambahan risiko geopolitik, kenaikan kurs hingga Rp15.900 masih tergolong wajar dan mencerminkan sikap kehati-hatian.
“Kalau ditambah Rp200 dari nilai fundamental, itu masih dalam batas kehati-hatian yang masuk akal. Tapi kalau ditambah Rp400 menjadi Rp16.100, menurut kami itu terlalu konservatif. Tapi tentu saja keputusan akhir di tangan pemerintah dan DPR,” kata Perry dalam rapat Komisi XI DPR, Agustus 2024 lalu.
Sri Mulyani sendiri berargumen bahwa penetapan asumsi kurs di atas Rp16.000 mempertimbangkan tekanan terhadap Current Account Deficit (CAD) dan komposisi cadangan devisa nasional, yang diproyeksikan belum cukup kuat untuk menahan gejolak eksternal dalam waktu dekat.
“Proyeksi balance of payments menunjukkan CAD akan membesar dan tidak bisa berubah arah dalam semalam. Inilah alasan kami menempatkan asumsi kurs di level konservatif,” ujar Menkeu.
Stabilitas Jadi Kunci
Perbedaan asumsi ini mencerminkan pendekatan berbeda antara fiskal dan moneter dalam merespons ketidakpastian global. Pemerintah mengedepankan kehati-hatian dalam menjaga kesinambungan fiskal dan kredibilitas APBN, sementara BI menitikberatkan pada respons kebijakan dan kredibilitas bauran moneter yang adaptif.
Pasar akan mencermati konsistensi komunikasi dan koordinasi keduanya dalam menjaga stabilitas makroekonomi di tengah dinamika global yang belum menunjukkan kepastian. ***





.jpg)










