Pembaca yang Budiman.
Perubahan penting sedang terjadi di industri perbankan yang mengandalkan layanan digital. Dalam beberapa tahun terakhir bank digital di Indonesia telah mulai bertransisi dari fase ekspansi agresif dengan strategi promosi besar dan ‘membakar uang’ untuk akuisisi nasabah, menuju fase konsolidasi profitabilitas.
Sebagian besar pemberi pinjaman digital, melaporkan kinerja operasional yang positif pada 2024. Beberapa bank digital berhasil mencetak laba tinggi karena memiliki integrasi dengan aplikasi e commerce dan berhasil menciptakan ekosistem yang menguntungkan, sehingga bisa mencatatkan simpanan dan pinjaman yang terus meningkat. Selain itu bank digita juga sudah mulai memperkuat efisiensi usaha mereka dengan mengurangi rasio biayan terhadap pendapatan.
Data dan publikasi resmi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) serta rangkuman riset menunjukkan perbaikan kinerja bank digital. Dari 10 bank digital dengan laba terbesar, mayoritas mencatatkan pertumbuhan dobel digit. Selain itu, terdapat juga bank yang membalikkan rugi menjadi laba pada semester I/2025. Dari 10 bank digital dengan cuan terbesar, PT Bank Neo Commerce Tbk. (BBYB) mencatatkan raihan laba bersih tertinggi senilai Rp276,05 miliar. Pada semester pertama tahun lalu, bank ini masih mencatatkan rugi Rp6,16 miliar.
Selain Bank Neo, terdapat juga PT Bank Aladin Syariah Tbk. (BANK) yang membukukan laba usai rugi pada semester I/2024. Dari sisi pertumbuhan, PT Bank Jago Tbk. (ARTO) dan PT Bank BCA Digital membukukan pertumbuhan tinggi hingga melampaui 100% secara tahunan (year-on-year/YoY).
Lalu apakah kondisi ini bisa dipertahankan ketika bank-bank non digital lainnya mulai melengkapi diri mereka dengan fitur-fitur digital yang akan membuat persaingan makin ketat? Nah, pada laporan utama kali ini, isu tersebut akan dibahas.
Pada tulisan awal akan kami ulas mengenai perkembangan kinerja bank-bank digital dalam beberapa tahun terakhir ketika awal-awal mereka masih menggunakan strategi bakar uang demi akuisisi dan penetrasi. Juga kondisi tahun 2025 ketika mereka mulai terlihat mencetak laba.
Pada sajian berikut akan dibahas faktor-faktor yang membuat mereka bisa mencatatkan laba. Secara umum terlohat strategi bisnis yang mereka lakukan untuk membalikkan kinerja adalah fokus ke model bisnis dengan meningkatkan pinjaman konsumtif (paylater, multiguna, kredit mikro digital), Fee-based income (biaya transaksi, marketplace, cross-selling asuransi/produk investasi). Namun apakah penguasaan mereka akan ekosistem ikut berpengaruh?
Selanjutnya akan dibahas mengenai risiko dan tantangan di tahun-tahun mendatang. Strategi bank digital dalam merespons mengenai persaingan likuiditas dengan bank-bank umum yang besar di saat bunga deposito valas akan menjadi fokus utama. Penempatan dana pemerintah sebesar Rp200 triliun di bank konvensional berpotensi men-distorsi funding cost di industri. Lalu juga bagaimana strategi bank digital menghadapi kondisi tersebut?
Bagian terakhir dalam lapora utama akan membahas mengenai masa depan bank digital. Di pasar modal bank digital sempat mendapat eforia Ketika saham-saham mereka melonjak. Namun kini investor dinilai lebih selektif. Serta akan dibahas ula terkait potensi merger dan akuisisi dari bank-bank digital, atau makin banyaknya bank digital ketika bank kecil lain jadi incaran fintech & grup konglomerat untuk dijadikan bank digital. Outlook jangka panjangnya adalah siapa yang punya ekosistem besar dan bisa efisiensi biaya dana maka dia akan bertahan.
Selain sajian itu, Anda juga tetap dapat menikmati artikel-artikel lainnya di rubrik-rubrik tetap, yang kami maksudkan untuk memberi insight bagi Anda para pengambil Keputusan terutama di bidang manajemen risiko, kepatuhan dan tata kelola.
Selamat membaca. ***
————–
Bapak dan Ibu dapat mengakses link berikut untuk E-Magazine Stabilitas edisi terbaru di link berikut:





.jpg)









