Jakarta – Analisis suku bunga perbankan yang dirilis Bank Indonesia dalam Tinjauan Kebijakan Moneter November 2011 mencatat suku bunga deposito satu bulan Agustus ke September naik tipis sebesar 3 basis poin menjadi 6,83 persen.
Pengamat ekonomi Mirza Adityaswara menilai, penurunan BI rate hingga 50 basis poin bisa jadi tidak mempengaruhi suku bunga deposito menjadi turun. Tidak meratanya kondisi ekses likuiditas diprediksi akan memaksa bank menengah kecil mempertahankan suku bunga deposito tinggi, apalagi jika perbankan didorong untuk memperluas kredit.
"Itu artinya kondisi ekses likuiditas tidak tersebar merata. Bank-bank besar bisa masuk ke pasar uang antarbank pinjam jangka pendek tenor satu bulan di bawah 6 persen, dan juga bank besar bisa masuk pasar obligasi pinjam tenor jangka panjang. Tapi bank menengah kecil yang ingin memacu kredit tapi dananya terbatas terpaksa rebutan dana pihak ketiga (DPK). Jalannya terpaksa dengan suku bunga deposito meningkat," ujar Mirza di Jakarta, Senin (14/11).
BERITA TERKAIT
Hal tersebut, lanjut Mirza, kemungkinan tidak hanya terjadi pada periode Agustus ke September, tapi setelahnya. Bisa saja pola yang sama terjadi kemudian walaupun BI telah dua kali memangkas suku bunga acuan sebesar 25 dan 50 basis poin menjadi 6 persen.
Bank kecil, kata Mirza, terpaksa melakukannya jika ingin menggenjot kredit di 2012, apalagi bank-bank yang loan to deposit ratio (LDR)-nya sudah 90 persen. "Kecuali bank-bank tersebut melambatkan laju kredit, maka tidak perlu tambahan DPK. Jadi belum tentu jika BI rate turun maka bunga DPK turun. Kecuali, BI membanjiri likuiditas pasar keuangan," terang Mirza.
Sementara itu, suku bunga kredit turun, masing-masing suku bunga kredit modal kerja turun 11 basis poin menjadi 12,39 persen, kredit investasi turun 4 basis poin menjadi 12,06 persen, sementara kredit konsumsi turun 5 basis poin menjadi 14,25 persen.
Menurut Mirza, suku bunga kredit sendiri diperkirakan tetap akan turun jika bank-bank punya keinginan mengembangkan ekonomi dengan positif. Sebelumnya kasus yang sama pernah terjadi ketika booming ekonomi pada 1994-1997. Ketika itu, perbankan memacu kredit tapi likuiditas tidak merata.
Karena suku bunga kredit turun sementara suku bunga deposito tidak, keuntungan bank tergerus. "Bank-bank tersebut harus rela menurunkan sedikit bunga kreditnya karena kompetisi. Dan karena bunga DPK-nya bank menengah kecil tidak turun, bahkan naik, maka NIM (nett interest margin)-nya turun. Mereka rela NIM tergerus asalkan total laba meningkat," kata Mirza seraya menambahkan, bank-bank besar, karena mengalami ekses likuiditas, diperkirakan dapat menurunkan bunga DPK-nya.
Dikatakan Mirza, hal tersebut sebenarnya dapat dihindari jika setiap bank punya akses terhadap pasar modal. Sayangnya, pasar modal Indonesia masih belum terjangkau bank kecil, berbeda dengan bank besar yang bisa mencari pendanaan alternatif dengan obligasi dan pasar modal.





.jpg)










