JAKARTA, Stabilitas.id – The Federal Reserve menaikkan suku bunga sebanyak 75 basis point, pada Rabu (27/7/22). Ini adalah kali kedua pada semua pertemuan bank sentral Amerika Serikat, sebagai upaya AS dalam menghadapi inflasi tertinggi dalam 40 tahun terakhir.
“Gambaran saat ini terlihat jelas. Pasar tenaga kerja sangat terbatas dan inflasi naik terlalu tinggi,” ungkap Ketua Federal Reserve AS Jerome Powell, dalam konferensi persnya.
Inflasi AS mengalami kenaikan hingga 9,1% pada Juni dari tahun sebelumnya, yang merupakan kenaikan tersebesar sejak tahun 1981.
BERITA TERKAIT
Kebijakan yang ingin dibuat oleh Bank Sentral AS ini berada di posisi yang tidak stabil. Disisi lain, pihak bank berusaha untuk membuat keseimbangan antara penurunan harga konsumen yang terus naik dengan terus menjaga pertumbuhan ekonomi.
Dilansir dari Aljazeera.com, Powell mengakui bahwa pertumbuhan ekonomi AS dan angka belanja konsumen telah menurun secara signifikan, aktivitas di sektor rumah tangga melemah, dan investasi di dunia bisnis juga telah menurun pada kuartal kedua.
Kepala Manajemen Portofolio di Commonwelath Financial (Perusahaan asal Massachusetts), Peter Essele, mengatakan “The Fed akan terus meningkatkan biaya modal untuk ekonomi yang melambat saat ini,”
Dampak buruk didapat oleh saham-saham megacap tahun ini. S&P 500, indicator kepercayaan Wall Street, mengalami keterpurukan selama enam bulan terakhir, ini merupakan yang terparah sejal 1970 lalu.
Selain itu, BitCoin yang merupakan koin digital terbesar di dunia juga kehilangan nilainya lebih dari 55% pada tahun ini.
Dampak lainnya adalah menurunnya Indeks Keyakinan Konsumen pada tiga bulan berturut-turut dari 98,4% menjadi 95,7% melalui pembacaan pada Juni, ini merupakan yang terendah sejak akhir Febuari 2021.
Beberapa ahli ekonomi memperingati The Fed, bahwa langkah ini akan menghambat pemulihan ekonomi yang sudah rapuh sejak masa pandemi dan risiko terjadi resesi besar-besaran. Selain itu, klaim menurunnya pasar tenaga kerja, sulit menjadi acuan untuk menaikkan suku bunga, yang dinilai angka pengangguran AS yang rendah, yaitu 3,6%.
Departemen Perdagangan AS pada Kamis (28/7/22), mengeluarkan Gross Domestic Product (GDP) terbaru. Dua kuartal dari pertumbuhan eknomi informal akan berpotensi terus alami penurunan.
Namun, pemerintahan Biden menyatakan akan tetap optimis dalam pertumbuhan ekonomi ini.
“Dua kuartal negatif dari pertumbuhan PDB bukanlah definisi teknis dari resesi,” ungkap Penasihat Ekonomi Nasional, Brian Deese, dalam jumpa pers di Gedung Putih, pada Selasa (26/7/22).
Dalam hal ini, Presiden Joe Biden tetap positif bahwa kondisi ekonomi AS akan terus membaik ke depannya.***





.jpg)










