JAKARTA, Stabilitas.id – Di tengah tekanan global pasca pandemi, gejolak geopolitik, serta transformasi digital yang disruptif, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyampaikan sinyal kuat perlunya reformasi menyeluruh terhadap sektor Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun (PPDP).
Dalam forum Indonesia Financial Sector Outlook (IFSO) 2025 yang digelar Stabilitas – LPPI (8/72025), Kepala Departemen Pengawasan Asuransi dan Jasa Penunjang OJK, Sumarjono, menegaskan bahwa penguatan struktural industri menjadi agenda prioritas demi menjaga ketahanan dan daya saing lembaga keuangan non-bank di tengah tekanan global.
Meski sektor PPDP mencatatkan pertumbuhan positif, tantangan struktural tetap menjadi sorotan. Total aset PPDP per Juni 2025 mencapai Rp2.810,19 triliun, tumbuh 6,89% secara tahunan. Nilai investasi tercatat Rp2.119,59 triliun (naik 7,07% YoY), dengan jumlah rekening mencapai 538,4 juta akun. Namun, OJK menilai angka ini belum mencerminkan kekuatan fundamental yang memadai untuk menghadapi dinamika jangka panjang.
BERITA TERKAIT
“Pertumbuhan belum mencerminkan ketahanan struktural. Literasi rendah, kepercayaan masyarakat yang fluktuatif, serta kompleksitas produk yang tidak ramah konsumen menjadi tantangan utama,” ujar Sumarjono, seraya menekankan pentingnya transformasi menyeluruh dari sisi supply dan demand industri.
Reformasi Permodalan
OJK mencatat bahwa hingga Mei 2025, sebanyak 73,61% perusahaan asuransi telah memenuhi ketentuan ekuitas minimum sesuai POJK 23/2023, yang efektif berlaku 31 Desember 2026. Namun tantangan lebih berat masih menanti, karena untuk tahap kedua yang efektif pada 2028, hanya 48,61% perusahaan yang sudah mencapai standar KPPE 1, dan hanya 31,25% memenuhi KPPE 2.
Langkah ini menjadi krusial untuk memperbaiki daya tahan lembaga keuangan non-bank di tengah volatilitas pasar dan meningkatnya kompleksitas risiko. OJK mendorong penguatan ekuitas sebagai modal dasar untuk mendukung konsolidasi, peningkatan kapasitas bisnis, dan perlindungan konsumen.
“Permodalan bukan sekadar angka, tetapi fondasi untuk menyerap risiko, meningkatkan akuntabilitas, dan mendorong reformasi manajemen risiko. Kita tidak bisa mentolerir struktur yang rapuh,” tegas Sumarjono.
Roadmap PPDP
Sumarjono. juga memaparkan, OJK menyusun roadmap strategis untuk sektor PPDP dengan target peningkatan densitas menjadi Rp17 juta dan penetrasi asuransi hingga 3,5% terhadap PDB pada 2028. Roadmap ini juga memasukkan target 90% portofolio mendukung UMKM, yang menjadi tulang punggung ekonomi nasional. Pendekatan ini diklaim sebagai bentuk reformasi inklusif yang menyasar peningkatan jangkauan dan kebermanfaatan sektor keuangan non-bank.
Penguatan ini tidak hanya bersifat teknokratis, namun juga didesain untuk menjawab realita sosial-ekonomi Indonesia yang didominasi sektor informal dan kelompok underinsured. OJK menempatkan roadmap ini sebagai agenda strategis nasional, terintegrasi dengan RPJMN dan visi pembangunan jangka panjang 2045.
“Kami ingin industri ini tidak hanya tumbuh, tapi mengakar. Penetrasi dan densitas tidak boleh stagnan. Setiap orang harus merasa punya alasan untuk punya asuransi atau dana pensiun,” ucap Sumarjono, menegaskan pendekatan inklusif yang akan ditempuh OJK.
Tantangan Global
Lanskap asuransi global tengah mengalami tekanan akibat perubahan iklim, risiko siber, krisis kepercayaan, dan digitalisasi. OJK menyadari bahwa sektor PPDP harus mampu merespons secara adaptif terhadap enam isu strategis global: climate risk, cyber risk, conduct & culture, digital innovation, diversity & inclusion, dan financial inclusion.
Di Indonesia sendiri, FSAP 2023 menyoroti perlunya penguatan governance, konsolidasi pasar, penerapan IFRS 17 (PSAK 117), serta peningkatan kapasitas pengawas. Dalam menjawab tantangan ini, OJK telah merumuskan kerangka kebijakan dengan pendekatan best practices dan harmonisasi standar internasional.
“Industri asuransi tidak bisa lagi bekerja dengan cara lama. Dunia berubah cepat, dan kalau kita tidak menyesuaikan dengan standar global, kita akan tertinggal,” ujar Sumarjono, merujuk pada agenda reformasi tata kelola dan penerapan PSAK 117.
Reformasi struktural juga menuntut kesiapan pelaku industri dalam investasi digitalisasi dan sistem akuntansi yang sesuai standar internasional. PSAK 117 menjadi titik balik transformasi industri asuransi dalam pengelolaan risiko, pencatatan keuangan, dan transparansi laporan. Namun, kesiapan perusahaan sangat bervariasi, terutama dalam infrastruktur TI, SDM, dan ketersediaan data historis yang valid.
Industri juga dihadapkan pada kebutuhan SDM berkualitas tinggi yang mampu menjawab kompleksitas regulasi dan perkembangan produk. Sektor dana pensiun, khususnya, menghadapi tantangan dalam digitalisasi layanan dan perluasan akses bagi pekerja informal yang belum terlayani.
“Kita tidak bisa bicara digitalisasi kalau ekosistem datanya belum sehat. Perusahaan harus berinvestasi bukan hanya di teknologi, tapi juga di orang dan proses. Ini era baru bagi sektor ini,” ujar Sumarjono.
Konsolidasi dan Spin-Off
Sebagai bagian dari strategi reformasi, OJK mendorong konsolidasi industri dan pemisahan unit syariah dari induk usaha. Tiering berbasis ekuitas akan diberlakukan untuk mengklasifikasikan perusahaan sesuai kapasitas dan kewajiban prudensialnya. OJK juga mewajibkan spin-off UUS sebagai bagian dari penguatan industri keuangan syariah secara struktural.
Langkah ini dianggap penting dalam menciptakan level playing field yang sehat, sekaligus memperkuat akuntabilitas dan tata kelola perusahaan. Perusahaan dengan struktur ekuitas lebih kuat akan mendapat keleluasaan dalam ekspansi bisnis dan pengembangan produk, sementara yang tidak memenuhi akan terdorong untuk merger atau restrukturisasi.
“Kami tidak ingin industri ini hanya bertahan karena longgar aturan. Kita butuh industri yang berdaya saing dan disiplin. Konsolidasi itu keniscayaan, bukan ancaman,” pungkas Sumarjono. ***





.jpg)









