JAKARTA, Stabilitas.id — Penunjukan Purbaya Yudhi Sadewa sebagai Menteri Keuangan ke-31 Indonesia menandai babak baru dalam pengelolaan fiskal nasional. Di tengah tekanan utang yang terus meningkat dan ekspektasi pasar yang tinggi, Purbaya memilih pendekatan yang tidak konvensional: mendorong pertumbuhan ekonomi tanpa menambah pungutan pajak. Strategi ini memicu perdebatan di kalangan ekonom, pelaku pasar, dan pengamat kebijakan.
Antara Skeptisisme dan Kredibilitas
Pelantikan Purbaya pada 8 September 2025 langsung direspons negatif oleh pasar. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terkoreksi 1,28 persen, mencerminkan keraguan investor terhadap kredibilitas fiskal sang menteri baru. Reaksi ini menunjukkan bahwa pasar tidak hanya menilai rekam jejak, tetapi juga membaca sinyal komunikasi dan arah kebijakan yang akan diambil.
BERITA TERKAIT
Padahal, Purbaya bukan sosok baru dalam dunia kebijakan ekonomi. Ia merupakan lulusan Teknik Elektro ITB dan meraih gelar Master serta Doktor dari Purdue University. Kariernya mencakup posisi strategis sebagai ekonom senior Danareksa dan Ketua Dewan Komisioner LPS. Namun, kritik tetap muncul. Ekonom Indef, Fadhil Hasan, menyebut Purbaya “bukan pilihan terbaik” karena belum pernah secara langsung mengelola fiskal negara.
Menanggapi kritik tersebut, Purbaya menegaskan bahwa dirinya telah terlibat dalam perumusan kebijakan fiskal sejak era Presiden SBY dan Jokowi. “Saya bantu Pak SBY tahun 2008. Saya orang kepercayaannya,” ujarnya. Pernyataan ini memperlihatkan bahwa meski perannya selama ini lebih banyak di balik layar, ia memiliki pemahaman mendalam tentang arsitektur fiskal nasional.
Bertaruh pada Pertumbuhan: Strategi Tanpa Pajak Baru
Dalam menghadapi tantangan konsolidasi fiskal, Purbaya memilih strategi yang berani: menolak pungutan pajak baru dan bertaruh pada akselerasi pertumbuhan ekonomi. Targetnya ambisius—mencapai pertumbuhan 8% dalam 2–3 tahun. Strategi ini didorong oleh keyakinan bahwa penerimaan negara dapat meningkat secara organik jika ekonomi tumbuh pesat.
Per Juli 2025, total utang pemerintah mencapai Rp8.113 triliun, naik dari Rp7.730 triliun pada 2024. RAPBN 2026 mengusulkan penarikan utang baru sebesar Rp781,9 triliun, meningkat dari outlook 2025 yang sebesar Rp715,5 triliun. Di tengah tekanan ini, Purbaya menyatakan, “Kalau pertumbuhannya bagus, anggap tax-to-GDP ratio-nya konstan, income-nya kencang juga.” Artinya, ia percaya bahwa basis pajak akan meluas seiring pertumbuhan ekonomi.
Namun, strategi ini bukan tanpa risiko. Ketergantungan pada pertumbuhan ekonomi sebagai sumber penerimaan negara menuntut stabilitas makro dan keberhasilan program-program stimulus. Tanpa itu, potensi shortfall fiskal tetap mengintai. Di sinilah pentingnya sinergi antara kebijakan fiskal dan moneter untuk menjaga momentum pertumbuhan.
Efisiensi Belanja dan Pengelolaan Utang
Selain fokus pada pertumbuhan, Purbaya menekankan pentingnya efektivitas belanja dan pengelolaan utang yang hati-hati. RAPBN 2026 menetapkan rasio utang terhadap PDB sebesar 39,96%, jauh di bawah batas aman 60% yang diatur dalam UU Keuangan Negara. Ini menunjukkan komitmen pemerintah untuk menjaga keberlanjutan fiskal.
Strategi pengelolaan utang diarahkan pada pendalaman pasar keuangan domestik. Tujuannya adalah mengurangi ketergantungan pada pembiayaan eksternal yang rentan terhadap fluktuasi global. Purbaya juga mengakui bahwa “masih ada pengelolaan keuangan yang belum optimal” dan berjanji akan memperbaikinya melalui reprioritisasi anggaran.
Reprioritisasi ini mencakup pengalihan belanja ke sektor produktif seperti irigasi dan jalan lingkungan. Program-program ini dinilai memiliki efek pengganda tinggi terhadap penciptaan lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi lokal. Di tengah ancaman PHK dan perlambatan ekonomi, belanja yang tepat sasaran menjadi kunci menjaga stabilitas sosial.
MBG: Program Sosial Bernuansa Fiskal
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) menjadi ujung tombak strategi fiskal Purbaya. Dengan alokasi Rp71 triliun untuk 19,47 juta penerima, MBG bukan sekadar bantuan sosial, tetapi juga instrumen fiskal yang dirancang untuk mendorong konsumsi dan memperkuat daya beli masyarakat. Efek pengganda dari program ini diharapkan mampu memperluas basis pajak secara alami.
Secara mikro, MBG dapat menghemat pengeluaran rumah tangga hingga Rp300.000–Rp500.000 per anak per bulan. Ini berpotensi meningkatkan disposable income dan mendorong konsumsi domestik. Secara makro, MBG diharapkan menstimulasi sektor pertanian, logistik, dan UMKM, menciptakan siklus ekonomi yang lebih inklusif.
Namun, efektivitas MBG sangat bergantung pada pelaksanaan yang transparan dan akuntabel. Tanpa pengawasan ketat, program ini berisiko menjadi beban fiskal tanpa hasil nyata. Oleh karena itu, pendekatan pilot project dan evaluasi berbasis data menjadi krusial untuk memastikan keberhasilan program.
Tantangan ke Depan
Meski optimis, Purbaya tidak menutup mata terhadap tantangan. Ia mengakui bahwa ekonomi Indonesia sedang “agak melambat” dan pasar masih bersikap wait-and-see. Ia percaya bahwa gejolak pasar akan mereda dalam waktu singkat, dengan mengatakan, “Dalam seminggu-dua minggu pasti akan balik.”
Kepercayaan diri Purbaya bersumber dari pengalamannya di pasar finansial selama lebih dari 15 tahun. Namun, tantangan tidak hanya datang dari pasar, tetapi juga dari dinamika sosial dan politik. Tuntutan reformasi perpajakan yang lebih adil dan transparan tetap menjadi tekanan yang harus dihadapi.
Untuk menjawab tantangan ini, Purbaya mendorong digitalisasi sistem perpajakan melalui Core Tax dan pengawasan intensif terhadap kebocoran penerimaan. Ia juga menekankan pentingnya komunikasi kebijakan yang proaktif dan berbasis data untuk membangun kepercayaan publik. Dengan pendekatan ini, Purbaya berharap dapat mengubah skeptisisme menjadi dukungan terhadap strategi fiskalnya. ***





.jpg)









