Oleh Agustaman
Pelaku pasar modal adalah pihak-pihak yang selalu well-informed terhadap apapun isu yang dinilai bisa berpengaruh terhadap instrumen-instrumen investasi. Maka dari itu, ketika akhir-akhir ini publik mengetahui bahwa ada isu normalisasi kebijakan AS karena perekonomiannya membaik, sejatinya orang-orang pasar modal sudah mengetahui terlebih dulu.
Oleh karena itu pemain-pemain di pasar modal yang kebanyakan investor asing sudah pasang kuda-kuda terhadap segala kemungkinan yang bisa membuat dana-dananya susut. Tak heran, di pasar modal dalam beberapa bulan terakhir dana-dana asing selalu hilir mudik dengan kecenderungan menyusut. Malah dalam dua bulan terakhir investor asing banyak melepas saham-saham yang dimilikinya hingga mencapai Rp8 triliun, menurut data dari sebuah perusahaan sekuritas, dan diperkirakan akan menyentuh Rp11 triliun hingga akhir Oktober.
BERITA TERKAIT
Semua itu erat hubungannya dengan rencana bank sentral AS yang ingin menghentikan program stimulus ekonomi yang sudah berjalan lima tahun belakangan. “Kami lihat rencana gubernur bank sentral AS atau The Federal Reserve mengakhiri program Quantitative Easing III yang menyisakan 15 miliar dollar AS pada 28 Oktober mendatang menyinyalir ekonomi AS menguat, investor asing bisa menarik dananya keluar dari pasar Indonesia,” kata Analis First Asia Capital David Sutyanto.
Selain mengantisipasi perubahan fundamental perekonomian AS, lanjut dia, investor asing juga mengantisipasi kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dalam melakukan net sell. Kenaikan harga BBM dikabarkan akan dieksekusi pada November ini dengan kenaikan Rp 3.000 per liter, atau setara Rp21 triliun penghematan APBN.
“Kalau BBM naik, pasar modal baik saham maupun obligasi akan terimbas, dan baru recover (pulih) setelah tiga sampai enam bulan, investor asing sudah mengantisipasi ini dengan melakukan net sell,” kata David.
Kondisi itu tak pelak membuat likuiditas di pasar modal menjadi lebih ketat dari sebelumnya. Dalam teori manajemen risiko, ada dua tipe risiko likuiditas. Pertama yang berasal dari likuiditas di pasar dan kedua yang berasal dari likuiditas pendanaan.
Pemulihan ekonomi AS juga bakal membuat The Fed segera menaikkan suku bunga, setelah dana stimulus hampir dipastikan dalam waktu dekat tidak lagi digelontorkan. Dua rencana itu hampir bisa dipastikan akan membuat dana-dana di sejumlah emerging market, termasuk Indonesia berbalik arah menuju Negeri Paman Sam.
Dengan skenario itu, kenaikan suku bunga bakal memacu arus modal kembali ke AS, sehingga membuat nilai tukar dollar AS terapresiasi. “Itu yang mesti diwaspadai, sekalipun saya yakin ekonomi kita tergolong cukup kuat untuk mengantisipasinya,” kata ekonom Universitas Indonesia, Faisal Basri.
Akan tetapi, mantan calon Gubernur DKI itu mengatakan bahwa kenaikan suku bunga The Fed tidak akan meruntuhkan atau mengeringkan likuiditas di pasar modal. Masih kompetitifnya return instrumen-instrumen investasi di Indonesia dibandingkan dengan yang ada di AS tidak akan membuat investor lari. “Bunga di Amerika 1,375 persen naik jadi 3 persen. Tidak mungkin uang orang Amerika di Indonesia bakal lari atau kembali ke sana. Return goverment bond di Indonesia 6,5 persen, masa jual terus beli yang 3 persen? Terus return pasar saham 23 persen, return pasar saham di AS sebesar 3,5 persen?,” kata Faisal.
Keyakinan itu segendang sepenarian dengan yang dimiliki otoritas pasar modal. Direktur Utama Bursa Efek Indonesia (BEI) Ito Warsito menilai, kebijakan The Fed tak banyak berdampak pada investor pasar modal. Menurutnya, pemerintah hanya perlu memperbaiki kebijakan terutama masalah perizinan agar investor mau menanamkan modalnya di Indonesia.
“Kami tidak melakukan antisipasi terkait kebijakan The Fed. Kami tidak peduli dengan kebijakan The Fed. Kami lebih fokus melakukan sosialisasi kepada masyarakat terkait industri pasar modal ketimbang memikirkan kebijakan The Fed. Justru kebijakan pemerintah itu yang berpengaruh ke investor,” ujar Ito, usai acara Investor Summit 2014, September lalu.
Ketidakkhawatiran Ito terhadap dampak The Fed, juga karena kepercayaan investor masih tinggi terhadap perekonomian Indonesia. Terlihat dari aliran dana masuk sebesar Rp54 triliun sepanjang tahun ini ke pasar modal.
Managing Partner PT Investa Saran Mandiri Kiswoyo Adi Joe memproyeksi, dengan stabilitas dan kepastian politik, IHSG akan menggapai level resisten pada kisaran 5.100-5.200. Bahkan, dengan catatan seandainya BBM naik pada November 2014, IHSG bisa terdorong ke level psikologis 5.500 sehingga menjadi modal yang kuat menahan sentimen dari kebijakan The Fed. Pada akhir bulan lalu, indeks saham berada di level 5.100 setelah beberapa hari sebelumnya terus melemah pasca pengumuman kabinet pemerintah baru.
Pada triwulan ketiga tahun ini tepatnya pada Agustus, dana-dana asing juga sempat hengkang dan merontokkan bursa hingga indeks saham terkapar di level 4.000. Saat itu, berdasarkan catatan BI, total dana asing yang keluar dari pasar saham dan obligasi sepanjang Juni mencapai 4,1 miliar dollar AS, setara dengan hampir seluruh modal asing yang masuk sepanjang Januari-Juni 2013. Akibat terpuruknya indeks, nilai tukar rupiah pun ambrol hingga melewati level Rp11.000 per dolar AS.
Pasar Obligasi Bergeming
Di pasar obligasi, otoritas juga optimistis bahwa langkah The Fed yang akan menaikkan suku bunga acuan tak akan mempengaruhi pasar obligasi di Indonesia. Dirut BEI Ito Warsito mengatakan bahwa pengaruh kenaikan suku bunga The Fed tidak akan berpengaruh besar terhadap penerbitan obligasi korporasi di Indonesia. Dia berpendapat, justru pertumbuhan penerbitan obligasi korporasi di Indonesia lebih banyak dipengaruhi oleh tingkat suku bunga di Indonesia.
“Sebetulnya pertumbuhan penerbitan obligasi korporasi Indonesia lebih banyak terpengaruh oleh tingkat bunga di Idonesia sendiri. Baik dalam bentuk obligasi dalam mata uang dollar maupun BI Rate,” jelas Ito.
Pernyataan itu kali ini diamini oleh sebagian analisis pasar modal, salah satunya Reza Priyambada. Analis dari Woori Korindo ini menilai, situasi global yang masih belum menentu baik ekonomi Jepang, China dan Eropa tidak membuat pasar obligasi domestik jatuh. Itu tercermin dari obligasi pemerintah yang menjadi benchmark yaitu FR0068 yang memiliki jatuh tempo 20 tahun yang mengalami kenaikan 249,05 bps.
Reza menuturkan, pelaku pasar masih memiliki optimisme yang cukup tinggi, sehingga laju pasar obligasi Indonesia masih dalam tren positifnya.
Sementara itu, pejabat dari Asian Development Bank (ADB), memiliki pendapat berbeda soal pengaruh normalisasi kebijakan AS terhadap harga dan pasar obligasi dalam negeri. Banyaknya pemain asing dalam instrumen ini memunculkan ancaman bagi pasar obligasi. Indonesia adalah negara dengan investor asing terbanyak di pasar surat utang di kawasan Asia Tenggara, nomor duanya adalah Malaysia.
Ancaman susutnya dana di pasar obligasi menurut Kepala Kantor Integrasi Regional ADB, Iwan Jaya Azis, menjadi kesempatan otoritas untuk meningkatkan investor lokal. “Yang bisa dilakukan Indonesia adalah mengalihkan investor dari luar negeri ke dalam negeri atau memperbesar pemain domestik di bond market,” kata dia.
Peraih Ph.D dari Cornell University ini mengatakan, rencana tapering off AS yang muncul tahun lalu juga menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi pasar obligasi di Indonesia. Kondisi ini pun, tidak bisa dikendalikan karena hal tersebut merupakan kebijakan yang tidak bisa diubah Indonesia.
Ekonom The Royal Bank of Scotland, Vaninder Singh meyakini, kenaikan suku bunga The Fed, yang diwacanakan terjadi pada awal 2015, tidak akan serta merta mendorong investor melarikan modalnya secara besar-besaran. Hal itu, karena pasar dan regulator sudah melakukan penyesuaian dan bersiap dengan bauran kebijakan untuk mengantisipasi pembalikan arus investasi.
“Investor masih ingin berinvestasi di obligasi Indonesia. Dan yang menolong valuasi nilai mata uang,”katanya.
Dia menilai, Bank Indonesia akan mempertahankan kebijakan moneter ketat. Setidaknya hingga pertengahan 2015. Pasalnya, BI perlu mempertimbangkan potensi penyesuaian kebijakan oleh pemerintah baru dan besaran defisit transaksi berjalan.
Suku bunga acuan Bank Sentral yang dipatok 7,5 persen, menurut Singh, juga tepat masuk dalam upaya BI untuk menjaga sasaran inflasi, serta likuiditas pasar keuangan agar tetap baik.
Dia juga menilai, peringatan dan penyesuaian yang sudah dilakukan BI, OJK dan pelaku pasar tentang rencana kenaikan suku bung The Fed, diperkirakan mampu meminimalisasi risiko pembalikan arus modal. Dibandingkan dengan kebijakan The Fed untuk pengurangan stimulus (tapering off) pada pertengahan 2013 yang secara tiba-tiba, Singh mengatakan, saat ini pasar sudah waspada dan diperkuat dengan kebijakan moneter dan regulator. Dia optimistis nilai tukar rupiah terhadap dolar AS akan terus stabil dikisaran Rp11.400-Rp11..900 hingga akhir 2014. Salah satunya karena ditopang tingginya minat investor terhadap obligasi negara.
***
Risiko Investasi RI Masih Rawan
Risiko investasi Indonesia masih cukup tinggi. Selain sentimen politik, faktor eskternal jadi pemicu utama kenaikan risiko tersebut. Mengutip Bloomberg, tingkat credit default swap (CDS) Indonesia untuk tenor 5 tahun per 8 Oktober 2014 sebesar 172,68 mendekati posisi tertinggi sejak Mei 2014 yang sebesar 174,47 yang terjadi pada 29 September 2014. Sepanjang Oktober 2014 CDS 5 tahun telah naik 3,08%.
Sebagai informasi, makin tinggi CDS berarti makin tinggi pula risiko investasi kawasan tersebut. CDS merupakan indikator hedging investor untuk membeli obligasi di suatu kawasan.
Tren CDS Indonesia yang cenderung naik juga terjadi di kawasan emerging market lainnya sepeti India dan Turki. Lana menunjukkan sejak pertengahan awal September hingga Oktober, pergerakan CDS Indonesia, India dan Turki punya pola yang sama. Tren CDS tiga negara emerging market ini dipengaruhi oleh rencana pemotongan stimulus oleh The Fed pada Oktober 2014 dan berpotensi pada keringnya likuiditas. Ditambah, investor asing juga masih was-was terhadap kepastian kapan The Fed akan menaikkan suku bunganya.
Di pasar obligasi, juga terlihat investor asing menarik dananya di Surat Utang Negara (SUN). Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang (DJPU) mencatat sejak akhir September hingga 6 Oktober, investor asing telah menarik dananya di SUN hingga Rp 3,61 triliun. Porsi kepemilikan investor asing pun menyusut menjadi 36,76 persen. Padahal pada akhir September jumlahnya mencapai 37,3 persen.
Koreksi obligasi juga terjadi di pasar sekunder. Mengutip data Inter Dealer Market Association, yield obligasi pemerintah tenor 10 tahun sejak 30 September hingga 8 Oktober 2014 konsisten menyentuh level 8,4 persen. Ini merupakan yang tertinggi sejak Februari 2014.
Tren koreksi kepemilikan asing dan kenaikan yield obligasi ini dipengaruhi oleh sentimen politik domestik, meski terbilang minor. Di pasar obligasi investor cenderung berhorison investasi jangka panjang. Sehingga memang ada pengaruh politik, tapi tidak begitu signifikan.
Lain halnya dengan riset yang dilakukan Fitch Rating Asia Pasifik. Riset ini mengatakan, sejumlah investor besar di Asia tengah khawatir dengan ancaman kekeringan likuiditas. Situasi paling ditakuti di pasar keuangan tersebut bisa muncul jika terjadi realisasi atas kemungkinan tapering off quantitative easing (QE) atau pengurangan stimulus moneter berupa pembelian obligasi pemerintah oleh bank sentral AS.
Kepala Riset Fitch Ratings Asia Pasifik Matt Jamieson mengatakan, berdasarkan wawancara dengan lebih dari 20 investor besar yang berbasis di Singapura dan Hongkong, sebagian besar percaya bahwa pelaksanaan tapering off akan berdampak besar pada pasar keuangan global. “Akan ada kekeringan likuiditas yang signifikan,” ujarnya dalam laporan Fitch Ratings (18/11/2014).
Sebagaimana diketahui, selama ini The Fed mengucurkan dana stimulus hingga USD 85 miliar per bulan untuk membeli surat utang pemerintahnya sendiri. Tujuannya, agar pemerintah memiliki dana untuk menggerakkan roda perekonomian AS. Namun, sinyal perbaikan ekonomi di AS membuat The Fed berencana mengurangi kucuran stimulusnya.
Menurut Jamieson, investor percaya bahwa The Fed yang sebelumnya menunda tapering off pada September lalu, akan benar-benar melakukan pengurangan stimulus pada periode triwulan I hingga triwulan III 2014 mendatang. Investor menilai sebenarnya dampak negatif tapering off pada pasar obligasi akan lebih bisa dimitigasi jika dilakukan pada September lalu. “Sebab, pasar sudah siap mengantisipasinya,” katanya.
***





.jpg)










