Tak pelak ancaman kenaikan suku bunga karena makin ketatnya kebijakan moneter akan menjadi perhatian utama perbankan. Apakah risiko pasar pada akhirnya bisa diserap oleh pelaku industri?
Oleh Romualdus San Udika
Boleh dibilang tahun 2022 adalah tahun paling dinamis, dalam lima tahun belakangan. Bagaimana tidak setelah perekonomian berhasil melewati momen terburuk dalam menghadapi pandemi, beragam perubahan silih berganti. Perubahan tebesar adalah soal kisruh geopolitik di Eropa yang muncul karena konflik Rusia-Ukraina.
Karena perang yang pecah di awal tahun itu, peta perdagangan dunia mulai bergeser, terutama di komoditas energi yang pada akhirnya menerbitkan krisis energi di kawasan Eropa. Buntutnya, kebijakan moneter global terimbas menjadi lebih ketat dan melahirkan risiko resesi jilid kedua sepanjang krisis sepanjang hampir tiga tahun ini.
Banyak bank sentral yang mulai agresif menaikkan suku bunga. Yang paling mencolok adalah The Federal Reserve yang terus menaikan suku bunga sejak 15 Juni lalu, yakni sebesar 75 basis poin ke kisaran 1,50 persen hingga 1,75 persen. Bank sentral AS itu belum pernah menaikkan suku bunga sebesar tiga perempat persen sejak 1994. The Fed, kembali menaikkan suku bunga acuannya pada 22 September sebesar 75 basis poin menjadi 3,0-3,25 persen. Kenaikan Fed Fund Rate ini merupakan kenaikan kelima kalinya selama tahun 2022.
Langkah otoritas moneter Paman Sam itu tentu memberi dampak signifikan bagi ekonomi global. “Kenaikan suku bunga oleh The Fed dan bank sentral lainnya di seluruh dunia dapat berdampak signifikan pada Asia. Para pembuat kebijakan di kawasan perlu berhati-hati menavigasi situasi dengan campuran kebijakan yang tepat untuk ekonomi mereka, dengan fokus khusus untuk membantu masyarakat miskin dan rentan,” tulis Asian Development Bank (ADB) dalam situs resminya.
Perlu diketahui, tingkat kebijakan yang ditetapkan oleh bank sentral dengan demikian bertindak sebagai tumpuan bagi suku bunga lainnya. The Fed dan bank sentral di negara maju mulai menaikkan suku bunga sebagai tanggapan atas melonjaknya inflasi domestik. Di AS, suku bunga rendah dan peningkatan pengeluaran pemerintah dalam menanggapi pandemi mengakibatkan pemulihan permintaan yang tajam dan pengetatan pasar tenaga kerja tahun lalu, menambah efek inflasi dari gangguan rantai pasokan. “Invasi Rusia ke Ukraina semakin meningkatkan inflasi dengan menaikkan harga energi dan pangan,” tulis ADB.
Bank Indonesia tentu sudah pasang kuda-kuda sejak pertengahan tahun untuk memitigasi dan merespons perubahan kebijakan moneter global. BI, hingga November telah membawa BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) ke level 5,25 persen, suku bunga Deposit Facility sebesar 50 bps menjadi 4,50 persen, dan suku bunga Lending Facility sebesar 50 bps menjadi 6,00 persen
Menurut pengamat dari Centre for Banking Crisis, Achmad Deni Daruri, otoritas sektor keuangan harus mengeksplorasi ancaman risiko resesi akibat kenaikan tingkat suku bunga wajib. Karena ada kecenderungan yang sangat kuat bahwa tingkat suku bunga global akan meningkat, sementara itu kondisi stagflasi juga tengah terjadi.
Namun, lanjutnya, terlepas dari cara-cara di mana suku bunga AS berdampak negatif terhadap ekonomi global, kenaikan suku bunga memang menguntungkan perdagangan luar negeri. Dollar AS yang lebih kuat, yang akan menyertai kenaikan suku bunga, akan meningkatkan permintaan Amerika Serikat atas produk di seluruh dunia dan meningkatkan keuntungan perusahaan domestik dan asing.
“Apapun yang mengurangi tabungan dunia atau meningkatkan permintaan investasi dunia akan meningkatkan tingkat bunga global. Selain itu, dalam jangka pendek dengan harga tetap, segala sesuatu yang meningkatkan permintaan barang di seluruh dunia atau mengurangi pasokan uang di seluruh dunia, menyebabkan tingkat bunga global naik,” jelas Deny.
Masih Kokoh
Anton Hendranata, Chief Economist BRI mengakui, kenaikan suku bunga The FED yang terus terjadi saat ini tentunya dapat semakin menekan pasar obligasi dan saham nasional. Selain itu, terjadinya capital outflow pada pasar finansial dapat mendorong depresiasi nilai Rupiah karena permintaan terhadap dollar AS yang meningkat dari penjualan aset finansial rupiah.
Namun, berdasarkan riset yang dilakukan BRI, fundamental ekonomi saat ini cukup kuat untuk menahan gejolak eksternal, baik pada sektor riil-perbankan, sektor finansial-valas, maupun sektor eksternal-perdagangan. “Sebut saja cadangan devisa yang masih mengalami surplus, juga indicator makro lainnya,” lanjut Anton.
Posisi cadangan devisa Indonesia akhir Oktober 2022 tetap tinggi tercatat sebesar 130,2 miliar dolar AS, setara dengan pembiayaan 5,8 bulan impor atau 5,6 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri Pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor.
Terkait hal itu, Ekonom Bank Permata Josua Pardede menambahkan, kendati Kebijakan The Fed ini akan membuat ketidakpastian terhadap pergerakan nilai tukar rupiah. Namun, Josua percaya BI masih tetap akan bisa menjaga stabilitas rupiah dengan masih tambunnya cadangan devisa dan berbagai langkah intervensi yang akan disiapkan.
Sekretaris Perusahaan PT Bank Mandiri (Persero) Tbk. (BMRI) Rudi As Aturridha menuturkan bahwa secara umum diproyeksikan bank-bank akan membutuhkan waktu penyesuaian suku bunga simpanan dan kredit dalam 3 – 6 bulan ke depan. Selain itu, kata Rudi, kondisi lain yang menjadi pertimbangan antara lain likuiditas pasar dan struktur biaya dana atau cost of fund untuk suku bunga dana. “Ke depannya, kami akan terus memantau perkembangan suku bunga acuan, posisi likuiditas, dan kompetisi di pasar, agar rate yang kami berikan ke nasabah tetap kompetitif,” pungkasnya.
Sejak 2020 Rudi menambahkan bahwa dari sisi industri, kondisi perbankan Indonesia saat ini cukup baik dengan permodalan yang kuat dan kondisi likuiditas terjaga baik. Pertumbuhan kredit juga terus berakselerasi sejalan dengan pemulihan ekonomi.
Menilik laporan BI yang dirilis per November 2022, kondisi likuiditas di perbankan meningkat dan memadai dalam mendukung intermediasi. Pada Oktober 2022, rasio Alat Likuid terhadap Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) masih tinggi mencapai 29,46 persen dan meningkat dari bulan sebelumnya. Pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) sebesar 9,41 persen (yoy) dan meningkat dibandingkan bulan sebelumnya sejalan dengan net ekspansi Pemerintah. Peningkatan DPK terjadi pada kelompok korporasi dan rumah tangga sejalan dengan berlanjutnya pemulihan ekonomi nasional. Hasil simulasi Bank Indonesia menunjukkan bahwa ketahanan perbankan masih terjaga.
Kendati transmisi kenaikan suku bunga kebijakan mendorong peningkatan suku bunga di pasar uang, namun kenaikan suku bunga perbankan terbatas. Di pasar uang, suku bunga IndONIA pada 16 November 2022 naik 150 bps dibandingkan akhir Juli 2022 menjadi sebesar 4,30 persen, sejalan dengan kenaikan BI7DRR dan penguatan strategi operasi moneter Bank Indonesia. Imbal hasil SBN tenor jangka pendek meningkat 143 bps, sementara imbal hasil SBN tenor jangka panjang relatif terjaga.
Sementara itu, kenaikan suku bunga perbankan, baik suku bunga dana maupun suku bunga kredit, lebih terbatas. Suku bunga deposito 1 bulan pada Oktober 2022 naik menjadi 3,40 persen dari 2,89 persen pada Juli 2022, sementara suku bunga kredit Oktober 2022 meningkat terbatas menjadi 9,09 persen dari 8,94 persen pada Juli 2022. Masih terbatasnya kenaikan suku bunga tersebut seiring dengan likuiditas yang masih longgar yang memperpanjang efek tunda (lag effect) transmisi suku bunga kebijakan pada suku bunga dana dan kredit.
Kepala Departemen Komunikasi BI, Erwin Haryono menegaskan, ketahanan sistem keuangan, khususnya perbankan, tetap terjaga baik dari sisi permodalan maupun likuiditas. Permodalan perbankan tetap kuat dengan rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio /CAR) September 2022 tetap tinggi sebesar 25,09 persen. Seiring dengan kuatnya permodalan, risiko tetap terkendali yang tercermin dari rasio kredit bermasalah (Non Performing Loan /NPL) pada September 2022 yang tercatat 2,78 persen (bruto) dan 0,77 persen (neto). ***