Satu kata yang belakangan tengah menjadi perbincangan adalah soal merawat. Kata itu juga ber- kepresidenan yang diberitakan mogok yang sliweran di pikiran saya. Bermula dari mobil akhirnya menyeret perseteruan nama mantan presiden. Alih-alih akan membahas detail masalah itu, saya memilih membicarakan mengenai kata ‘merawat’.
Ya, merawat. Bagaimana mungkin –meski tetap ada kemungkinan– mobil orang nomor satu di Indonesia bisa mogok? Padahal keselamatannya menjadi prioritas nomor satu negara ini. Orang biasa saja, seperti saya dan Anda, meski memiliki mobil yang usianya sudah 10 tahun sejak dibeli, jika mendapatkan perawatan atau servis rutin tentu kecil kemungkinan kendaraan kita itu mogok.
Kata merawat juga muncul ketika Presiden joko Widodo tampil di media tengah mendatangi peliharannya yaitu kambing yang baru melahirkan. Betapa gembiranya sang presiden ketika direkam oleh kamera wartawan tengah berjongkok memperhatikan anak kambing yang baru saja belajar berjalan di hadapannya.
Ironisnya, pada saat yang hampir bersamaan, ada seorang warga negara yang sudah beberapa hari protes di depan Istana Negara dengan menyemen kakinya, diberitakan meninggal dunia. Seorang ibu yang memprotes pendirian pabrik semen di atas sawah-sawah milik penduduk daerahnya akhirnya harus meregang nyawa.
Dia bersama dengan puluhan orang lainnya membiarkan kakinya disemen. Dan Presiden hanya mengirimkan stafnya untuk menemui para pengunjuk rasa itu. Aksi semen kaki oleh petani Kendeng dilakukan sebagai bentuk protes terhadap izin lingkungan baru yang diteken Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo Dengan terbitnya izin tersebut kegiatan penambangan karst PT. Semen Indonesia di Rembang masih tetap berjalan. Mereka pun meminta Presiden Jokowi segera mencabut izin perusahaan itu dan menghentikan kegiatan penambangan karst oleh pabrik semen karena dinilai merusak lingkungan.
Kita memang tidak bisa mengatakan bahwa Presiden Jokowi lebih memilih merawat kambing peliharaannya ketimbang merawat petani-petani Kendeng, Rembang, Jawa Tengah sekaligus lahan pertanian di wilayah itu. Kata merawat juga hilir mudik di benak saya ketika melihat perseteruan antara pemilik moda transportasi konvensional alias angkot di Bogor dengan transportasi on line yang kini marak. Kisruh ini seolah memunculkan lagi permusuhan antara yang para pemain lama di bidang transportasi dengan pendatang baru yang tiba-tiba mengambil pangsa pasar pemain lama.
Disrupsi bisnis seperti ini sekali lagi telah menyebabkan pemerintah gagap dalam menyikapinya. Alih-alih merawat bisnis yang sesuai dengan perkembangan terkini dan berpotensi menekan biaya dan harga, pemerintah malah seolah ingin membuat bisnis baru itu bertambah mahal, agar pemain lama bisa bersaing kembali.
Hal itu ibarat masyarakat yang saat ini mulai terbiasa menggunakan komputer, atau laptop karena lebih efsien, dipaksa harus kembali menggunakan mesin tik. Hal itu dilakukan karena produsen mesin tik merasa tidak bisa bersaing dengan teknologi baru.
Akan tetapi saya akui bahwa penggambaran itu tidak sesederhana seperti yang saya tulis di atas. Moda transportasi on line, jika ingin meniru negara tetangga memang harus diperlakukan seperti juga transportasi publik lainnya. Mereka harus memiliki KIR, identifkasi supir, dan juga pajak. Selain itu mereka juga harus dikenakan tarif batas dan bawah. Saya membayangkan pemerintah bisa merawat kondisi ini. Tetapi bukan bermaksud agar pemerintah merawat kondisi perseteruan ini, namun mencari jalan keluar yang lebih adil buat semua. Karena semua adalah warga negara yang berhak mencari penghidupan yang layak.
Penurunan Mendalam Pasar Saham Indonesia 18 Maret 2025
Oleh : Dr. Katarina Setiawan, Chief Economist & Investment Strategist PT Manulife Aset Manajemen Indonesia (MAMI) Tanggal 18 Maret 2025 pasar...




.jpg)









