Oleh Romualdus San Udika
Industri perbankan memang telah banyak berbenah setelah ditimpa krisis ekonomi di dekade akhir 90-an lalu. Salah satu yang paling menjadi perhatian adalah soal penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik.
Kini setelah nyaris dua dekade berlalu, praktik good corporate governance (GCG) di sektor perbankan sudah jauh lebih baik. Bank swasta nasional, sebagai bank dengan jumlah terbanyak tentu menjadi kelompok bank yang selalu menjadi perhatian.
Berdasarkan kajian dari Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) yang meneliti praktik GCG dari 108 bank di Indonesia selama 2007-2018, ditemukan bahwa dalam tiga tahun kondisinya membaik. Meskipun demikian jika ditarik sejak awal penerapan maka tren yang didapatkan adalah memburuk.
Gambaran praktik dari bank-bank swasta nasional dan asing tidak berbeda jauh dari gambaran industri tersebut. Kondisi penerapan GCG yang belum dibanggakan itu bertemu dengan fakta bahwa dibandingkan dengan negara-negara tetangga, penerapan GCG bank nasional masih tertinggal jauh.
“Saat ini yang bisa jadi panutan dalam hal praktik GCG adalah Australia dan Jepang. Namun dibandingkan dengan negara-negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia, harus diakui GCG kita masih kalah,” kata Ketua Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG), Mas Achmad Daniri.
Menurut dia, kekurangan praktik GCG di Tanah Air adalah komitmen penegakannya di lingkungan terkecil dalam perusahaan. Prinsip-prinsip GCG, lanjut Daniri, harus didetilkan dalam bentuk code of ethics dan code of conduct.
Pengalamannya di Panasonic, ketika kantor pusatnya di Jepang mengirimkan sejumlah aturan mengenai Tata Kelola Perusahaan, dia meminta para bawahannya untuk mengusulkan apa saja yang harus dilakukan berkenaan dengan hal itu. Kemudian dilakukan forum group discussion, sebelum akhirnya diimplementasikan dalam perusahaan.
“Itu semua untuk mendapatkan ownership dari karyawan terhadap peraturan baru, kalau mereka merasa memilik aturan itu maka mereka akan mematuhinya tanpa terlalu ada paksaan,” jelas Daniri.
Di Indonesia sambung dia, yang perlu ditekankan pada perusahaan agar penerapan GCG menjadi efektif adalah ethics, governance dan law enforcement.
Praktik GCG industri perbankan nasional yang masih lemah juga diakui oleh Sigit Pramono. Bankir senior yang kini menjadi Ketua Indonesia Institute for Corporate Directorship, mengatakan Indonesia hanya memiliki lima perusahaan yang sudah masuk dalam kategori baik dalam penerapan GCG. Adapun, tiga di antaranya adalah bank papan atas.
Sementara itu, bank lainnya masih dalam tahap implementasi menengah. Bahkan, banyak juga di antara pelaku industri perbankan tersebut yang mengaku masih belum patuh dalam penerapan prinsip GCG. “GCG perbankan Tanah Air memang masih sangat perlu ditingkatkan. Kita masih tertinggal sangat jauh dari negara-negara lain, bahkan dari negara tetangga,” kata dia.
Adapun, Sigit memaparkan, dari 50 perusahaan terbuka yang GCG bagus di ASEAN 2017, Malaysia menempatkan 14 perusahaan, Singapura menempatkan 12 perusahaan, Thailand menempatkan 11 perusahaan, Filipina menempatkan 9, sedangkan Indonesia hanya 4 perusahaan.
Hasil Kajian
Berdasarkan kajian LPPI mengenai penerapan GCG di industri perbankan 2007-2018, terlihat pada kelompok bank swasta nasional hasilnya cukup menyebar. Dari 70 bank yang diteliti nilai komposit menyebar dari 1 hingga 2,67.
Skor 1 adalah nilai tertinggi di industri yang berarti SANGAT BAIK yang dipegang oleh Bank BCA. Sementara skor 2,67 yang berarti dalam kisaran CUKUP didapat oleh Bank Ganesha. (selengkapnya lihat: Praktik GCG: Masih dalam Tren Pemburukan).
Jika dibedah lebih lanjut lagi maka ada enam bank yang berpredikat SANGAT BAIK, 59 bank berpredikat BAIK, dan lima bank berpredikat CUKUP. “Dibandingkan rata-rata seluruh bank swasta terdapat 30 bank berada di bawah rata-rata dan 42 bank berada di atas rata-rata. Sementara dibandingkan rata-rata industri terdapat 46 bank berada di bawah rata-rata industri dan 26 bank berada atas rata-rata,” kata riset itu.
Bank-bank swasta jika dilhat secara size, tersebar di BUKU 1 hingga BUKU 4. Menurut riset yang sama dari indikator pembentuk nilai GCG, pada kelompok BUKU 1 faktor rencana strategis (no.11) dan juga faktor benturan kepentingan (no.4) menjadi hal yang paling berpengaruh dalam penerapan GCG di bank.
Pada bank BUKU 2, yang paling signifikan mempengaruh penerapan GCG di bank adalah faktor audit eksternal (7) dan faktor pelaksanaan tugas komite (3). Sementara di bank BUKU 3 yang paling bepengaruh adalah faktor manajemen risiko (8) dan faktor pelaksanaan tugas komite (3). Dan pada bank BUKU 4 yang paling dominan mempengaruhi penerapan GCG-nya adalah faktor pelaksanaan tugas komisaris (2) dan faktor benturan kepentingan (4).
Kemudian berdasarkan kajian yang sama, kelompok bank yang dimiliki investor asing yang beroperasi di Tanah Air, rata-rata memiliki peringkat komposit BAIK, dan nilai tersebut lebih baik dari rata-rata industri. Adapun bank asing yang diteliti dalam kajian ini berjumlah lima bank yang mana dua bank berada di bawah rata-rata sedangkan sisanya di atas rata-rata.
Secara umum memang nilai komposit rata-rata seluruh bank asing masih sedikit lebih baik dibanding bank swasta terutama pada 2018. Bank asing mencatatkan nilai rata-rata 1,90 sedangkan bank swasta berada di tingkat 1,96.
Meski demikian bukan berarti bisa disimpulkan kalau bank-bank swasta memiliki kinerja lebih buruk dibandingkan bank asing. Menurut Presiden Direktur Bank Central Asia (BCA) Jahja Setiaatmadja, kinerja bank asing di dalam negeri masih kalah dengan bank-bank nasional.
Bahkan jika dihitung sejak 1998, kinerja bank-bank asing tidak terlalu spektakuler. Hanya segelintir saja bank asing yang sukses berkiprah di dalam negeri. Bank yang masuk kategori swasta namun dikuasai asing pun masih belum mampu menggeser BCA yang masih menjadi yang terbaik baik dari sisi kinerja keuangan dan rapor GCG.
“Bank-bank asing harus mengetahui budaya dan bagaimana memperlakukan nasabah di Tanah Air karena pengenalan akan nasabah sangat penting. Karena itu, bank lokal bisa menjadi kuat karena kemampuan yang jauh lebih kuat dalam tata kelola, terutama dalam mengelola hubungan dengan nasabah,” kata Jahja.
Dengan mengetahui budaya, perlakuan, dan mampu memiliki hubungan yang baik dengan nasabah dalam negeri, akan berdampak positif untuk penyaluran pinjaman, pendanaan, maupun sistem pembayaran bank tersebut. “Kalau cuma modal teknik perbankan, tidak masuk, tidak laku, tapi harus lebih dari itu,” pungkas Jahja.
Kepala Riset LPPI Lando Simatupang menjelaskan, dalam kondisi ekonomi yang belum stabil, bank swasta nasional perlu mengedepanan strategi GCG yang tepat. Sebab di semester pertama tahun lalu misalnya, pertumbuhan kredit yang melambat secara industri membuat kinerja bank swasta dan ‘milik asing’ terganggu. Alhasil, bank yang dimiliki asing harus menggenjot pendapatan nonbunga atau fee based income. agar tetap meraih laba bersih.
Menurut Lando, bank asing sejatinya memiliki peluang mengeruk untung dari fee based income karena mereka memiliki fitur teknologi yang lebih lengkap dibanding bank dalam negeri.
Jika melihat dari sisi volume transaksi fee based income, mungkin masih lebih kecil dibanding bank lokal. Tapi bicara mengenai pertumbuhan, karena bank lokal masih konsolidasi, dan secara fitur layanan dan teknologinya mungkin tak secanggih bank-bank jiran maka dari sisi fee based income bank swasta asing lebih cepat.
“Fee based dalam konteks bank asuransi, devisa, yang notabene mereka ada kompetensi di situ, itu peluangnya,” ujarnya.