Oleh Agustaman
Pada galibnya penerapan good corporate governance (GCG) di bank syariah dan konvensional memakai prinsip-prinsip yang sama, yaitu transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi dan kewajaran. Namun demikian, para pengelola bank syariah juga harus memenuhi kepatuhan pada prinsip syariah.
Implementasi GCG di bank syariah tidak bisa dipisahkan dari kewajibannya untuk menjalankan kegiatan usaha yang berdasarkan prinsip syariah. Hal inilah yang membedakannya dengan penerapan GCG di bank konvensional.
Jika kita tengok di lapangan, Tata Kelola Perusahaan yang Baik di perbankan syariah dalam beberapa tahun lalu –terutama 2016, 2017, dan 2018 –memang berada dalam sorotan publik. Kasus-kasus besar yang menimpa bank umum syariah dan unit usaha syariah, yang kemudian membuat pembiayaan macet, sempat mendominasi kinerja.
Namun demikian saat ini, para pengelola tengah berupaya memperbaiki tata kelola agar kejadian-kejadian yang mencoreng reputasi bank syariah tidak terulang. Setidaknya itulah yang diungkapkan Aziz Budi Setiawan, pengamat ekonomi syariah. “Secara umum, bank syariah sedang berusaha memperbaiki penerapan GCG-nya. Karena ada kaitan yang sangat erat antara kualitas GCG dengan kinerja bank syariah,” kata dia.
Menurut pria yang juga pengajar di STEI SEBI, sebuah kampus ekonomi syariah, beberapa bank syariah yang mengalami penurunan kinerja beberapa tahun terakhir terlihat secara jelas juga mengalami penuruan peringkat nilai komposit GCG dan juga peringkat profil manajemen risikonya. Demikian juga, beberapa bank syariah yang mengalami peningkatan peringkat nilai komposit GCG dan juga peringkat profil manajemen risikonya juga mengalam peningkatan kinerjanya.
Azis mengaku tengah melakukan penelitian terhadap hubungan praktik GCG bank syariah dengan kinerja bisnisnya. Melihat upaya yang dilakukan perbankan syariah untuk memperbaiki kualitas tata kelola, dia optimistis bahwa nilai akhir GCG bank akan membaik. “Mungkin nanti kita akan lihat skor akhir nilai 2019 cenderung stabil. Beberapa yang sudah baik akan mengalami peningkatan atau bertahan, sedangkan yang nilainya masih rendah beberapa akan memiliki skor tetap dan sebagian akan ada perbaikan,” tambah dia.
Bank syariah menghadapi tantangan regulasi yang mana mereka yang masih menjadi unit usaha sebuah bank konvensional harus segera memutuskan untuk spin off atau mengonversi induknya menjadi syariah. Aturan itu harus segera dilaksanakan paling lambat 2023.
Beberapa bank memang sudah memenuhi aturan tersebut, sementara banyak sisanya yang masih mempertimbangkan opsi-opsi yang ada. Menurut Azis, dirinya belum bisa menyimpulkan apakah bank hasil spin off atau konversi yang akan mencatatkan kinerja bisnis lebih baik. “Karena datanya masih sedikit dan terbatas untuk bisa ditarik kesimpulan secara ilmiah. Selain itu karena faktor kinerja bank syariah ini cukup kompleks.
Menurut dia beberapa bank hasil spin off yang kinerjanya sangat bagus, bagus dan ada yang buruk. Demikian juga beberapa bank hasil konversi juga cukup baik kinerjanya. Tetap secara natural sebenarnya bank konversi bisa jauh lebih cepat mencetak kinerjannya karena kelengkapan infrastrukturnya dari bank sebelumnya. Sehingga secara beban dan investasi, tidak membutuhkan jauh lebih besar dibanding bank syariah spin off yang harus banyak menambahkan biaya dan investasi.
Hasil Kajian
Sementara itu, berdasarkan Kajian yang dilakukan Riset Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) tentang GCG periode 2007-2018, terlihat bahwa bank penerapannya pada hasil konversi lebih baik. Data menunjukkan bank yang memiliki unit usaha syariah (UUS) melakukan konversi menjadi Bank Syariah memiliki nilai rata-rata peringkat komposit di atas rata-rata industri perbankan syariah dan masuk ke dalam peringkat komposit (PK) Baik.
Data yang digunakan adalah data GCG bank syariah sebanyak 14 bank sejak 2007 sampai dengan 2018. Di dalamnya terdapat delapan bank yang melakukan konversi dan 5 bank yang melakukan spin off.
Untuk bank yang melakukan spin off memiliki nilai rata-rata peringkat komposit di bawah rata-rata industri perbankan syariah, namun masih mendapat predikat BAIK. “Secara keseluruhan nilai rata-rata GCG bank yang melakukan konversi memiliki PK Baik kecuali Bank Syariah Mandiri memiliki predikat Sangat Baik. Sementara untuk nilai rata-rata GCG bank yang melakukan spin off semua bank memiliki PK Baik,” jelas Lando Simatupang, Kepala Divisi Riset LPPI.
Sedangkan bila dibandingkan terhadap industri, sambung Lando, terdapat 10 bank atau 71,43 persen berada di bawah rata-rata yang menunjukkan nilai PK lebih baik dari industri dan 4 bank atau 28,57 persen berada di atas rata-rata yang menunjukkan nilai PK tidak lebih baik dari industri.
Kajian LPPI juga menyebutkan, dari segi tren rata-rata peringkat komposit, pada umumnya untuk keseluruhan bank syariah yang melakukan konversi dan spin off mengalami fluktuasi setiap tahunnya. Untuk bank konversi lebih terlihat adanya penurunan nilai PK. Artinya mengalami kondisi yang lebih baik, sedangkan untuk bank spin off lebih terlihat adanya kenaikan nilai PK yang artinya mengalami penurunan kualitas penurunan tata kelola.
Rentang nilai GCG perbankan syariah, dalam kajian LPPI, menunjukkan wilayah yang luas dengan nilai terendah adalah 1,42 dan tertinggi 2,69. Sedangkan dalam hal asset growth, hasil penelitian memperlihatkan asset growth bukan ditentukan oleh pilihan spin off atau konversi, tapi dipengaruhi oleh GCG. Ada kecenderungan semakin kecil score-nya alias semakin implementasi GCG berlangsung dengan baik akan menghasilkan asset growth yang lebih cepat, baik pada bank spin off atau konversi.
Momok Risiko SDM
Pelaku perbankan syariah masih terus dihantui oleh risiko operasional terutama dari sisi sumber daya manusia. Hal itu dinilai sebagai akibat dari strategi usaha sebagian besar bank syariah yang cukup agresif sepanjang tahun 2009 sampai 2014.
Sepanjang periode 2009-2014, pertumbuhan perbankan syariah memang terlihat sangat kencang. Bahkan ada bank yang membuka jaringan atau cabang dua kali sampai tiga kali lipat. Perbankan syariah ketika itu mampu tumbuh hingga 300 persen. Namun, dalam melakukan ekspansi tersebut bank syariah yang tidak siap dengan SDM banyak mengatrol pegawai dan juga mengambil pejabat dari bank konvensional.
Akibatnya, bankir yang belum waktunya memimpin kantor cabang pembantu, dia harus memimpin, karena tidak ada SDM syariah yang tersedia. Padahal dia belum punya pengalaman mengenai pembiayaan, tapi ketika memimpin kantor cabang harus mengambil keputusan mengenai pembiayaan.
“Maka, pembiayaan-pembiayaan itulah yang akhirnya menjadi NPF alias kredit macet. Sehingga, kita menuainya sekarang, di periode 2015, 2016 dan 2017. Dan ini adalah tugas dari perbankan syariah untuk memperbaikinya,” kata Mulya Siregar, Komisaris Utama Bank Syariah Mandiri, beberapa waktu lalu.