JAKARTA, Stabilitas.id — Pemerintah melalui Menteri Keuangan yang baru, Purbaya Yudhi Sadewa, resmi menarik dana sebesar Rp200 triliun dari rekening Bank Indonesia untuk ditempatkan di enam bank BUMN. Langkah ini bukan sekadar relokasi dana, melainkan strategi fiskal yang disebut sebagai “confidence push” untuk mendorong sektor perbankan agar lebih aktif menyalurkan kredit dan memperkuat pertumbuhan ekonomi nasional.
Dana tersebut ditempatkan di empat bank BUMN konvensional dan dua bank syariah. Menurut Ketua Umum Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia, Priyanto B. Nugroho, kebijakan ini merupakan sinyal kuat bahwa pemerintah ingin menciptakan momentum pertumbuhan ekonomi melalui dorongan kepercayaan kepada pelaku usaha dan sektor keuangan.
“Ini bukan hanya soal likuiditas, tapi soal keyakinan. Pemerintah ingin menunjukkan bahwa mereka hadir dan siap mendukung ekspansi ekonomi,” ujar Priyanto dalam podcast LPPI Voice edisi ke-58.
BERITA TERKAIT
Mekanisme dan Tujuan Strategis
Dana Rp200 triliun yang sebelumnya mengendap di rekening pemerintah di Bank Indonesia kini dialihkan ke rekening deposito di bank-bank BUMN. Tujuannya adalah agar bank memiliki ruang lebih luas untuk menjalankan fungsi intermediasi, yakni menyalurkan dana ke sektor riil melalui kredit produktif.
Namun, Priyanto menekankan bahwa kebijakan ini harus dijalankan dengan sejumlah rambu-rambu agar tidak menimbulkan distorsi. Antara lain, Pemerintah tidak boleh meminta bunga tinggi atas dana yang ditempatkan.
Dana tidak boleh digunakan untuk membeli Surat Berharga Negara (SBN) atau instrumen moneter Bank Indonesia. Harus ada kepastian durasi penempatan dana agar bank bisa merancang strategi kredit jangka menengah. Dana harus disalurkan ke kredit produktif, bukan konsumtif, untuk menghindari tekanan inflasi.
“Kalau dana ini lari ke kredit konsumsi, sementara kapasitas produksi belum meningkat, maka inflasi bisa melonjak,” jelas Priyanto.
Dampak terhadap Perbankan dan Ekonomi
Secara teknis, penempatan dana ini akan meningkatkan uang primer (M0) dalam sistem moneter. Bank-bank penerima dana akan mencatat tambahan simpanan pemerintah sebagai peningkatan Dana Pihak Ketiga (DPK), yang memperkuat neraca mereka dan membuka ruang ekspansi kredit.
Namun, Priyanto mengingatkan bahwa likuiditas bukan satu-satunya tantangan. Sektor riil masih menunjukkan kehati-hatian dalam berinvestasi, dan iklim usaha belum sepenuhnya pulih. Oleh karena itu, kebijakan ini harus dibarengi dengan reformasi birokrasi, kepastian hukum, dan keamanan berusaha.
“Confidence push ini harus diikuti dengan perbaikan iklim usaha. Kalau tidak, bank tetap akan berhati-hati menyalurkan kredit,” katanya.
Risiko dan Pengawasan
Penempatan dana dalam jumlah besar ke bank BUMN juga menimbulkan risiko konsentrasi. Priyanto menyoroti perlunya pengawasan ketat agar dana tidak disalahgunakan atau menimbulkan ketimpangan antara bank BUMN dan swasta.
“Kalau tidak hati-hati, ini bisa memperlebar gap antara bank BUMN dan swasta. Harus ada mekanisme agar bank swasta juga bisa mendapat manfaat, misalnya lewat pasar uang antarbank,” ujarnya.
Menteri Keuangan Purbaya optimistis bahwa kebijakan ini dapat mendorong pertumbuhan ekonomi di atas 5% pada akhir tahun. Namun, Priyanto menilai bahwa efektivitas kebijakan ini baru bisa dilihat dalam beberapa bulan ke depan, tergantung pada eksekusi dan respons sektor riil.
“Ini bisa jadi game changer, tapi harus ada kepastian, pengawasan, dan komunikasi yang jelas,” tutup Priyanto. ***





.jpg)










