Di hampir semua bisnis kini telah terdisrupsi dengan model bisnis baru. Para pemain lama ( berhadapan dengan pendatang baru incumbent) harus (new entrant) yang tiba tiba mengambil pangsa pasar pemain lama.
Kita menyaksikan dalam bisnis transportasi, betapa telah terjadi disrupsi pasar ketika pemain incumbent seperti Blue Bird dan Express mengalami penurunan pendapatan dan laba karena pelanggannya beralih ke Grab, Uber, atau bahkan Go-Jek, yang menawarkan model bisnis yang berbeda. Dsirupsi juga terjadi di bisnis logistik.
Perkembangan perdagangan elektronik (ecommerce) telah mengubah wajah bisnis logistik. Permintaan pasar e-commerce yang besar telah menciptakan penawaran –dalam teori ekonomi dikenal dengan demand create supply, yang mendorong tumbuhnya pemain logistik. Para pendatang pemain baru penyedia jasa logistik ini ada yang berasal dari pemain dengan model bisnis logistik konvensional, namun juga ada yang berasal dari pemain dengan model bisnis baru. Mereka sama-sama menambah tingkat kompetisi bisnis logistik semakin ketat dan menyediakan beragam pilihan bagi pengguna jasa logistik dengan menawarkan value proposition yang lebih memikat.
Sejatinya, keunggulan daya saing penyedia jasa logistik ditentukan oleh dua hal: harga dan kualitas layanan. Harga yang ditetapkan dan ditawarkan ke pelanggan sangat ditentukan oleh cost model penyedia jasa logistik. Sementara kualitas layanan ditentukan oleh seberapa memikat value proposition yang ditawarkan ke pelanggan.
Value proposition jasa logistik ini mencakup sisi fungsional, emosional, dan experience dari layanan logistik, yang berupa kecepatan, ketepatan, kemudahan, fleksibilitas, respon pelayanan, keamanan, dan lain-lain.
Para pemain penyedia jasa logistik dengan model bisnis konvensional harus menghadapi kompetisi pasar dalam red ocean, yang berakibat pada penurunan pendapatan dan laba. Selain kompetisi yang head to head antar penyedia jasa logistik, baik dari pemain lama maupun pendatang baru, para pemain penyedia jasa logistik incumbent kini menghadapi pemain penyedia jasa logistik baru dengan model bisnis yang baru dan sama sekali berbeda dengan model bisnis jasa logistik konvensional.
Di bisnis pos atau kurir, para pemain incumbent yang telah mendominasi dan menikmati pasar jasa pos atau kurir ini karena booming e-commerce, dipaksa bersaing dengan pemain baru.
Disrupsi Logistik
Perkembangan teknologi internet dalam platform smartphone, memungkinkan perusahaan seperti Go-Jek, Uber, dan Grab mampu mengembangkan layanan pos dan logistik. Mereka menawarkan value proposition lebih memikat dari pemain incumbent, seperti JNE dan Kantor Pos.
Value proposition yang diberikan oleh Go-Jek, Uber, dan Grab ini berupa kecepatan, kemudahan, dan fleksibilitas yang saat ini tidak bisa dipenuhi dengan baik oleh pemain penyedia jasa pos dan logistik incumbent.
Kantor Pos dan JNE masih menggunakan model bisnis konvensional dalam proses bisnisnya: Collecting, Processing, Transporting, dan Delivery. Pelanggan juga harus datang ke outlet dengan membawa paket. Selanjutnya, dilakukan proses pengolahan seperti penimbangan paket, penerbitan resi atau bukti pengiriman, sortir, pengantongan, konsolidasi shipment, hingga berujung pengantaran ke alamat tujuan dan minta tanda tangan bukti penyerahan kiriman. Sumber daya dan proses bisnis ini menimbulkan cost yang cukup besar, dan biasanya committed cost, sehingga berdampak pada penetapan harga jual yang cukup tinggi.
Sementara, dengan layanan model bisnis baru, seperti Go-Jek, Uber, dan Grab, proses bisnis layanan logistik bisa dipangkas. Hampir semua sumber daya bisa berbagi (sharing resources). Para pemain logistik disruption ini tidak perlu menyediakan outlet semacam kantor atau agen. Pelanggan tidak perlu datang ke outlet karena kirimannya akan diambil langsung. Tidak perlu ada lagi processing center dengan segala aktivitasnya, karena kiriman langsung diantar ke alamat penerima secara point-to-point. Dijemput dari titik asal dan diantar sampai ke titik tujuan seketika. Standar waktu penyerahan atau lead time semakin pendek. Tidak lagi hitungan hari, melainkan hitungan jam bahkan menit.
Pengirim atau pelanggan langsung mengetahui tarif jasa pengiriman barang, status pergerakan dan posisi kiriman, dan notifcation pengantaran kiriman. Semuanya dilakukan dan dimonitor melalui smartphone dalam genggaman pelanggan masing-masing.
Disrupsi layanan logistik ini mampu mengubah proses bisnis logistik konvensional dengan memberikan value proposition lebih memikat, dengan harga yang lebih murah, dan pasokan kapasitas dalam jumlah sangat besar dan cepat untuk meraih dan merebut pasar logistik incumbent.
Dari sisi cost model, hampir semua cost structure untuk menyelenggarakan proses bisnis logistik yang dilakukan pemain logistik disruption ini adalah variable cost, yang terkait langsung dengan perubahan volume kiriman atau penjualan. Biaya tetap akan sangat minimal, untuk tidak mengatakan nol. Apa akibatnya? Pemain logistik disruption ini mampu mencetak laba
dengan margin yang relatif tinggi, sehingga memiliki kesempatan untuk investasi pengembangan produk dan pembenahan kualitas layanan yang jauh lebih baik.
Akankah pemain logistik incumbent mampu bertahan dengan gempuran pemain logistik baru dengan mendisrupsi model bisnis logistik konvensional?





.jpg)









