JAKARTA, Stabilitas.id – Josua Pardede, Kepala Ekonom Bank Permata, menyatakan bahwa Indonesia perlu melanjutkan dan memperkuat strategi diversifikasi pasar ekspor dalam menghadapi kebijakan tarif resiprokal yang diterapkan oleh Amerika Serikat (AS) di bawah kepemimpinan Donald Trump.
Josua menambahkan bahwa Indonesia memiliki kesempatan untuk memanfaatkan pergeseran rantai pasok global serta memaksimalkan keunggulan di sektor-sektor dengan preferensi tarif lebih rendah seperti pakaian jadi dan alas kaki. Ia menjelaskan bahwa tarif yang lebih rendah bagi Indonesia dibandingkan dengan Vietnam, Bangladesh, dan Kamboja memberikan peluang untuk melakukan ekspansi pasar secara lebih agresif.
Untuk mencapai hal tersebut, ia mengusulkan agar pemerintah mempercepat proses deregulasi terutama terkait Non-Tariff Measures (NTM), yang saat ini membebani sekitar 70 persen nilai impor Indonesia. Selain itu, perbaikan efisiensi logistik dan proses perizinan juga sangat diperlukan karena saat ini masih jauh tertinggal dibandingkan negara-negara pesaing di ASEAN.
BERITA TERKAIT
Josua menilai ketahanan ekonomi Indonesia terhadap gejolak akibat tarif Trump cukup solid. Stabilitas sektor keuangan yang terjaga baik serta pertumbuhan kredit yang positif menunjukkan bahwa cadangan devisa dan Capital Adequacy Ratio (CAR) perbankan berada dalam kondisi kuat. Hal ini memberikan bantalan bagi Indonesia untuk menghadapi guncangan eksternal meskipun Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan nilai tukar mengalami tekanan.
Meskipun demikian, tantangan tetap ada terutama terkait ketergantungan pada ekspor komoditas strategis yang harganya sedang mengalami penurunan akibat lemahnya permintaan global.
Josua merekomendasikan beberapa langkah strategis ke depan sebagai respons terhadap tarif Trump.
Pertama, Peningkatan Daya Saing Industri Padat Karya melalui insentif fiskal serta fasilitasi akses bahan baku dan pembiayaan produktif.
Kedua, Akselerasi Implementasi Perjanjian Dagang seperti Comprehensive and Progressive Agreement for Trans-Pacific Partnership (CPTPP), Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP), European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (EU-CEPA), serta BRICS+ guna memperluas akses pasar sekaligus mitigasi risiko dari tarif AS.
Ketiga, Optimalisasi Devisa Hasil Ekspor Sumber Daya Alam. Dengan hilirisasi produk guna meningkatkan nilai tambah sekaligus mengurangi ketergantungan pada ekspor bahan mentah.
Keempat, Penguatan Diplomasi Ekonomi agar Indonesia tidak hanya menjadi “penerima” kebijakan perdagangan global tetapi juga aktif dalam membentuk arsitektur perdagangan internasional yang lebih adil dan inklusif.
Menurut Josua, strategi Indonesia dalam menghadapi tarif Trump sudah berada pada jalur yang tepat dengan menghindari eskalasi konflik perdagangan sambil memanfaatkan peluang pasar baru serta memperkuat ketahanan domestik melalui diplomasi aktif dan reformasi struktural sebagai alat utama dalam menghadapi ketidakpastian global.
Ia juga mencatat langkah-langkah pemerintah dalam merespons kebijakan tarif AS menunjukkan pendekatan strategis dan adaptif—mencerminkan kematangan pengelolaan kebijakan perdagangan luar negeri di tengah meningkatnya proteksionisme global.
Pemerintah memilih tidak mengambil tindakan retaliasi langsung tetapi memilih jalur negosiasi bilateral maupun multilateral sambil mendorong penyelesaian melalui kerangka kerja seperti Trade and Investment Framework Agreement (TIFA).
“Pendekatan ini sangat bijak mengingat posisi relatif kecil surplus perdagangan Indonesia terhadap AS serta fleksibilitas kita dalam meningkatkan impor barang-barang strategis dari AS seperti minyak bumi, gas alam, gandum hingga alat utama sistem senjata,” tutupnya—yang dapat membantu menyeimbangkan neraca dagang sekaligus memperkuat hubungan ekonomi jangka panjang dengan AS.” ***





.jpg)










