PROGRAM sudah lewat sekilas mirip acara di televisi yang menawarkan properti miliaran, dengan menyebut harganya sangat murah jika dibandingkan Tax Amnesty periode pertama yang dengan nilai lokasi strategisnya. Kemudian di ujung acara, host biasanya berkata, “Senin, harga naik.” Atau mirip pusat perbelanjaan yang menawarkan ‘diskon gila-gilaan di bulan promosi’, yang menggarisbawahi penawarannya hanya untuk bulan ini.
Karena tawaran diskon gila-gilaan di tambah ‘ancaman’ “Senin harga naik”, masyarakat pun berbondong-bondong membeli barang-barang yang ditawarkan dengan dua alasan itu, karena diskon dan karena nantinya harga naik.
Fenomena munculnya puluhan konglomerat yang berturut-turut mendatangi Kantor Pajak untuk melaporkan asetnya dan membayar tunggakan pajaknya, tidak bisa dilepaskan dari alasan diskon gila-gilaan dan “Senin harga naik”.
BERITA TERKAIT
Sebut saja, pengusaha kakap James Riyadi, bos Lippo Grup bersama saudara iparnya Dato Sri Tahir pendiri Grup Mayapada. Atau Aburizal Bakrie, bos kelompok usaha Bakrie, Arifn Panigoro, Bos Medco, dan Anthony Salim, dari BCA. Bersama sederet nama konglomerat beken lainnya, mereka mendatangi Kantor Pajak untuk mengikuti program pemerintah yaitu ungkap, tebus, lega.
Mereka –jika tidak mau dibilang semua, sangat percaya diri, menebar senyum di bawah kilatan lampu media, saat melaporkan kekayaan mereka yang selama ini tidak dilaporkan. Akan tetapi, kalau kita mau berpikir jernih, mereka ini sesungguhnya adalah para pengemplang pajak kakap yang selama ini menyembunyikan hartanya untuk menghindari setoran wajib kepada negara. Lha kok malah mendapat sambutan sedemikian rupa.
Pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak, di sisi lain, pun juga tak kalah girang menyambut konglomerat tersebut sambil membayangkan jumlah rupiah yang mengikuti di belakang pengusaha-pengusaha tersebut. Para pengemplang pajak disambut seolah-seolah berjasa kepada negara.
Kita, orang Indonesia, memang acapkali gagal membedakan pihak yang memang merugikan negara dan berjasa kepada negara. Hal-hal semacam itu, oleh sebagian teman saya disebut sebagai gagal moral. Peristiwa lain, mungkin bisa menjadi perbandingan yang jelas mengenai gagal moral itu. Buronan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia yang juga mantan Presiden Komisaris PT Bank Modern, Tbk, Samadikun Hartono tertangkap oleh aparat negara kita di luar negeri.
Ketika dipulangkan ke Indonesia dan mendarat di Bandara Halim Perdanakusuma pada Kamis 21 April 2016 malam, tidak kurang dari Kepala Intel Negara dan juga Jaksa Agus turut menyambut buronan itu. Bahkan dia sempat melambai-lambaikan tangan kepada awak media yang menunggunya, dan bersalaman hangat dengan dua petinggi negara.
Tampaknya kita memang harus mulai dari nol lagi menilai diri kita sebagai bagian dari masyarakat yang beradab dan bermoral, yang mampu mendudukkan persoalan pada tempatnya. Karena sifat masyarakat yang paternalistik, maka perubahan itu harus dimulai dari para pengelola negara. Para pejabat harus bisa membedakan mana orang yang memang merugikan negara dan mana berjasa kepada negara. Sehingga perlakuannya pun bisa sesuai. Saat ini pemerintah mungkin sedang terancam gagal fskal, tapi jangan sampai terbenam oleh gagal moral.
***




.jpg)









