JAKARTA, Stabilitas.id – PT Reasuransi Indonesia Utama (Persero) atau Indonesia Re menegaskan komitmennya dalam mendorong transformasi ESG (Environmental, Social, and Governance) untuk mendukung pengelolaan risiko bencana yang lebih inklusif dan berbasis data.
Hal ini disampaikan dalam seminar nasional bertajuk Sustainability Dialogue 2025, yang mengangkat tema “Advancing Sustainable Development and Climate Resilience through Parametric Disaster Insurance: A Pathway to Responsive, Reliable, and Responsible Risk Financing, akhir Juni 2025 di Jakarta.
Acara yang diselenggarakan oleh Indonesia Re ini melibatkan berbagai pemangku kepentingan, mulai dari pemerintah, regulator, pelaku industri asuransi dan keuangan, akademisi, hingga mitra pembangunan. Tujuannya adalah untuk menggali peran ESG dalam membangun sistem pembiayaan risiko bencana yang tangguh dan berkelanjutan.
BERITA TERKAIT
Asuransi Parametrik
Dalam sambutannya, Direktur Utama Indonesia Re, Benny Waworuntu, menekankan pentingnya asuransi sebagai instrumen mitigasi risiko, khususnya asuransi parametrik. “Asuransi parametrik menjadi solusi yang relevan dalam membantu keuangan negara pada masa tanggap darurat bencana,” ungkap Benny.
Indonesia Re berkomitmen untuk menjadi motor penggerak di industri asuransi dalam membantu pemerintah dan masyarakat mengelola risiko. Benny menambahkan, bahwa pengembangan produk asuransi berbasis data dan riset akan memperkuat inklusi dan penetrasi asuransi, yang pada gilirannya mendukung ketahanan negara terhadap bencana alam.
Kepala Subdirektorat Pengelolaan Risiko Aset dan Kewajiban Negara Direktorat PRKN DJPPR Kementerian Keuangan, Herry Indratno, mengungkapkan bahwa kerugian akibat bencana alam di Indonesia rata-rata mencapai Rp22 triliun per tahun. Skema penanggulangan bencana konvensional yang mengandalkan dana APBN dan cadangan belum cukup efektif, terutama dalam menghadapi bencana berskala besar.
“Oleh karena itu, pemerintah tengah mengembangkan strategi pembiayaan dan asuransi risiko bencana yang lebih inovatif dan berkelanjutan, seperti asuransi parametrik, yang memberikan pencairan dana cepat, objektif, dan transparan,” jelas Herry.
Seminar ini juga menggarisbawahi hasil kajian kolaboratif antara Indonesia Re, Kementerian Keuangan, Institut Teknologi Bandung (ITB), dan Maipark, yang mencakup desain, modeling risiko, skema, instrumen, dan mekanisme pembiayaan dampak bencana. Fokus utama kajian ini adalah pengembangan produk asuransi parametrik untuk risiko gempa dan banjir.
Produk ini diharapkan dapat melindungi posisi fiskal Pemerintah Daerah (APBD) dan memastikan ketersediaan dana cepat pasca-bencana untuk tanggap darurat. Rencananya, produk ini akan diluncurkan pada 2026, dengan melibatkan berbagai pihak terkait, terutama industri asuransi dan reasuransi.
Kolaborasi Multi-Pihak
Direktur Teknik dan Operasi Indonesia Re, Delil Khairat, menjelaskan bahwa pengembangan asuransi parametrik ini merupakan hasil riset bersama antara pemerintah, akademisi, dan pelaku industri. “Indonesia Re bersama Kementerian Keuangan telah melakukan kajian mendalam tentang instrumen dan skema pembiayaan risiko, serta produk asuransi parametrik untuk mengatasi risiko bencana alam di Indonesia,” jelas Delil.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) turut menekankan pentingnya digitalisasi industri asuransi yang harus didukung dengan infrastruktur pengelolaan risiko yang andal. Deputi Direktur Pengawasan Asuransi Umum dan Reasuransi OJK, Kurnia Yuniakhir, menegaskan bahwa akselerasi transformasi digital di sektor asuransi harus dibarengi dengan penguatan sistem *Business Continuity Management* (BCM).
Ni Luh Ayounik Mahasabha, Sustainability Development Business Group Head di Surveyor Indonesia, dan Elrika Hamdi, Wakil Kepala Sekretariat Just Energy Transition Partnership (JETP) Indonesia, menyampaikan bahwa penerapan prinsip ESG bukan sekadar soal kepatuhan, tetapi juga sebagai fondasi untuk menciptakan sistem yang lebih tangguh terhadap perubahan iklim dan bencana. “Penerapan ESG akan memperkuat ketahanan sistem nasional, baik dalam menghadapi risiko iklim maupun bencana,” ujar Elrika.
Sebagai bagian dari diskusi yang menekankan pentingnya ESG dalam pengelolaan risiko, para panelis sepakat bahwa perubahan iklim memerlukan pendekatan lintas sektor yang menyatukan dimensi energi, keuangan, dan kebencanaan. Oleh karena itu, penting untuk membangun ekosistem kebijakan dan instrumen pembiayaan yang saling terhubung, dari komitmen dekarbonisasi hingga kesiapsiagaan terhadap bencana.
Deputi Bidang Sistem dan Strategi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Raditya Jati, menambahkan bahwa data kebencanaan yang akurat dan tata kelola berbasis risiko sangat penting untuk keberhasilan skema *Disaster Risk Financing and Insurance* (DRFI). “Kolaborasi erat antara pemerintah, pelaku industri, dan masyarakat sangat dibutuhkan untuk mewujudkan sistem yang efektif dalam menghadapi bencana,” ujar Raditya.
Dengan keseriusan berbagai pihak dalam mendorong penerapan ESG, Indonesia diharapkan dapat menghadapi tantangan perubahan iklim dan bencana alam dengan lebih siap dan tangguh. ***





.jpg)










