Setelah perekonomiannya tak kunjung membaik, Jepang sejak awal tahun ini menerapkan kebijakan suku bunga negatif. Mengikuti apa yang dilakukan European Central Bank (ECB), kebijakan tersebut ditempuh agar perbankan mengurangi penempatan dananya di bank sentral, Bank of Japan (BoJ). Dengan suku bunga acuan negatif 0,1 persen, bank-bank yang menempatkan kelebihan kas di BoJ tidak akan memperoleh bunga tapi justru membayar bunga!
Pertumbuhan ekonomi Jepang sepanjang 2015 yang dilaporkan sebesar 0,4 persen (yoy) memang membaik dibandingkan tahun sebelumnya yang stagnan tidak tumbuh (0 persen). Namun, pertumbuhan pada triwulan IV-2015 sebesar 0,7 persen (yoy), lebih rendah dari pada triwulan sebelumnya yang sebesar 1,7 persen (yoy). Tingkat inflasi juga masih sangat rendah sebesar 0,2 persen (yoy) di akhir 2015, dari target 2 persen, pertanda permintaan barang/jasa belum setinggi harapan.
Level pertumbuhan ekonomi maupun inflasi yang masih rendah tersebut disebut-sebut sebagai bukti tidak efektifnya kebijakan ekspansi fiskal dan moneter oleh pemerintahan Perdana Menteri Shinzo Abe. Program berjuluk Abenomics itu memang telah menggelontorkan triliunan yen melalui pembelian surat-surat berharga. Bank sentralnya, Bank of Japan, membanjiri neraca perusahaan-perusahaan, termasuk perbankan, dengan likuiditas yang diharapkan bisa disalurkan menjadi pinjaman ataupun pengeluaran perusahaan. Namun, tingkat konsumsi masyarakat (private consumption) tetap rendah.
BERITA TERKAIT
Stimulus fiskal dan moneter besar-besaran selama beberapa tahun terakhir ini telah membuat anggaran negara menjadi tekor dan tagihan perbankan di BoJ melonjak serta nilai tukar yen melemah. Sejak 2009, defisit APBN Jepang melonjak dari sebelumnya sekitar -3 persen menjadi hampir -9 persen dari produk domestik bruto (PDB)-nya kendati terus mengecil menjadi -6 persen tahun lalu. Rencana pemerintah menaikkan lagi pajak penjualan setelah
kenaikan pada 2014 sebesar 3 persen menjadi 8 persen, bisa jadi bukti tekornya anggaran. Pemerintah Jepang juga berupaya menaikkan inflasi dari sisi harga suplai kendati hal itu bisa kontraproduktif.
Gelembung dan kontraksi
Selama ini, stimulus moneter melalui quantitative easing menambah jumlah uang primer (M0) dan terutama bank reserve –semacam giro perbankan—di bank sentral. Dengan membeli (menjual) surat berharga, bank sentral seperti BoJ menambah (mengurangi) likuiditas mata uangnya ke sistem perbankan dan perekonomian negara tersebut. Ketika membeli (menjual) surat berharga, bank sentral meng-kredit (mendebit) rekening bank terkait senilai harga beli (jual) obligasi sehingga menaikkan (menurunkan) nilai bank reserve di neraca/pasiva bank sentral. Kenaikan pasiva menyebabkan nilai total aset bank sentral pun meningkat (lihat grafik). Suku bunga negatif diharapkan mengurangi bank reserve yang sudah sangat besar tadi dan “memaksa” bank-bank menyalurkannya menjadi kredit.
Lembaga keuangan seperti perbankan mungkin menjadi yang paling terpukul oleh kebijakan suku bunga negatif. Melimpahnya likuiditas menekan turun suku bunga kredit maupun imbal hasil instrumen di pasar keuangan misalnya surat utang. Pendapatan operasional pun turun dan marjin tergerus. Terlebih lagi, dalam banyak kondisi, suku bunga atas dana simpanan tak bisa serta merta turun apalagi menjadi negatif.
Bank yang menerapkan suku bunga negatif terhadap giran, penabung atau deposannya dapat mengalami penurunan simpanan dan, akibatnya, kontraksi (penyusutan) nilai total asetnya. Bahkan jika terhadap deposannya diberi bunga agar tidak lari, suku bunga deposit facility yang negatif lambat laun mengikis nilai bank reserve perbankan di pasiva bank sentralnya. Suku bunga kredit yang terlalu rendah, kendati menstimulasi permintaan oleh debitur, namun juga memberi disinsentif bagi bank karena pendapatan yang diterima mungkin tidak sanggup menanggung risiko gagal bayar di tengah ekonomi yang masih lemah.
Suku bunga negatif dan suntikan uang beredar yang berlebihan juga berpotensi menciptakan gelembung aset (asset bubble) yang baru. Gelembung serupa di sektor properti Amerika Serikat tercipta akibat suku bunga kredit perumahan yang ultra rendah. Rendahnya suku bunga simpanan di perbankan mendorong lonjakan investasi di pasar keuangan. Harga saham dan obligasi melonjak akibat diborong investor baik individu maupun korporasi, termasuk oleh Si Penerbit surat berharga itu sendiri alias buyback. Kebijakan moneter berbasis suku bunga dan penciptaan uang fiat money memang selalu lekat dengan risiko.
Tampak seperti senjata pamungkas yang ampuh, kebijakan suku bunga negatif justru bisa menjadi jebakan yang merugikan di masa depan. Ada yang bilang, terkadang bagi bank sentral, do nothing is the best policy. Ironis memang.





.jpg)










