Inovasi teknologi dalam dunia perbankan mutlak dilakukan. Joseph Schumpeter, seorang ekonom ternama, pernah mengungkapkan bahwa inovasi dan kreativitas sangat penting dalam pertumbuhan dan pembangunan. Inovasi dan kreativitas berperan penting dalam pertumbuhan dan pembangunan ekonomi termasuk dalam bidang perbankan atau keuangan. Salah satunya dengan yang kita kenal saat ini yaitu Financial Technology (Fintech).
Sebagai suatu inovasi teknologi di bidang keuangan, fintech mampu menawarkan berbagai jenis layanan keuangan secara inovatif. Salah satu jenis fintech yang saat ini tumbuh di Indonesia adalah Peer to Peer (P2P) Lending yang berfokus pada jasa peminjaman. Selain memiliki nilai potensi yang besar, Fintech P2P Lending ternyata memiliki risiko yang perlu diminimalisir. Tulisan ini akan mengulas potensi dan risiko dari fintech tersebut.
Potensi dan Keuangan Inklusif
Data Bank Dunia menyebutkan bahwa tahun 2014, persentase penduduk yang meminjam kredit bank dari institusi keuangan hanya sebesar 13,1 persen. Mayoritas penduduk ternyata mendapatkan pinjaman kredit dari teman, keluarga, dan rentenir.
BERITA TERKAIT
Salah satu penyebab rendahnya keuangan inklusif di Indonesia adalah sulitnya bank tradisional untuk menghadirkan wujud fisik ke tengah masyarakat. Selain itu, prosedur yang rumit serta waktu operasional bank yang terbatas juga menyebabkan penduduk memilih alternatif pada lembaga keuangan non-formal.
Di lain pihak, penetrasi ponsel dan pengguna media sosial di Indonesia terus meningkat. We Are Social menyatakan bahwa pada November 2015 penetrasi mencapai125 persen jumlah penduduk. Sementara itu, penetrasi media sosial baru sekitar 31 persen, yang diyakini akan semakin tumbuh seiring meningkatkan stabilitas internet di Indonesia. Nah, fintech mampu mengatasi rendahnya tingkat keuangan inklusif dengan menghadirkan layanan pinjaman dengan memanfaatkan teknologi berbasis medium internet.
Rendahnya akses terhadap akses kredit bank ternyata juga terjadi pada Usaha Kecil dan Menengah (UKM). Awal tahun 2015, Dirut Perum Jamkrindo Diding S Anwar menyatakan bahwa hanya sekitar 18 persen dari 57 jutaan UMK yang telah mengakses jasa perbankan. Hal ini disebabkan karena sebagian besar UKM tersebut tidak memiliki regulasi dan legalitas untuk meminjam kepada bank, serta tidak memiliki aset untuk dijadikan agunan. fintech menyelesaikan gap tersebut dengan menyediakan kredit kurang dari 10 juta kepada UKM tanpa prosedur yang rumit.
Secara global, nilai investasi fintech terus bertambah drastis. Menurut data dari Accenture, pada tahun 2015 nilai investasi tersebut tumbuh sebesar 75 persen ke angka 22,3 milyar dollar AS. Melihat perkembangan fintech yang begitu drastis di dunia, serta potensi yang dimiliki fintech karena kondisi keuangan inklusif di Indonesia yang rendah, sangat mungkin nilai investasi FinTech di dalam negeri akan tumbuh subur beberapa tahun ke depan.
Minimalisasi Risiko
Besarnya potensi fintech tersebut harus dapat disikapi dengan bijak, dikarenakan fintech tidak lepas dari risiko kegagalan. Kegagalan ini bisa jadi bukan sebuah kegagalan usaha biasa, namun dapat menjadikan kegagalan sistemik yang berpengaruh terhadap kondisi moneter dan berakibat pada perekonomian nasional. Setidaknya ada empat risiko yang dihadapi oleh industri fintech Indonesia.
Pertama, kerahasiaan data pengguna jasa. Masalah ini terkait dengan confidential para pengguna jasa. Kedua, gagal bayar penyedia jasa layanan fintech . Sistem fintech P2P adalah sebuah usaha yang menarik pelanggan dengan menggunakan instrumen timbal balik rendah, seperti bunga yang rendah ataupun pendapatan bagi pemberi pinjaman. Hal ini sangat rentan ketika penjual jasa layanan fintech tidak mempunyai modal tambahan untuk menutup biaya operasional maupun biaya promosi.
Ketiga, validitas penyedia fintech . Hal ini terkait dengan beberapa kasus penipuan yang terjadi di lembaga finansial non bank konvensional seperti koperasi. Keempat, sistem Internet Indonesia yang masih tidak stabil. Dari data State of Internet (2016) yang ditulis oleh Akamai, kecepatan Internet rata-rata di Indonesia masih berada di peringkat 92. Hal ini berisiko jika ada gangguan akses internet ketika terjadinya transaksi.
Sebelum dampak sistemik dari risiko-risiko tersebut terjadi di Indonesia, diperlukan langkah mitigasi risiko dari fintech. Penulis membagi satu langkah utama dan tiga langkah khusus mitigasi risiko fintech. Langkah utama yang dilakukan pemerintah adalah membuat regulasi fintech secara mendetail. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) saat ini sedang mempersiapkan Tim Khusus sendiri untuk menangani fintech, tetapi baru sebatas fintech yang berada atau kerjasama dengan lembaga keuangan perbankan. Regulasi fintech ini seharusnya tidak boleh berdiri sendiri, melainkan mengikutsertakan Bank Indonesia dalam hal bidang pembayarannya.
Tiga langkah khusus tersebut yaitu, pertama, perketat sistem registrasi yang bertujuan untuk meminimalisir penipuan dan meningkatkan kepercayaan pengguna. Kedua, pemberian jaminan bertransaksi terkait dengan adanya kegagalan sistem pembayaran yang disebabkan oleh pengelola maupun penunjangnya seperti akses internet. Ketiga, kerjasama dengan lembaga perbankan untuk semakin menguatkan modal untuk menguatkan likuiditas fintech itu sendiri. Selain itu, pengaturan dari OJK akan semakin mudah.





.jpg)










