Diproyeksi akan menjadi mata uang masa depan, minat masyarakat memiliki mata uang berjenis kripto semakin meningkat. Tetapi bagaimana unsur halal-haram dari instrumen itu baik dilihat dari sisi komditas investasi maupun alat tukar?
Oleh : Yudi Rachman
Indonesia, sebagai negeri mayoritas muslim yang jumlahnya paling besar seantero dunia, segala hal termasuk bisnis harus dikaitkan dengan prinsip halal-haram sebelum dijalankan. Bitcoin atau jenis cryptocurrency lainnya yang tengah naik daun itu pun tidak terkecuali.
Setelah pemerintah secara resmi mengizinkan peredarannya meski hanya sebagai barang komoditas atau alat investasi, publik tetap perlu memahami kehalalan instrumen tersebut. Sebabnya, sedari awal, aset-aset kripto ini sudah dimaksudkan menjadi alat tukar, untuk menggoyang hegemoni uang yang dicetak dan diterbitkan otoritas moneter yang bersifat sentralistis.
BERITA TERKAIT
Harus diakui, bahwa salah satu alasan mengapa banyak orang berbondong-bondong memburu aset-aset kripto di awal kemunculannya adalah tidak adanya otoritas yang mengatur penawaran dan permintaan. Hal itulah yang membuat harga aset-aset tersebut melambung pada satu masa dan merosot pada waktu yang lain.
Dengan tidak adanya otoritas membuat uang kripto terhindar dari motif berspekulasi. Naik-turunnya harga uang kripto karena murni hasil dari mekanisme penawaran dan permintaan, bukan disebabkan unsur intervensi yang dilakukan oleh pihak lain. Semua transaksi tercatat dalam buku besar dan semua orang tanpa terkecuali, bisa mengaksesnya secara terbuka.
Meski dianggap sebagai mata uang masa depan, tetap saja keberadaan uang kripto masih menimbulkan kontroversi. Hal itu disebabkan oleh mekanisme instrumen tersebut yang dianggap di luar kelaziman yang berlaku selama ini. Ditambah lagi, aset itu tidak dalam bentuk kasat mata sehingga sulit untuk memastikan bahwa mata uang itu memang ada.
Terlepas dari kontroversi yang masih terjadi, pertanyaan yang sempat mencuat adalah, bagaimana Islam memandang mata uang kripto semacam bitcoin dan lain sebagainya?
Ketua MUI Pusat, KH Cholil Nafis, mengungkapkan telah memberikan beberapa catatan terkait mata uang kripto. Menurutnya berinvestasi dengan bitcoin lebih dekat dengan gharar alias spekulasi yang berpotensi merugikan orang lain. Alasannya utamanya karena bitcoin tidak memiliki aset pendukung (underlying aset), sehingga harga tak bisa dikontrol dan keberadaannya tak ada yang menjamin secara resmi. Dengan analisis seperti itu, Cholil berpendapat investasi bitcoin merupakan haram.
Akan tetapi hukumnya malah berbeda ketika aset-aset digital itu digunakan sebagai alat tukar. Menurut lembaga otoritas umat Islam di Indonesia itu, hokum bitcoin dan teman-temanya justru halal, dengan syarat harus ada serah terima (taqabudh) dan sama kuantitas jika jenisnya sama. Jika jenisnya berbeda disyaratkan harus taqabudh secara hakiki atau hukmi (ada uang, ada bitcoin yang bisa diserahterimakan). “Bitcoin sebagai alat transaksi bisa di-qiyas-kan seperti emas dan perak. Karena semua benda yang disepakati berlaku sebagai mata uang dan alat tukar mekanisme syariahnya seperti itu,” jelasnya.
Sementara itu Wakil Ketua Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah Fahmi Salim menyatakan, bahwa di dunia Islam memang belum ada fatwa khusus yang dapat dijadikan acuan bersama mengenai uang kripto. Tingkat kebaruan yang cukup rumit, menurutnya membuat para ulama sebagian besar tidak mau terburu-buru mengeluarkan fatwa, termasuk Muhammadiyah.
“Para fuqaha sangat berhati-hati memfatwakannya,” ungkapnya. Fuqaha adalah ahli fiqih atau bidang yurisprudensi atau hukum-hakam menyangkut peribadatan ritual baik perseorangan, atau di dalam konteks sosial umat Islam
Namun demikia secara pribadi Fahmi berpendapat, bahwa hukum mata uang kripto tergantung pada penggunaannya apakah digunakan untuk kebaikan atau kejahatan. Sama seperti alat lainnya teknologi ‘kripto’ ini sebetulnya bebas nilai. “Bila digunakan untuk melahirkan produk yang haram atau jasa yang haram, maka produknya haram. Kalau digunakan untuk menghasilkan yang halal maka produknya bisa tetap halal,” jelas Fahmi.
Namun karena fatwanya masih digodok para ulama, alumni Universitas Al-Azhar Kairo tersebut masih menghindari bertransaksi menggunakan uang kripto. Karena fungsi uang kripto masih belum diakui oleh negara sebagai alat tukar, timbangan ataupun komoditas. Belum lagi, angka fluktuasi mata uang kripto yang dapat berubah secara tajam dalam waktu singkat.
Transaksi atau Investasi
Untuk mengetahui kejelasan status hukum bitcoin, menurut Muhammad Maksum, pakar fikih yang juga menjabat sekretaris bidang Perbankan Syariah, Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), kita harus mendudukan dulu dengan tepat fungsi uang kripto tersebut, sebagai matu uang, komoditas, atau keduanya.
“Ketika bitcoin berstatus sebagai mata uang, maka berlaku ketentuan-ketentuan khusus terkait dengan uang dan investasi dengan uang. Namun bila status bitcoin sebagai komoditas, maka berlaku pula ketentuan yang berhubungan bagaimana jual-beli komoditas,” jelas Maksum. Karena ketidakjelasan kedudukan itulah yang mengakibatkan status bitcoin menjadi tidak jelas.
Maksum mengatakan jika status bitcoin sudah jelas sebagai mata uang atau sebagai komoditas dan memenuhi ketentuan-ketentuan dalam jual beli mata uang atau ketentuan-ketentuan dalam jual beli komoditas, maka kegiatannya menjadi halal. Maka pendapatan dari bitcoin pun menjadi halal.
Tetapi ketika status bitcoin belum jelas, maka perlu dilihat dari aspek-aspek yang berkaitan dengan jual beli secara umum. Di antaranya memastikan apakah ada gharar dan ighra’ atau keadaan di mana seseorang tergantung sekali untuk berlebih-lebihan mendapatkan bonus.
Menurutnya apabila terdapat hal-hal yang memunculkan suatu tindakan yang merugikan orang lain maka pada dasarnya kegiatan investasi atau jual beli sekalipun tidak dibenarkan dalam agama Islam. Maksum menjelaskan di dalam Islam itu terdapat prinsip pemisahan antara yang halal dan haram.
Maksudnya, para pengguna bisa menggunakan kaidah tersebut untuk memisahkan antara pendapatan-pendapatan yang halal dan pendapatan yang haram. Kaidah tersebut biasanya banyak digunakan di pasar modal konvensional, termasuk yang terkait dengan bitcoin bisa menggunakan kaidah tersebut.
“Apabila ada unsur-unsur yang dianggap bertentangan dengan syariah, itu yang dipisahkan. Sementara yang tidak bertentangan dengan syariah, itu bisa diakui sebagai pendapatan yang halal dan bisa dijadikan sebagai modal yang halal,” kata Maksum.
Modal dalam konteks uang, secara zat tidak haram. Keharaman ditentukan dari cara memperolehnya. Dengan demikian, pada hakikatnya uang adalah halal, tetapi bisa menjadi haram apabila cara mendapatkannya melanggar ketentuan syariah.
“Ketika seseorang mampu memisahkan sumber harta yang haram dan halal, maka bila bersumber dari yang halal, maka statusnya halal begitu juga dengan hasil yang didapatkannya. Namun jika modal yang halal itu digunakan untuk aktifitas yang mengandung unsur haram, maka pendapatan dari aktifitas itu menjadi haram,” jelas Maksum.
Sementara itu, pakar ekonomi Islam dari STIE SEBI, Oni Sahroni mengatakan, Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan telah berkesimpulan bahwa pemilikan virtual currency itu sangat berisiko dan sarat akan spekulasi. Hal itu terkait dengan tidak adanya otoritas yang bertanggung jawab dan tidak terdapat administrator resmi. Selain itu, karena tidak terdapat underlying aset yang mendasari harga virtual currency dan nilai perdagangan sangat fluktuatif, sehingga rentan terhadap risiko penggelembungan.
Dengan demikian, kata Oni, bitcoin bukan alat pembayaran sah, tidak dilindungi oleh otoritas, sehingga tidak ada perlindungan konsumen. Begitu pula, bitcoin sangat berisiko dan sarat dengan spekulasi karena tanpa underlying aset, harga tidak bisa diprediksi, kenaikan sangat tidak wajar dan berpotensi merugikan masyarakat. “Dalam fikih, kondisi ini adalah dharar (negatif dan merugikan) yang harus dihindarkan,” ujar dia.***





.jpg)










