BPR sampai kini tetap sulit bersaing dengan perbankan umum yang bermodal besar, bahkan satu persatu BPR dilikuidasi. Namun BPR bukan tanpa harapan. Dengan menyiapkan proyek percontohan BPR, BI sekaligus ingin menjaga kinerja BPR tahun depan.
Oleh : Lila Intana
Nasib bank perkreditan rakyat (BPR) semakin hari kian memprihatikan. Satu persatu BPR berguguran. Berbeda dengan bank umum, jika ada BPR yang bisnisnya bermasalah, Bank Indonesia (BI) tak segan-segan untuk menutupnya karena dianggap tidak berdampak.
BERITA TERKAIT
Berdasarkan data BI, pada 2005 ada sekitar 3.000 BPR yang tersebar di seluruh Indonesia. Namun hingga September tahun ini jumlahnya menyusut drastis, yakni hanya 1.683 yang masih bertahan. Sudah 17 BPR yang dilikuidasi sepanjang rentang Januari-September, termasuk di antaranya BPRS (Bank Perkreditan Rakyat Syariah). Jumlah ini hampir setara dengan yang ditutup bank sentral periode yang sama tahun 2010, yakni sebanyak 18 BPR dan BPRS.
Memang harus diakui beberapa indikator kinerja BPR tidak secermerlang bank umum lainnya. Salah satu yang paling jelas terlihat adalah kredit macetnya (non performing loan/NPL). Per September penyaluran kredit oleh BPR sebesar Rp39,66 triliun dengan NPL mencapai 6,09 persen. Angka ini jauh di atas NPL industri yang tahun ini masih bisa dipertahankan di kisaran 2 persen.
Tingginya rasio kredit macet ini bukanlah satu-satunya indikator yang meresahkan otoritas karena masih ada indikator lain yakni suku bunga yang tinggi. Bunga kredit BPR menurut data BI rata-rata mencapai 18 persen per tahun, sedangkan bunga kredit bank konvensional rata-rata hanya 14,5 persen per tahun. Persoalan bunga kredit memang menjadi masalah klasik BPR. Menurut Ketua Umum Perhimpunan Bank Perkreditan Rakyat Indonesia (Perbarindo), Joko Suyanto, tingginya suku bunga disebabkan biaya dana (cost of fund) dari BPR yang lebih tinggi dibanding bank umum karena dana pihak ketiga yang banyak di BPR adalah deposito. “Cost of fund kami lebih banyak di deposito, sehingga bunga kredit kami termasuk besar,” kata Joko.
Selain itu, yang menyebabkan biaya bunga kredit BPR tinggi adalah biaya operasional yang masih tinggi juga. BPR melakukan jemput bola kepada debitur, sehingga biaya operasional tinggi. “BPR merupakan institusi yang padat karya, pelayanannya jemput bola. Jadi, biaya overhead yang ditanggung BPR tinggi,” jelas Joko. Tak heran jika kemudian BPR kesulitan untuk menurunkan suku bunga dan pada akhirnya kesulitan pula bersaing dengan bank konvensional.
Tantangan buat BPR tak berhenti sampai di situ. Program Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang diluncurkan pemerintah sejak 2007 lalu disebut-sebut juga makin mempersulit gerak BPR di lingkungan operasionalnya.
Selama ini bisnis BPR sangat mengandalkan kedekatannya dengan pengusaha mikro di sekitar kantornya. Usahawan mikro dan juga pedagang pasar di sekitarnya merupakan nasabah loyal BPR sehingga manajemen tahu betul karakteristik para nasabahnya.
Namun masuknya bank-bank umum ke sektor usaha mikro kecil menengah (UMKM) dalam program Kredit Usaha Mikro (KUR) yang diluncurkan pemerintah semakin mencekik BPR. Dengan bantuan pemerintah dan subsidi bunga serta penjaminan kredit, KUR jelas makin diminati oleh UMKM. Sedangkan BPR selama ini tak mendapat sokongan dari pemerintah.
“BPR semakin terjepit, karena banyak bank umum yang mulai masuk ke sektor mikro. Padahal secara operasional untuk menggarap sektor ini biayanya besar sekali,” ujar pengamat UKM, Nining I Soesilo.
Ketimpangan tersebut semakin terlihat, karena dengan permodalan yang tidak besar, BPR harus menanggung biaya operasional untuk menggarap sektor mikro yang sangat besar, sementara pemerintah sendiri tidak tegas akan nasib mereka, karena tidak menyertakan BPR dalam Program KUR.
Beberapa tahun belakangan juga dikenal linkage program. Program ini merupakan kerjasama antara bank umum dan BPR sehingga diharapkan tercipta pasar yang harmonis dalam pembiayaan ke sektor mikro. Linkage program menjadi jembatan penghubung keterbatasan dua belah pihak dalam menjangkau pasar UMKM. Berdasarkan data Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI), sampai dengan bulan Juni 2011, lebih dari 10 persen kredit BPR dibiayai dari pinjaman bank umum.
Namun, alih-alih kerjasama yang menguntungkan, nyatanya kerjasama itu justru menimbulkan masalah baru bagi BPR. Linkage program malah digunakan bank-bank umum memasuki pasar yang selama ini dikuasai BPR. “Dalam linkage program itu, BPR harus menyerahkan data nasabah atau debitor. Ironisnya, setelah data nasabah diserahkan, tidak lama kemudian staf bank umum itu mendatangi nasabah atau debitor tersebut dan menawarkan kredit atau pengalihan kredit ke mereka. Selain itu, bunga linkage program juga relatif mahal, minimal 13 persen. Akibatnya, BPR pun harus mematok bunga lebih tinggi ke debitor hingga 18 sampai 20 persen,” ujar Joko Suyanto, Ketua Umum Perbarindo.
NASIB KE DEPAN
Menurut Joko, harus ada kebijakan yang pro kepada BPR. Jika hal-hal yang terjadi sepanjang tahun ini dan tahun sebelumnya dibiarkan, maka akan ada lebih banyak BPR yang kolaps dan jumlah BPR tahun depan akan terus menyusut.
Salah satunya adalah dukungan dalam masalah permodalan. Untuk mengatasi permasalahan permodalan, menurut Joko, hendaknya pemerintah bersama BI dapat bekerja sama untuk mengoptimalkan peran BPR terutama dalam hal penyaluran kredit UMKM, terutama kredit mikronya.
Saat ini, ribuan BPR yang tersebar sampai ke pelosok dan banyak berkembang di sentra-sentra ekonomi rakyat lebih mudah menjangkau nasabah mikro. BPR lebih mengetahui karakteristik pengusaha mikro di daerah sehingga berani memberikan pinjaman tanpa agunan, mampu menciptakan prosedur kredit yang sederhana, dapat melakukan proses persetujuan kredit yang cepat dan lebih fleksibel dalam menerima angsuran. Berbagai kelebihan ini seringkali tidak dimiliki oleh lembaga keuangan formal seperti perbankan.
Meski demikian tetap saja, dibanding bank umum lainnya, BPR jelas akan kalah jika harus bersaing berhadap-hadapan. Direktur Direktorat Kredit BPR dan UMKM Bank Indonesia, Edy Setiadi mengatakan, daya saing BPR untuk menjaring nasabah agar menabung masih rendah, karena belum semua BPR dilengkapi fasilitas, kemudahan dan fleksibilitas penarikan uang, sebagaimana yang ditawarkan oleh bank umum.
Untuk bisa meningkatkan daya saingnya BPR, kata Edy harus menerapkan beberapa strategi. Pertama, BPR harus meningkatkan porsi tabungan dengan skema dan pendekatan yang sesuai dengan kultur setempat. Kedua, BPR juga harus saling bekerja sama untuk mewujudkan layanan Tabungan Bersama. Sehingga biaya operasional bisa lebih efisien.
Yang tak kalah penting, lanjut Edy, Direksi BPR juga harus mendorong pemilik untuk merealisasikan komitmennya mengembangkan BPR dengan cara menginvestasikan kembali sebagian dividen yang diperoleh guna meningkatkan permodalan BPR. Upaya lainnya, BPR harus menghitung margin dengan persentase yang wajar yang turut mendukung keberlangsungan usaha BPR dalam jangka panjang dan pengembangan ekonomi daerah. “BPR juga harus melakukan edukasi terhadap masyarakat terhadap transparansi BPR dalam penetapan suku bunga,” kata Edi.
Untuk mendukung BPR, BI akan memilih beberapa BPR sebagai proyek percontohan berdasarkan beberapa kriteria. Di antaranya, pertama, dalam lima tahun BPR tersebut harus memiliki rasio kecukupan modal (CAR) di atas 10 persen. Kedua, loan to deposit ratio (LDR) sekitar 94 persen. Ketiga, penyaluran kredit terus meningkat. Keempat, NPL di bawah 5 persen.
“Dari hasil evaluasi terhadap 1683 BPR di seluruh Indonesia, BI akan menentukan tiga BPR sebagai percontohan,” ujar Edy. Dengan kebijakan itu kinerja BPR tetap terjaga dan diharapkan tak ada lagi penutupan kantor BPR. SP