Tahun ini, aset dan pangsa pasar perbankan syariah tumbuh signifikan. Namun kendala yang terkait dengan keterbatasan SDM berkualitas dan masih minimnya produk inovatif tetap menjadi catatan.
Oleh : Yudi Rachman
BERITA TERKAIT
Orang yang pandai adalah orang yang bisa mengevaluasi dirinya sendiri, begitu sebuah kalimat bijak bestari sering diutarakan. Jika kalimat itu dikaitkan kepada kinerja perbankan syariah sepanjang tahun ini, apa yang bisa dievaluasi?
Berbicara mengenai perbankan syariah, sejak lima tahun terakhir, tak pernah sepi dari persoalan pertumbuhan aset, sumber daya manusia dan produk-produknya. Dengan predikat sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia tak berlebihan jika beragam harapan disematkan kepada Indonesia perihal ketiga topik di atas.
Dilihat dari pertumbuhan aset, perbankan syariah tumbuh lebih cepat dari rata-rata pertumbuhan syariah dunia. Dalam lima tahun terakhir, meskipun masih belum optimal, rata-rata pertumbuhan telah menyentuh 46,55 persen, jauh di atas rata-rata pertumbuhan syariah di dunia yang hanya 10-15 persen.
Jumlah aset syariah hingga September 2011 sudah mencapai Rp126 triliun, melonjak nyaris separo jumlah aset periode yang sama tahun lalu, yang masih berjumlah Rp85,97 triliun. Dari jumlahnya tahun ini, sebesar Rp123 triliun berada di kantong Bank Umum Syariah (BUS) dan Unit Usaha Syariah (UUS), sisanya tersimpan di Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS). Jika dilihat dari sisi pangsa pasar, perbankan syariah telah memiliki porsi 3,8 persen per September 2011. Angka itu meningkat dibanding 2008 yang masih 2,98 persen.
Meski demikian harapan bahwa pangsa pasar menyentuh 5 persen yang sudah dicanangkan akan tercapai 2008 hingga tahun ini akan berakhir hampir mustahil terwujud.
Namun begitu, melihat pertumbuhannya yang agresif tak salah juga jika banyak kalangan syariah yang bergembira. Dengan tingkat pertumbuhan yang tinggi, perbankan Indonesia kini menduduki posisi keempat di dunia setelah Iran, Malaysia, dan Arab Saudi.
Bahkan dengan pertumbuhan yang konsisten itu, Deputi Gubernur Bank Indonesia, Halim Alamsyah berani memprediksi bahwa sepuluh tahun lagi, pangsa pasar perbankan syariah bisa mencapai 13-14 persen. Namun dia tetap mengingatkan bahwa tren pertumbuhan itu bergantung kepada banyak hal, termasuk pertumbuhan ekonomi. Pada September 2011, pertumbuhan ekonomi Indonesia tercatat 6,5 persen. “Posisi kita dalam jumlah bank syariah termasuk menonjol di dunia. Jumlah Bank Umum Syariah 11 buah, ditambah 23 Unit Usaha Syariah,” ujar Halim.
Faktor lain yang tak kalah penting dalam mempengaruhi pertumbuhan bank syariah, menurut Halim, terkait dengan regulasi, yaitu dengan hadirnya undang-undang perbankan syariah pada 2008 dan amendemen undang-undang perpajakan. Oleh karena itu meski perbankan syariah sudah melakukan lompatan, tetapi pertumbuhannya belum optimal.
Dari segi kelembagaan, lanjut Halim, perbankan syariah Indonesia juga dinilai lebih unggul. Fatwa untuk perbankan syariah Indonesia telah dikeluarkan oleh satu lembaga yakni, Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI). Sementara negara lain, fatwa masih berasal dari masing-masing bank. Dengan demikian, fatwa yang dikeluarkan DSN menjadi lebih baik, kemudian menghindari hal-hal spekulatif, serta jaminan pembiayaannya pun jelas.
Kalau menurut Adiwarman Kariim, Direktur Kariim Consultan, pertumbuhan itu terjadi karena ekonomi Indonesia sebagian besar ditopang oleh sektor riil dan masih kecilnya peranan produk derivatif di dunia keuangan. ”Kondisi tersebut ternyata telah memberikan lahan subur bagi perkembangan ekonomi syariah. Berbeda dengan perbankan syariah di Malaysia atau Timur Tengah, keuangan syariah di Indonesia jauh lebih membumi untuk kepentingan sektor riil, menjangkau nasabah dalam jumlah sangat besar, dan cakupan geografis yang sangat luas,” jelasnya.
SDM KOMPETEN
Kendati begitu, industri syariah di Indonesia masih didera oleh masalah yang sama yaitu minimnya sumber daya manusia profesional yang memahami persoalan bisnis sekaligus syariahnya. Otoritas sempat melansir bahwa sedikitnya perbankan syariah membutuhkan 200 ribu bankir hingga lima tahun mendatang. Hal ini tentu menjadi pekerjaan rumah serius bagi pengelola bank syariah mengingat masih banyaknya tenaga profesional syariah yang diambil dari perbankan konvensional.
Menurut Sekjen Ikatan Sarjana Ekonomi Islam (ISEI) Agustianto, bank syariah tidak hanya menghadapi masalah terbatasnya SDM handal tetapi juga minimnya kompetensi. Bahkan rendahnya kompetensi SDM tidak hanya terjadi pada level menengah dan atas (direksi, kepala divisi dan kepala cabang), tetapi juga di level bawah.
Dia menambahkan, kondisi tersebut terjadi di samping karena sistem perbankan syariah di Indonesia yang relatif masih baru, juga karena masih terbatasnya lembaga akademik dan pelatihan di bidang perbankan syariah. “Fakta menunjukkan sebagian besar SDM bank syariah, terutama pada level menengah dan atas, adalah jebolan bank konvensional dengan berbagai motif. Diperkirakan 70 persen karyawan bank syariah saat ini berasal dari bank konvensional dengan latar pendidikan non syariah,” jelas Agustianto.
Kebutuhan SDM yang kompeten juga dialami lembaga keuangan syariah nonbank, seperti asuransi syariah, pasar modal syariah, reksadana syariah, pegadaian syariah, leasing syariah, Baitul Mal wat Tamwil (BMT), koperasi syariah dan sebagainya. Oleh karena itu, menurut Agustianto, keadaan ini harus ditangkap sebagai peluang yang prospektif, sekaligus tantangan bagi kalangan akademisi dan dunia pendidikan agar dapat menyiapkan SDM berkualitas yang ahli di bidang ekonomi syariah. “Bukan karbitan seperti yang banyak terjadi selama ini. Kemudian tingginya permintaan atau kebutuhan SDM syariah, baik itu di lembaga keuangan syariah perbankan atau non perbankan menunjukkan bahwa sistem ekonomi syariah sudah semakin diterima, bahkan dibutuhkan oleh masyarakat,” tutur Agustianto.
PRODUK INOVATIF
Masih relatif barunya perbankan syariah jika dibandingkan dengan konvensional juga membuat produk-produk yang dihasilkan masih kalah dalam jumlah dan inovasi. Untuk tingkat global saja, bank syariah yang pertama kali berdiri ada di Mesir pada 1963 dan 28 tahun kemudian baru di Indonesia tepatnya pada 1991, yakni ketika Bank Muamalat Indonesia berdiri.
Lambatnya pertumbuhan perbankan syariah di Indonesia disebut-sebut disebabkan minimnya produk-produk yang inovatif, sedangkan produk yang ada dinilai “kurang membumi”. Produk yang ada masih banyak merupakan impor dari bank syariah di Timur Tengah atau Malaysia dan dinilai berbeda dengan kultur dan kebiasaan masyarakat Indonesia.
Di Timur Tengah dan Malaysia, pertumbuhan perbankan syariah lebih banyak didorong oleh kebijakan pemerintah (top down), sedangkan di Indonesia lebih banyak dikarenakan inisiatif dari masyarakatnya (bottom up). Tentunya dengan perbedaan tersebut, dibutuhkan pendekatan yang berbeda pula.
Di sinilah letak pentingnya industri perbankan syariah menciptakan produk-produk inovatif. Menurut beberapa pelaku, masyarakat butuh produk syariah khas Indonesia. Hal itu terutama disebabkan tidak semua fatwa yang berasal dari Timur tengah sesuai dengan kondisi masyarakat. Selain itu, kondisi perbankan syariah di Indonesia berbeda dengan Timur Tengah.
Yuslam Fauzi, Direktur Utama Bank Syariah Mandiri berpendapat, Indonesia harus merumuskan sendiri bank syariah yang cocok dengan kultur dan kebiasaan masyarakat. Untuk memulainya, pelaku industri perbankan syariah harus terlebih dahulu membuat produk-produk yang cocok dengan karakteristik masyarakat Indonesia. “Produk syariah khas Indonesia adalah kebutuhan mendesak. Hal ini karena kondisi umat Islam di Indonesia berbeda dengan yang berada di negara lain,” kata Yuslam.
Sementara menurut Agustianto, akad atau perjanjian transaksi syariah yang ada belum banyak diolah untuk bisa melahirkan variasi produk inovatif. Bahkan terbuka peluang untuk bisa melahirkan produk dari kombinasi akad (hybrid contract). SP