JAKARTA, Stabilitas.id – Rencana penerapan co-payment dalam produk asuransi kesehatan resmi ditunda oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Kebijakan ini semula direncanakan mulai berlaku pada 1 Januari 2026, namun ditangguhkan hingga terbitnya regulasi dalam bentuk Peraturan OJK (POJK).
Penundaan tersebut mengacu pada kesimpulan hasil Rapat Kerja Komisi XI DPR RI bersama OJK, Senin (30/6/2025), yang menilai perlunya pendalaman dan partisipasi lebih luas sebelum regulasi diberlakukan.
“OJK menunda pelaksanaan Surat Edaran OJK Nomor 7 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Produk Asuransi Kesehatan hingga POJK sebagai dasar hukum yang lebih tinggi ditetapkan,” ujar Ketua Komisi XI DPR RI, Mukhamad Misbakhun, di Gedung Parlemen.
BERITA TERKAIT
Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar menyatakan pihaknya menghormati keputusan parlemen dan menyepakati langkah penundaan tersebut.
Kepala Eksekutif Pengawasan Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun OJK Ogi Prastomiyono menyampaikan bahwa co-payment sejatinya dimaksudkan sebagai upaya memperbaiki struktur risiko dalam industri asuransi kesehatan yang dinilai semakin berat.
“Rasio klaim sudah mendekati 100 persen, bahkan jika ditambahkan dengan biaya operasional (OPEX), angkanya sudah melewati itu. Tahun lalu rata-rata premi naik lebih dari 40 persen. Ini tidak berkelanjutan,” jelas Ogi.
Menurutnya, co-payment hanya salah satu instrumen reformasi untuk menyehatkan ekosistem asuransi kesehatan, bukan satu-satunya solusi.
Sebelumnya, OJK telah menerbitkan Surat Edaran OJK (SEOJK) No. 7/SEOJK.05/2025 yang mengatur pembagian risiko klaim alias co-payment. Dalam aturan tersebut, pemegang polis atau peserta wajib menanggung minimal 10% dari total klaim, dengan ketentuan batas maksimum: Rp300.000 per klaim rawat jalan, dan Rp3.000.000 per klaim rawat inap.
Kebijakan ini menimbulkan polemik, terutama dari kalangan konsumen yang khawatir akan beban tambahan biaya kesehatan. Oleh karena itu, Komisi XI DPR meminta OJK menahan implementasinya hingga lahir regulasi yang lebih kuat secara hukum dan lebih matang secara substansi.
Langkah penundaan ini sekaligus membuka ruang bagi pembahasan lebih lanjut antara regulator, pelaku industri, dan masyarakat untuk menyusun formulasi terbaik bagi keberlanjutan bisnis asuransi tanpa membebani peserta.
“Komisi XI melakukan meaningful participation untuk menampung aspirasi semua pihak. Kita ingin kebijakan asuransi ini adil bagi industri, dan aman bagi masyarakat,” ujar Misbakhun. ***





.jpg)









