Gelombang kebijakan pembatasan gaji bankir yang diterapkan di AS dan Eropa lambat laun sampai juga di Indonesia. Meski sayup-sayup namun rencana itu tampaknya akan direalisasikan otoritas karena fungsinya yang sangat krusial dalam menangkal risiko perbankan.
Oleh: Syarif Fadilah, Whisnu Bagus Prasetyo
BERITA TERKAIT
TAHUN 2008 mungkin merupakan tahun yang paling disesali oleh warga AS, terutama karena perekonomiannya telah terjerembab ke dalam pusaran krisis keuangan akibat rontoknya sektor properti. Setahun berikutnya, keadaan tidak bertambah baik. Malah tahun itu mungkin menjadi tahun yang buruk bagi kebanyakan lembaga keuangan di AS.
Akan tetapi seperti dilaporkan, majalah The Economist, tahun tersebut sepertinya bagus untuk pegawai-pegawai di lembaga keuangan. Mereka yang masih bekerja diberitakan mengantongi bonus rata-rata 123.850 dollar AS pada 2009, sekitar Rp1,1 miliar per orang. Angka itu merupakan perkiraan awal dari Kantor Pengawas Keuangan Negara Bagian New York. Sementara itu, sebanyak 20,3 miliar dollar AS telah dibayarkan kepada para bankir dan pegawai di industri sekuritas lainnya yang jika dirupiahkan angkanya mencapai Rp182,7 triliun. Jumlah itu juga 17 persen lebih tinggi dari yang diberikan kepada pegawai pada 2008.
Gaji dan bonus bankir telah menjadi perdebatan panas pasca krisis 2008, bukan hanya karena dampaknya yang menyebar ke negara lain di dunia, tetapi juga karena penggunaan dana bantuan yang melenceng yang membuat marah para pembayar pajak. Untuk menangani krisis sektor keuangan, pemerintah AS menyuntikan dana (bail out) kepada lembaga-lembaga keuangan agar mereka tidak ambruk dan menimbulkan gelombang krisis yang lebih besar lagi. Ironisnya dana-dana tersebut sebagian digunakan untuk memberikan bonus kepada pegawai-pegawai dalam jumlah yang tak kecil.
Presiden Barack Obama yang dilantik awal 2009 seperti harus “mencuci piring” sisa pesta kebijakan ekonomi pemerintah sebelumnya. Obama lalu mengeluarkan kebijakan pembatasan bonus dan gaji bankir terutama pada lembaga keuangan yang menerima uang dari pembayar pajak. Bos-bos dari bank yang tercatat di bursa Wall Street yang sudah diselamatkan uang negara tidak boleh menerima penghasikan lebih dari 500.000 dollar AS per tahun, atau jika dirupiahkan tak kurang dari Rp4,2 miliar. Kebijakan tersebut–seperti juga krisis keuangan di AS–akhirnya menyebar ke Eropa dan negara-negara lain.
Puncaknya adalah saat para menteri keuangan dari negara maju dan berkembang mencapai kata sepakat untuk membatasi bonus para bankir yang jumlahnya luar biasa itu pada September 2009 dalam pertemuan G20 di London. Selain itu, kelompok 20 negara itu juga mengusulkan agar gaji para eksekutif yang berlebihan dibatasi.
Para pemimpin negara G20 menganggap, untuk menjaga pemulihan ekonomi yang berkesinambungan, gaji bankir di dunia harus ditinjau ulang dan diwujudkan dalam kebijakan baru yang bersifat jangka panjang.
Standar pengaturannya dilakukan secara terpisah di masing-masing negara dan akan diawasi oleh badan stabilitas keuangan, International Group Of Central Bankers, menteri keuangan dan regulator yang merepresentasikan negara G20. Pengaturan gaji bankir di tingkat global juga terungkap dalam pertemuan perwakilan bank sentral dunia yang tergabung dalam Komite Basel di Swiss. Salah satu isinya menegaskan bahwa remunerasi bankir akan diberikan berdasarkan kajian akan risiko atau tantangan dalam beberapa tahun ke depan.
Itu artinya remunerasi bankir harus diberikan dengan pertimbangan risiko ke depan, bukan pencapain yang telah lalu. Jika bankir diberikan remunerasi besar, namun gagal mengantisipasi risiko di tahun mendatang, maka yang menerima remunerasi dianggap tidak bertanggung jawab. Begitulah kesimpulan singkat dari kesepakatan G20.
Eropa menjadi kawasan yang meratifikasi kesepakatan itu dengan mengeluarkan aturan yang memperketat pemberian gaji dan fasilitas tunjangan pada para pimpinan bank, sementara pemberian bonus akan ditahan selama periode tiga sampai enam tahun. Tujuannya adalah untuk mengikat para bankir yang biasanya mengambil risiko besar dengan menggunakan investasi dari bank tempat mereka bekerja, serta memaksa mereka untuk mengambil inisiatif tanggung jawab lebih lama terhadap keputusan yang mereka buat selama menjadi bankir.
Bagaimana di Indonesia? Seperti juga dampak krisis keuangan yang tak terlalu terlihat di Indonesia, pengetatan gaji bankir hingga kini juga juga belum diikuti oleh otoritas perbankan. Meski demikian Bank Indonesia sepertinya sudah pasang kuda-kuda untuk menerapkan kebijakan serupa seperti yang dilakukan otoritas di AS dan Eropa.
Sejak awal tahun ini, meski berbalut dorongan agar bank meningkatkan efisiensi bisnisnya, BI sejatinya sudah melemparkan ide ke publik agar ada pembatasan (minimal pengaturan) gaji para eksekutif bank. Adalah Direktur Direktorat Penelitian dan Pengaturan BI Wimboh Santoso yang melontarkan ide pembatasan gaji itu ke masyarakat pada Januari lalu.
Dia menilai bahwa perbankan di Indonesia adalah paling boros dibandingkan negara lain di kawasan ASEAN jika dilihat dari rasio Biaya Operasional dan Pendapatan Operasional atau yang lazim disebut BOPO. Bank sentral mencatat BOPO perbankan mencapai 88,6 persen, dan besarnya rasio itu salah satunya dikarenakan faktor biaya gaji yang tinggi.
Gaji bankir selama ini memang berada di tingkat yang hampir tak bisa dibayangkan orang awam. Tingginya gaji para bankir ini dituding menjadi salah satu faktor yang menyebabkan pembengkakan operasional (overhead cost) pada perbankan. Dan BI tentu tahu benar akan hal itu.
Biaya overhead yang terus membengkak, akan berujung pada sulitnya bank menurunkan suku bunga kredit sehingga akan menahan laju pertumbuhan pembiayaan yang akhirnya menghambat sektor riil dan pertumbuhan ekonomi. Sekali lagi BI tahu benar akan konsekuensi itu.
Oleh karena itu, pasca bergulirnya ketentuan yang mengatur pengenaan suku bunga kredit melalui prime lending rate, BI menggelindingkan lagi isu pembatasan atau minimal transparansi gaji bankir. Tujuannya jelas, agar biaya operasional bank tidak terlalu tinggi. Selain itu publik juga menjadi tahu dan bisa menilai apakah bankir memang pantas mendapat gaji tinggi dengan melihat kinerja bankir tersebut dalam menakhodai bank agar berperan lebih besar bagi perekonomian.
Dalam analisis Mas Achmad Daniri, Ketua Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG), setidaknya ada tiga alasan utama mengapa tranparansi gaji para eksekutif puncak menjadi penting. Pertama, lewat transparansi gaji, publik bisa menilai seberapa pantas remunerasi yang diberikan kepada manajemen jika dihadapkan kinerja perusahaan. “Ini penting karena tidak setiap tahun kinerja perusahaan itu kinclong. Dengan transparansi, manajemen tidak seenaknya meminta kenaikan gaji. Jika kinerja keuangan bagus, pantas apabila dapat kenaikan gaji, tetapi apabila sebaliknya?” kata dia.
Kedua, transparansi gaji akan membuat situasi menjadi kompetitif. “Motivasi seorang eksekutif akan terpompa untuk bekerja pada perusahaan yang mampu membayar dengan pantas. Sebab, banyak survei menunjukkan, kompensasi dan benefit adalah faktor utama sebuah perusahaan dalam memperoleh eksekutif terbaik,” ungkap mantan direktur utama PT Bursa Efek Jakarta (sekarang Bursa Efek Indonesia) ini.
Ketiga, berani mengumumkan bayaran para top managers sebenarnya perusahaan telah membuka diri terhadap sorotan publik. Dengan kata lain, tidak ada alasan bagi para eksekutif itu yang memperoleh bayaran tinggi tapi gagal mengelola perusahaan. “Di Jepang, biasa terjadi gaji eksekutif dipotong karena kinerja korporasi anjlok,” ujar Daniri.
Resistensi Bankir
Meski demikian, kebijakan tak populer terutama di mata bankir itu sontak ditentang oleh sebagian besar kalangan pelaku perbankan. Alasan bahwa tingginya biaya operasional bank dikarenakan besarnya gaji yang diberikan kepada bankir pun tak serta merta diterima.
Seperti yang diutarakan oleh Direktur Komersial Bank CIMB Niaga Handoyo Socbali. Kendati mengakui bahwa rasio BOPO perbankan Indonesia tergolong tinggi–mencapai lebih dari 88 persen, bandingkan dengan Malaysia yang hanya 40 persen–namun dia menolak kalau penyebabnya adalah gaji bankir. “Tapi apa benar, itu karena gaji,” ujar Handoyo setengah bertanya.
Menurut dia, besarnya BOPO dikarenakan bank harus membentuk Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP) yang merupakan cadangan atas kerugian aset-aset perusahaan. “PPAP masuk ke biaya perusahaan, sehingga BOPO makin besar,” jelas Handoyo.
Oleh karena itu, Handoyo berharap BI tidak melaksanakan rencana itu. Namun, bila harus terlaksana, mestinya ada kajian mendalam tentang gaji dan bonus bankir-bankir di Indonesia. “Ini tidak hanya bankir lokal saja, tapi juga dari asing, termasuk gaji pejabat BI karena termasuk pelaku perbankan,” tukas Handoyo.
Kegusaran bankir memang bisa dimaklumi mengingat perbankan adalah industri yang penuh dengan target yang harus dicapai. Jadi menurut sebagian bankir jika mereka berhasil memenuhi target yang ditetapkan pemilik perusahaan maka tak ada salahnya mendapatkan bayaran setimpal dengan menerima gaji tinggi.
Terkait kesimpulan di atas, pakar manajemen risiko Pardi Sudradjat mengungkapkan bahwa sejauh ini gaji para eksekutif bank di Indonesia selalu didasarkan pada torehan performa khususnya dilihat dari laba bersihnya di masa lampau atau parameter lainnya seperti tingkat pengembalian aset (return on aset/ROA) dan ekuitas.
Kondisi ini menurut Sekretaris Jenderal Indonesia Risk Professional Association itu kurang ideal karena, ada sisi lain yang jauh lebih penting, yakni menjaga kesinambungan dengan memasukkan faktor risiko operasional.
Memang, pendapatan para bankir sangat terkait dengan produktifitas dan kinerja bank yang terepresentasi dengan laba bersih. Namun laba saja tidak cukup tanpa economic value added (EVA). Sebagai gambaran, EVA didapat berdasarkan selisih laba bersih dan cost of capital (modal yang digunakan seluruh unit kerja). Jika sebuah bank menorehkan laba bersih yang fantastis, namun economic value added-nya kecil, artinya bank tersebut harus lebih giat menyiasati strategi perusahaan yang mengarah pada upaya efisiensi. “Karena laba itu tidak selalu dalam bentuk cash,” kata Pardi.
Oleh karena itu, jalan tengah yang untuk tetap mengatur gaji bankir namun tidak menguranginya secara semena-mena adalah dengan cara mengaitkan bayaran jajaran direksi dengan beberapa indikator kinerja bisnis bank tersebut.
Sebut saja dengan kemampuan bank menekan bunga bersih (net interest margin/NIM). Nantinya bankir dinyatakan layak mendapatkan gaji selangit jika mampu menekan bunga kredit. Cara lain bisa juga dengan menghubungkan salary para eksekutif papan atas itu dengan kinerja kredit ke sektor-sektor produktif bukan konsumtif. Jika bank banyak menyalurkan ke kredit produksi, maka bankir bisa merasa berhak bergaji tinggi.
Walaupun setuju ada pengaturan, namun kebijakan salary cap itu, menurut Pardi belum perlu diwujudkan dalam regulasi tertulis yang kaku seperti yang diterapkan di AS dan beberapa negara Eropa lainnya. Hal itu bisa diterapkan dengan memberi masukan kepada pemegang saham agar tidak jor-joran menawarkan bonus tinggi kepada jajaran manajer level atas.
Berdasarkan pengalaman dan catatan keuangan perbankan selama ini, lanjut Pardi beban operasional memang banyak disumbangkan oleh besarnya bonus dan tantiem (bonus untuk direksi dan komisaris berdasarkan pencapaian laba). ”Di kita kan yang besar bonusnya, kalau gaji justru biasa saja,” kata dia.
Meskipun demikian, sejatinya aturan ”tidak tertulis” itu tetap bertujuan mengatasi kondisi ketidakpastian dan risiko di masa depan bukan semata kinerja yang dicapai di masa lalu demi mendorong tata kelola perusahaan yang lebih baik.
Selain itu pengaturan remunerasi para eksekutif bank juga sebagai bentuk upaya mengurangi kesenjangan gaji antara level manajer ke atas dengan level di bawahnya. Karena selama ini, masih terjadi gap yang cukup jauh antara karyawan bank di level bawah dengan level manajer ke atas. SP





.jpg)










