Sektor keuangan non bank mulai menggeliat setelah dua tahun tertatih akibat pandemi. Tak mau kehilangan momentum, otoritas merespons dengan aturan countercyclical dan pelaku usaha bergegas membenahi pondasi.
Oleh Syarif Fadilah
Hampir seluruh pelaku di sektor keuangan paham betul bahwa memasuki tahun ketiga krisis akibat pandemi ini kondisi ekonomi tidak akan bertambah mudah. Tetapi hal itu tidak boleh menghalangi mereka untuk melemparkan optimisme dalam menjalani bisnis di tahun 2022.
Harus diakui bahwa tanggapan pelaku industri keuangan non bank (IKNB) dalam menghadapi perubahan lingkungan bisnis setelah dilabrak wabah lebih minim dibanding perbankan. Namun pelaku bisnis akhirnya mampu menyesuaikan diri terhadap perubahan besar tersebut.
BERITA TERKAIT
Setelah dua tahun mengalami kemerosotan bisnis akibat Covid-19, pelaku IKNB sudah mulai beradaptasi. Cara-cara seperti pembenahan bisnis dari infrastruktur hingga strategi pemasaran dan delivery-nya mulai menjadi pemandangan biasa.
Hasilnya patut disyukuri, sampai-sampai Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non-Bank, Riswinandi tak bisa menyembunyikan kegembiraannya. “Secara year on year, asset IKNB tumbuh 9,38 persen, di mana aset Sept 2020 sebesar Rp2.059 triliun, naik di September 2021 menjadi Rp2.759 triliun. Lalu Investasi IKNB naik 12,84 persen (year on year), dari September 2020 sebesar Rp1.465 triliun menjadi sebesar Rp1.663 triliun di September 2021,” urai dia.
Alhasil pendapatan operasional IKNB juga terkerek meningkat secara year on year, yakni sebesar 11,25 persen, dari September 2020 yang sebesar Rp485,24 triliun menjadi Rp 571,13 triliun di September 2021.
Kendati demikian Riswinandi mengingatkan pelaku industri untuk tetap mewaspadai potensi-potensi ketidakpastian akibat pandemi yang kini sedang melanda beberapa negara di Eropa. “Kami harap pelaku IKNB terus sosialisasikan ke nasabah untuk patuh dan disiplin dalam tetapkan prokes untuk tekan risiko gelombang ketiga yang bisa memaksa pemerintah melakukan pembatasan kegiatan yang bisa berdampak negatif terhadap ketahanan pelaku dalam perekonomian nasional,” harap Riswinandi.
Sebagai regulator dan pengawas, dalam mengantisipasi risiko-risiko tersebut, OJK telah menyiapkan langkah lanjutan berupa kebijakan countercyclical khusus untuk IKNB. Aturan itu merupakan perpanjangan ketentuan countercyclical khusus untuk IKNB dan akan berlaku sampai periode April 2023.
Adapun beberapa hal yang diatur di dalam kebijakan itu antara lain; Pertama, pelaksanaan penilaian dalam proses pelaksanaan penilaian kemampuan dalam kepatutan. Ini menurut OJK akan bisa dilakukan secara fleksibel dan disesuaikan dengan pemberlakuan PPKM. Kedua, relaksasi persyaratan pembiayaan modal kerja dengan faasilitas modal usaha termasuk di dalamnya bagi pelaku UMKM. Ketiga, kesempatan restrukturisasi untuk pinjaman melalui Fintech P2P Lending. Keempat, relaksasi ketentuan pelaksanaan valuasi aktuaria untuk industri dana pensiun pemberi kerja.
“Yang lain adalah melanjutkan apa yang sudah diatur dalam POJK sebelumnya. Sehingga pelaksanaan aturan tersebut bisa ciptakan kondisi soft landing bagi pelaku industri dan sekaligus cegah guncangan pada industri akibat normalisasi regulasi yang drastis dalam waktu yang singkat,” jelas Riswinandi.
Mitigasi risiko ini menurut Riswinandi sangat penting, mengingat sekitar 70-80 persen investasi sektor IKNB, khususnya dana pensiun dan asuransi, diinvestasikan di pasar modal. Sehingga kondisi pasar modal secara umum mempengaruhi stabilitas di sektor keuangan non bank.
Tantangan IT
Selain itu, di tahun-tahun mendatang risiko pengunaan IT dalam transaksi keuangan juga harus menjadi perhatian tersendiri bagi pelaku IKN. “Penerapan sosial distancing sudah ciptakan kondisi ideal untuk percepat digitalisasi di berbagai bidang. Dari perspektif pelaku usaha, penggunaan teknologi untuk proses bisnis hadirkan peluang untuk jangkau target pasar yang lebih luas secara efektif dan efisien,” kata Riswinandi.
Mengutip survey dari SwissRe Institute di beberapa negara Asia, untuk industri asuransi, tingkat penerimaan konsumen terhadap produk asuransi yang dipasarkan melalui digital cukup signifikan. “Lebih dari 70 responden survei tersebut menyatakan minat yang tinggi untuk transaksi melalui digital,” katanya.
Dalam konteks digitalisasi di Tanah Air, lanjut Riswinandi, hasil survey penyelenggara jasa internet Indonesia juga menunjukkan tingkat penetrasi internet sepanjang 2019-2020 sudah capai 73,7 persen dari total jumlah penduduk. “Demikian kombinasi jumlah peminat penggunaan platform digital dan tingkat penetrasi internet semestinya dapat ditingkatkan sebagai modal penting untuk mendorong pertumbuhan inklusi pada sektor IKNB,” harapnya.
Menurut Riswinandi, tanpa didukung penguatan literasi, pelaku sektor IKNB akan menghadapi eksposur risiko reputasi yang lebih tinggi, antara lain disebabkan risiko miss selling, akibat minimnya pemahaman masyarakat terhadap manfaat dan risiko suatu produk jasa keuangan. Sementara dari perspektif pelaku usaha, ketergantungan yang tinggi terhadap infrastruktur IT yang meningkatkan eksposur perusahaan terhadap kelompok risiko cyber.
“Contoh kasus peretasan sistem IT perusahaan akan mengganggu kualitas pelayanan perusahaan dan operasional perusahaan dan dapat membahayakan data pribadi nasabah,” jelasnya.
Untuk itu, sebagai bagian dari kebijakan untuk mendorong mitigasi risiko IT ini secara lebih optimal oleh pelaku sektor IKNB, maka OJK telah terbitkan peraturan POJK No 4 tahun 2021 mengenai Manajemen Risiko Teknologi Informasi oleh Lembaga Jasa Keuangan Non Bank, mencakup perusahaan perasuransian, dana pension, lembaga pembiayaan, dan fintech.
“Selain mengatur mengenai penerapan manajemen risiko IT, aturan tersebut juga memuat substansi mengenai penyelenggaraan sistem IT, utamanya terkait kewajiban pelaku industri untuk melakukan proteksi atas data perusahaan dan konsumernya.”
Dalam POJK No 4 tahun 2021 juga mengatur mengenai kewajiban pelaku industri untuk melakukan upaya terbaik dalam melindungi data pribadi konsumen dan menghindari penyalahgunaan data tersebut. “Kami harap kebijakan ini dapat menjadi guideline bagi pelaku IKNB sehingga memberi kontribusi positif bagi kinerja pelaku industri dan melindungi kepentingan nasabah,” tegas Riswinandi.
Optimisme Pelaku
Di sisi pelaku usaha, optimisme juga diperlihatkan ketika tahun 2022 sudah mulai dijalani. Seperti yang diungkapkan oleh Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) yang meyakini bisnis industri asuransi jiwa pada 2022 akan lebih prospektif dibandingkan tahun lalu. Ketua Dewan Pengurus Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) Budi Tampubolon mengatakan kebanyakan para manajemen perusahaan asuransi dan chief economist menatap kondisi bisnis di 2022 lebih optimistis dibandingkan tahun lalu.
Hal senada juga diungkapkan oleh Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI), Suwandi Wiratno. Kumpulan pelaku di bisnis multifinance itu optimistis kinerja industri pembiayaan terutama di lini kendaraan akan semakin membaik tahun ini.
Perbaikan kinerja sudah mulai terlihat di sepanjang 2021. Suwandi menyebut, per September 2021, laba industri pun telah meningkat 128 persen year on year (yoy). Menurutnya, pertumbuhan bisnis industri pembiayaan tersebut turut didorong oleh adanya insentif pajak barang mewah (PPnBM). “Kami yakin ini terus membaik. Bahkan di 2021, terkait adanya insentif PPnBM, industri kami terus meningkat.”
—
Kerlip Cahaya di Semua Lini Usaha
Memasuki awal tahun 2022 ini, kinerja industri keuangan non bank patut diacungi jempol. Setelah sempat tertath-tatih menjalani bisnis di bawah ancaman pandemi, berdasarkan catatan Otoritas Jasa Keuangan, piutang pembiayaan dan perusahaan pembiayaantumbuh sekitar 12 persen.
Selain itu, sepanjang tahun lalu rasio kredit perusahaan pembiayaan terpantau stabil. Tingkat Nonperforming financing (NPF) berada pada level 3,53 persen setelah meningkat pada Juli 2020 sebesar 5,60 persen. Kenyataan itu tidak terlepas dari kebijakan restrukturisasi pembiayaan yang mana nilainya mencapai 60,1 persen atau Rp218,95 triliun dari 5,2 juta kontrak.
Di lini usaha asuransi, OJK juga masih menaruh harapan besar demi terjadinya pertumbuhan aset asuransi jiwa serta perusahaan asuransi umum dan reasuransi. Diperkirakan masing-masing akan tumbuh sebesar 4,66 persen dan 3,14 persen. Sementara, aset dana pensiunan akan mencapai 6,47 persen. Risk based capital perusahaan asuransi di Indonesia masih berada jauh di atas threshold sebesar 120 persen. Permodalan asuransi jiwa mencapai 539,8 persen dan asuransi umum 327,3 persen.
Di pasar modal optimisme juga terlihat. Diperkirakan penghimpunan dana masyarakat di pasar modal diproyeksi bertumbuh di kisaran Rp125 triliun hingga 175 triliun.***





.jpg)










