Oleh: Prayogo P. Harto*
Sejak berdirinya bank syariah pertama, Bank Muamalat, pada 1992, berarti setahun lagi akan genap dua puluh tahun usia perbankan syariah nasional. Di usia yang nyaris dua dekade ini, perkembangan perbankan Islam di Tanah Air dapat kita pandang dalam dua sudut, positif dan negatif.
BERITA TERKAIT
Dari kaca mata positif, sejumlah indikator kinerja perbankan syariah relatif tumbuh signifikan. Hasil riset Lutfil Khakim dari Pusat Data dan Analisis Stabilitas (PDAS) menunjukkan aset perbankan syariah dalam sepuluh tahun terakhir tumbuh sekitar 45 persen per tahun. Bandingkan dengan pertumbuhan aset perbankan nasional yang hanya 14 persen pertahun.
Pertumbuhan signifikan juga dicatatkan indikator pembiayaan dan Dana Pihak Ketiga (DPK) perbankan syariah masing-masing berkembang 44 persen dan 47 persen pertahun. Indikator ini makin dikokohkan dengan pertumbuhan laba yang rata-rata naik 71 persen pertahun.
Tak hanya itu, jangkauan jaringan perbankan syariah pun mengalami peningkatan sangat pesat. Dalam lima tahun terakhir jaringan bank syariah telah bertambah 184 persen dengan rata-rata 27 persen pertahun. Sebagai perbandingan, jaringan bank konvensional cuma mampu tumbuh 45 persen di periode yang sama atau rata-rata 9,5 persen pertahun.
Prestasi kinerja operasional bank syariah juga tak kalah mencorong. Terutama dari performa efisiensi yang diindikasikan dengan rasio beban operasional terhadap pendapatan operasional (BOPO). Dalam lima tahun terakhir rata-rata BOPO bank syariah hanya 69 persen. Sementara rata-rata BOPO bank konvensional sebesar 88 persen.
Namun performa apik bank syariah ini dibayang-bayangi sejumlah catatan negatif. Di sisi aset, misalnya, perbankan syariah masih jauh dari bank konvensional. Total aset perbankan syariah dalam hampir dua dekade ini baru mampu menyentuh angka 3 persenan dari seluruh aset perbankan nasional. Angka di atas agak ironis mengingat Indonesia adalah negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Artinya, secara teoritis peluang penggemukan aset perbankan syariah terbuka lebar.
Indikator negatif lainnya adalah pertumbuhan negatif pada rekening bank syariah. Data BI mencatat sejak 2006, jumlah rekening bank umum syariah (BUS) dan unit usaha syariah (UUS) dari tahun ke tahun justru menunjukkan tren pertumbuhan yang menurun. Bahkan penurunannya cukup signifikan. Di tahun 2006, rekening nasabah bank syariah tercatat masih tumbuh 69 persen. Namun tahun berikutnya hanya tumbuh 42 persen dan terus turun hingga puncaknya di Juni 2010 cuma naik 11 persen.
Fenomena ini menunjukkan adanya gejala stagnasi terhadap jumlah nasabah di bank syariah karena ia berkorelasi langsung dengan jumlah rekening. Pada gilirannya, pertumbuhan negatif rekening ini secara tidak langsung menjadi penyebab lambannya peningkatan pangsa pasar (market share) perbankan syariah di Tanah Air hingga hanya mampu menggapai angka 3 persen dari market share perbankan nasional.
Dilema Copy Paste
Salah satu hipostesis yang dapat dikemukan terkait kinerja negatif perbankan syariah (jumlah aset maupun pertumbuhan negatif rekening/nasabah) adalah karena minimnya kreativitas insan-insan dari perbankan Islam sendiri. Fakta ini dapat kita lihat dari, misalnya, produk dan jasa yang ditawarkan oleh bank syariah. Nyaris, jika bukan malah semua, produk dan jasa bank syariah merupakan copy paste atau tiruan dari produk/jasa sejenis di manca negara.
Memang bukan tanpa sebab jika pelaku perbankan syariah kita lebih suka mencomot produk jadi asing ketimbang merancang produk sendiri. Alasan yang sering dikedepankan adalah industri perbankan tanah air relatif masih hijau jika dibandingkan sejumlah negara yang lebih mapan, seperti Malaysia, Pakistan, Mesir, atau Iran. Jadi, wajar sebagai pemain baru mencontoh pemain mapan (lama).
Selain itu, sumber daya insani (SDI), sebutan SDM di perbankan syariah, di tanah air secara kuantitas dan kualitas relatif lemah. Hal ini mengingat mayoritas SDI berasal dari perbankan konvensional. Alhasil mereka mungkin saja memiliki kapabilitas sebagai bankir umum, tetapi minim pengetahuan syariah. Padahal, kompetensi yang seimbang antara ilmu agama dan perbankan adalah elemen wajib yang dibutuhkan SDI untuk merancang suatu produk syariah. Jadi, wajar saja jika ketimpangan ilmu ini membuat para pelaku industri perbankan syariah memilih jalan pintas, menggunakan produk syariah yang sudah jadi.
Namun cara instan di atas mengandung risiko, yakni produk yang diimpor dari luar itu tidak sesuai dengan kebutuhan konsumen dan kurang laku di pasar. Kenyataan ini tercermin dari lambatnya laju pertumbuhan rekening maupun aset perbankan syariah di tanah air.
Fakta kurangnya inovasi insan perbankan syariah ini juga diperkuat dengan masih sedikitnya akad yang digunakan dalam produk maupun jasa bank Islam. Mengacu data BI, pembiayaan di BUS dan UUS ternyata hanya memiliki 6 akad, yaitu Murabahah (jual beli), Musharakah (kerja sama), Mudharabah (bagi hasil), Qardh (pinjaman), Ijarah (leasing), dan Istishnah (jual beli dengan pesanan). Sementara akad terkait dana simpanan nasabah BUS dan UUS malah cuma dua, yaitu Mudharabah dan Wadiah (titipan).
Kalau kita lihat lebih dalam lagi, ternyata dari akad-akad pembiayaan tersebut hanya tiga yang dominan, yakni Murabahah (55 persen), Musharakah (20 persen), dan Mudharabah (12 persen). Dengan kata lain, ketiga akad ini menguasai lebih dari 80 persen pembiayaan di bank syariah. Adapun dari akad simpanan yang didominasi oleh akad Mudharabah jenis deposito (60 persen) dan tabungan Mudharabah (25 persen).
Menjawab Kebutuhan
Berkaca dari fakta di atas, nampaknya kita membutuhkan berbagai terobosan agar perbankan syariah nasional tidak terus menerus berada di bawah bayang-bayang bank konvensional ataupun perbankan syariah negara lain. Salah satu terobosan yang bisa dijadikan pertimbangan adalah perlunya membangun bank syariah made in atau mahzab Indonesia.
Bank syariah mahzab Indonesia tentu saja bukan berarti ia menafikan prinsip-prinsip syariah. Al Quran dan Hadist, bagaimanapun tetap menjadi refesensi utama bank syariah mahzab Indonesia ini. Namun, yang membedakan dengan bank syariah negara lain adalah lembaga bank Islam ala Indonesia ini dibangun dengan pendekatan ekonomi-sosial-politik nasional. Singkat kata, produk-produk bank syariah yang dikembangkan haruslah berdasarkan karakterisitik dan kebutuhan nasabah tanah air.
Dari sudut pandang ekonomi, misalnya, mayoritas penduduk Indonesia bekerja di sektor pertanian. Dari kaca mata ini produk pembiayaan perbankan syariah seharusnya dirancang untuk memenuhi kebutuhan sektor tadi. Contohnya produk dengan akad Salam. Namun realitas yang terjadi saat ini justru sebaliknya. Pembiayaan bank syariah bagi sektor pertanian cuma menempati posisi nomor tujuh atau tiga terbawah dengan jumlah Rp2 triliun atau 2,7 persen total pembiayaan perbankan nasional. Angka ini jauh di bawah sektor lain yang nota bene bukan sektor utama para pekerja Indonesia, seperti Jasa (27 persen) dan perdagangan (10 persen).
Sementara kalau kita tinjau dari sudut pandang sosial, karakter dominan masyarakat Indonesia adalah memiliki solidaritas tolong menolong yang tinggi. Artinya produk-produk berakad Qardh (pinjaman), yang kental spirit membantu sesamanya sangat berpotensi untuk dikembangkan lebih jauh. Sayangnya, produk berakad Qardh ini baru sedikit saja dieksplorasi oleh bank syariah. Ini terlihat dari jumlah pembiayaan Qardh yang baru mencapai angka Rp6,8 triliun atau 9 persen dari total pembiayaan bank syariah nasional.
Adapun pendekatan politik yang dapat dikedepankan dalam pengembangan produk perbankan syariah mahzab Indonesia adalah politik pro poor alias keberpihakan kepada masyarakat kecil. Singkat kata, produk bank Islam harus dirancang untuk memberdayakan masyarakat kelas menengah ke bawah, yang memang jadi mayoritas penduduk Indoensia.
Sebenarnya bank syariah sudah menunjukkan ‘politik’ ini dengan lebih banyak menyalurkan pendanaan kepada para pengusaha level Usaha Kecil dan Menengah (UKM). Total 58 persen pembiayaan perbankan syariah dilungsurkan pada UKM dan ‘hanya’ 42 persen yang menjadi jatah korporasi.
Namun, tentu saja untuk membangun bank syariah yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat bukan pekerjaan mudah. Dibutuhkan kerja keras dan komitmen dari berbagai pihak yang berkepentingan membangunnya. Soal ketebatasan kualitas dan kuantitas SDI, misalnya, perlu segera dicarikan solusinya. Kebutuhan SDI yang kompeten ini sudah sangat mendesak. Berdasarkan estimasi sejumlah pengamat, dalam beberapa tahun ke depan diperkirakan kebutuhan SDI nasional mencapai 40 ribu orang.
Untuk menjawab tantangan ini salah satu jalan yang bisa dilakukan adalah mendorong pendirian lembaga-lembaga pendidikan perbankan, baik formal dan informal. Selain itu, perlu juga kiranya dipertimbangkan memasukkan kurikulum ekonomi (perbankan) syariah dalam mata pelajaran di sekolah-sekolah hingga perguruan tinggi. Langkah ini akan mengakselerasi kebutuhan pengetahuan calon SDI untuk menguasai ilmu agama dan perbankan, sebagai dasar utama merancang produk syariah yang kompeten.
Langkah lain yang juga bisa dipertimbankan adalah melakukan standarisasi karyawan dan bankir syariah, antara lain, melalui sertifikasi kompetensi. Dengen demikian ketimpangan pengetahuan SDI antara ilmu keagamaan dan perbankan dapat diminimalisir.
Nah, di sini peran bank sentral, khususnya direktorat perbankan syariah, menjadi kuncinya. Selama ini BI baru melakukan standardisasi kompetensi SDI sebatas pada lembaga bank perkreditan rakyat syariah (BPRS). Itupun hanya untuk level direksi melalui sertifikasi yang dilakukan oleh Certif, sebuah lembaga sertifikasi profesi bankir. Ke depan, untuk membangun SDI syariah yang unggul, sertifikasi kompetensi bankir syariah ini seyogyanya dapat diperluas ke seluruh level karyawan maupun lembaga (BUS dan UUS). SP
*) Dosen SEBI Islamic Economics School
KOMPOSISI PEMBIAYAAN BUS DAN UUS
Berdasarkan Jenis Akad
Keterangan Rp Miliar Persentase
Murabahah 40.877 55,05
Musharakah 14.988 20,19
Mudharabah 8.767 11,81
Qardh 6.721 9,05
Ijarah 2.572 3,46
Istishnah 328 0,44
Berdasarkan Sektor Ekonomi
Lain-lain 27.098 36,49
Jasa dunia usaha 20.210 27,22
Perdagangan, restoran dan hotel 7.689 10,35
Konstruksi 4.680 6,30
Pengangkutan, pergudangan dan komunikasi 3.768 5,07
Jasa sosial masyarakat 3.407 4,59
Perindustrian 2.549 3,43
Pertanian, kehutanan dan sarana pertanian 1.981 2,67
Listrik, gas dan air 1.857 2,50
Pertambangan 1.015 1,37
Berdasarkan Jenis Penggunaan
Modal Kerja 32.771 44,13
Konsumsi 27.112 36,51
Investasi 14.370 19,35
KOMPOSISI DANA PIHAK KETIGA
Deposito Mudharabah 47.435 59,55
Tabungan Mudharabah 1.776 24,83
Giro Wadiah 9.147 11,48
Tabungan Wadiah 3.293 4,13
Keterangan: BUS = Bank Umum Syariah, UUS = Unit Usaha Syariah
Sumber: Statistik Perbankan Syariah BI, Maret 2011





.jpg)










