Aturan baru yang dirilis otoritas salah satunya menitikberatkan pada perlindungan investor. Aturan itu diharapkan menghilangkan pengalaman buruk sebelumnya ketika investor terutama yang ritel selalu berada di posisi terlemah.
Oleh Syarif Fadilah
Kegiatan di pasar modal terlihat sangat bonafid dan mengesankan banyak orang. Citra demikian sudah melekat bertahun-tahun lamanya. Pakaian perlente, transaksi miliaran, dan tentunya keuntungan berlipatganda telah menjadi gambaran umum khalayak terhadap para perlaku bisnis bursa efek. Akan tetapi sayangnya, ketika ada praktik curang dari para pelaku bursa terutama para pengelola dana investasi, mereka lepas tangan yang ujungnya mengorbankan para investor.
Setelah pasar modal mulai banyak digeluti oleh investor-investor ritel seperti yang terlihat belakangan ini, fraud yang pada akhirnya merugikan investor itu tentu diharapkan tidak terjadi lagi. Setidaknya itulah yang diinginkan oleh Otoritas Jasa Keuangan ketika menerbitkan aturan baru soal penyelenggara bisnis di pasar modal. Regulator baru menerbitkan Peraturan OJK (POJK) No. 3/2021 tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Bidang Pasar Modal, menggantikan Peraturan Pemerintah (PP) 45/1995 tentang Penyelenggaraan Kegiatan di Pasar Modal dan mulai berlaku pada 22 Februari 2021.
BERITA TERKAIT
Ya, aturan itu salah satunya memang dimaksudkan untuk meningkatkan perlindungan terhadap konsumen di pasar modal. “Perubahan PP 45 jadi POJK 3 salah satunya ya memang untuk meningkatkan perlindungan investor dan kepercayaan masyarakat. Misalnya untuk perlindungan investor ritel, ada beberapa emiten yang tidak jelas, selama ini itu merugikan investor ritel karena tidak ada jalan keluar. Sahamnya dipegang tapi sudah tidak bernilai,” kata Deputi Komisioner Pengawas Pasar Modal I OJK Djustini Septiana di hadapan wartawan.
Sebelum aturan itu keluar, harus diakui bahwa konsumen kerapkali menjadi pihak akhir dalam soal penggantian uang ketika sebuah perusahaan di pasar modal harus default karena kecurangan atau sebab lain. Dan selama kasus-kasus yang mencuat itu dana-dana investor seringkali menguap begitu saja.
Belakangan, terutama karena didorong pandemi yang memaksa orang untuk lebih banyak berdiam di rumah, investor ritel terus menunjukkan peningkatan. Selama periode 2021 ini jumlah investor retail juga mengalami pertumbuhan signifikan dimana single investor identification (SID) sampai Februari tercatat 4,5 juta atau naik 16,23 persen dibanding 30 Desember 2020 yang 38 juta SID.
Senada dengan pernyataan di atas, CEO Schroders Indonesia, Michael Tjoajadi mengatakan bahwa aturan itu juga bisa menjadi landasan untuk melindungi konsumen di pasar modal. Dengan adanya jutaan investor yang terwakili dalam single investor identification (SID) baru, maka diperlukan aturan Tata Kelola yang Baik. Oleh karena itu kehadiran aturan OJK itu menjadi suatu langkah penting dan baik dari otoritas untuk bisa melindungi investor ritel ini. “Karena kita tentunya tidak ingin investor ritel ini saat masuk ke pasar modal kemudian alami kerugian yang mereka tidak sangka dan melihat bahwa regulator tidak melindungi mereka. Nanti mungkin mereka tidak berani masuk lagi ke investasi,” jelas dia.
Investor juga dilindungi dari praktik-praktik kotor dan licik dari perusahaan-perusahaan yang hanya ingin mengeruk keuntungan sendiri. “Kita bisa lihat banyak perusahaan publik yang dulu kalau mau jadi perusahaan publik begitu mudah kemudian keluar jadi perusahaan privat lagi. Tetapi dengan POJK ini semua sudah diatur, bagaimana perusahaan publik kalau ingin kembali privat sudah dikatakan dalam POJK, mana yang boleh minta menjadi perusahaan tertutup kembali,” kata Michael.
Sementara itu Hoesen, Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal Merangkap Anggota Dewan Komisioner OJK mengatakan bahwa aturan baru itu memang menyebutkan jika ada nasabah atau investor yang dirugiakan maka perusahaan efek atau perusahabn emiten harus membayar ganti rugi nasabah atau investor. “OJK juga akan menerapkan denda karena sudah merugikan investor atau nasabah,” ungkap dia.
Dia menjelaskan, nantinya akan ada disgorgement fund yang merupakan dana pengembalian kerugian investor oleh pelaku pasar yang melanggar ketentuan di pasar modal. Nantinya akan dibentuk lembaga yang akan mengelola dana tersebut.
Pembentukan disgorgement fund berasal dari Securities and Exchange Commision (SCE) di Amerika Serikat (AS). “Secepatnya, saya maunya sekarang. Ini memang sudah setahun lalu dibahas. Jadi OJK tidak bisa mengganti uang investor atau nasabah yang dirugikan, karena tidak memiliki wewenang itu,” imbuh Hoesen.
Sebelumnya pada akhir 2020, OJK juga telah menerbitkan Peraturan tentang Pengembalian Keuntungan Tidak Sah dan Dana Kompensasi Kerugian Investor di Bidang Pasar Modal. Aturan itu terdaftar dengan nomor Peraturan OJK (POJK) nomor 65 tahun 2020.
Dengan POJK tersebut, investor di pasar modal atau bursa yang dirugikan karena adanya pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal dapat dikembalikan dananya.
Setelah lansirnya dua aturan itu investor diharapkan akan lebih tenang dalam berinvestasi karena lebih terlindungi. Investor akan memperoleh dana kompensasi kerugian (disgorgement fund) yang dialaminya dengan mekanisme pengembalian keuntungan tidak sah oleh pihak yang melanggar peraturan perundang-undangan pasar modal itu. Pasalnya, jika ada seseorang yang melanggar aturan pasar modal dan tetap memperoleh keuntungan, maka keuntungan itu tidaklah sah secara hukum.
Otoritas juga akan mengumumkan pengenaan pengembalian keuntungan tidak sah kepada publik melalui situs resminya atau media massa. Pengumuman tersebut juga akan mencantumkan pelanggaran apa saja yang dilakukan oleh pihak yang melanggar aturan pasar modal, waktu dan ringkasan pelanggaran, serta jumlah pengembalian keuntungan tidak sah seperti yang tertuang dalam pasal 3 POJK tersebut.
Hoesen mengatakan, OJK sebenarnya sudah melakukan pengawasan maksimal atas perusahaan efek di tahun 2019, bahkan di tahun 2018 ada lagi banyak perusahaan efek yang dikenakan sanksi. “Tahun ini ada sekitar 40 perusahaan efek yang akan OJK periksa,” kata dia.
Regulator seolah ingin meyakinkan kepada masyarakat bahwa pengawasan yang dilakukan OJK terkait dengan belum adanya infrastruktur yang harus dibuat agar pengawasan bisa maksimal. Maka, sejak tahun 2017 lalu, OJK tengah melalukan transformasi di pasar. “Saat saya masuk tahun 2017 di OJK, saya melakukan transformasi ekosistem, saya ibaratkan, kolam ini kotor tapi kita berenang di sana, saya perbaiki bisnis prosesnya,” ujar Hoesen.
Maka, ada beberapa infrastruktur yang dibangun guna membuat kolam ini menjadi bersih. Yakni, emiten tidak perlu lagi mengantarkan annual report dengan print out, emiten bisa melakukan submit dengan sistem yang sudah dibuat. “Sekarang ada 700 emiten, setiap emiten memberikan laporan keuangannya, saya harus baca, takut ada yang penting, sistemnya dibuat mudah sekarang,” imbuh dia.
Lalu, Hoesen mengatakan OJK akan membuat aturan soal MTN. Peraturan itu dibuat karena selama ini emiten yang menerbitkan medium term notes (MTN) tidak melalui OJK. “Mereka menerbitkan sendiri saja, tidak ada yang mengawasi. Biasanya mereka itu bermain di tenor,” kata dia.
Sebagai contoh, Hoesen menerangkan bahwa kasus Duniatex terkait erat dengan penerbitkan MTN. “Seolah olah kan private placement, padahal MTN,” tuturnya. Dia menyatakan bahwa penerbit MTN juga tidak jelas selama ini, bisa saja itu holding dari emiten yang pembukuannya tidak diketahui OJK. “Nanti penerbitan MTN harus melalui OJK, kami monitoring, yang jadi masalah memang yang menerbitkan holding emiten karena kan tidak ada dalam pembukuan, Juni 2020 akan diterbitkan aturannya,” ujar dia.
Hoesen menjelaskan, nantinya qualified investor bisa masuk ke beberapa instrumen MTN. Lalu, OJK juga akan membuat aturan soal ujian profesi pasar modal. Isi peraturan tersebut bisa melakukan ujian dengan via online. “Kalau harus ke Jakarta ongkosnya mahal, sudah gitu tidak lulus. Sebaiknya di daerah masing-masing saja,” kata dia.





.jpg)










