Industri perbankan merupakan urat nadi perekonomian. Layaknya sistem peredaran darah, bank berperan sebagai darah yang akan mendistribusikan berbagai nutrisi dan oksigen yang diperlukan tubuh untuk bergerak. Nutrisi dan oksigen tersebut akan membuat organ-organ bekerja dalam metabolismenya. Tak cuma itu, darah juga akan membawa kembali sisa yang dihasilkan dari proses metabolisme untuk diproses kembali dalam jantung.
Bank pun seperti itu. Dalam menjalankan fungsinya, bank menghimpun dana dari pihak yang kelebihan dana untuk kemudian menyalurkannya pada pihak-pihak yang membutuhkan. Itulah yang disebut fungsi intermediasi bagi perbankan.
Keberadaan bank seharusnya membuat aliran dana dalam masyarakat menjadi begitu mudah ke arah sektor riil yang membutuhkan. Dengan begitu sektor riil pun menggeliat dan menggerakan perekonomian.
BERITA TERKAIT
Namun apa yang terjadi di Indonesia tidak semulus cerita peredaran darah di atas. Di sini, pertumbuhan penyaluran kredit bank seperti juga profitnya memang selalu fantastis dari tahun ke tahun. Namun ketika dihadapkan pada pertanyaan apakah kredit itu memberi dorongan maksimal pada pertumbuhan ekonomi Indonesia, jawabannya tidak begitu menggembirakan.
Rasio antara kredit dan produk domestik bruto (PDB), salah satu parameter yang menggambarkan kontribusi kredit bank terhadap pembangunan ekonomi, sampai saat ini angkanya tidak pernah tembus 30 persen. Padahal di negara-negara tetangga rasio itu sudah melewati 100 persen.
Apa yang menjadi penyebabnya? Salah satu yang paling dominan dan sering disebut oleh para ekonom adalah peran kredit bank terhadap pembiayaan perusahaan-perusahaan yang masih minim. Sebaliknya, perbankan masih lebih senang menyalurkan kredit ke sektorsektor konsumtif yang daya dorongnya terhadap pertumbuhan ekonomi minim.
Penyaluran kredit perbankan yang selalu tumbuh rata-rata di atas 20 persen dalam lima tahun terakhir dirasa belum optimal karena pertumbuhan ekonomi hanya naik berkisar di angka 6 persen. Berdasarkan riset dari Pusat Data dan Analisis Stabilitas (PDAS), terdapat tiga sektor yang menjadi motor pertumbuhan ekonomi. Sektor-sektor itu yakni sektor industri pengolahan; sektor perdagangan, hotel, & restoran; dan sektor Pengangkutan & komunikasi.
Kontribusi sektor-sektor tersebut masing-masing sebesar 1,23 persen, 1,18 persen, dan 1,10 persen pertahun. Namun sektor yang menerima kredit terbanyak dalam lima tahun terakhir adalah sektor perdagangan, restoran, dan hotel dengan porsi rata-rata 20,02 persen dari total kredit pertahun. Selanjutnya adalah sektor industri pengolahan (15,84 persen) dan sektor jasa dunia usaha (10,55 persen). Sementara sektor yang mengalami akselerasi tertinggi adalah sektor listrik, gas, dan air bersih dengan pertahun, disusul sektor pertambangan (45,65 persen), dan sektor jasa sosial/ masyarakat (45,52 persen).
PDAS juga menemukan berdasarkan penyaluran kredit pada sektor-sektor usaha, Bank Mandiri menjadi bank dengan sumbangan ke pertumbuhan ekonomi yang terbesar di banding bank lainnya yang menjadi obyek dalam riset (tabel 1). Namun khusus untuk penyaluran kredit sepanjang tahun 2011, BTN menjadi bank penyalur kredit terbesar untuk sektor yang terbesar menyumbang kepada pertumbuhan yaitu sektor Pengangkutan dan Komunikasi.
Peran BI
Bank Indonesia tentu juga sangat sadar bahwa potensi kredit Tanah Air masih bisa ditingkatkan lagi. Oleh karena itu, dalam enam tahun terakhir, BI terlihat sangat rajin melahirkan berbagai kebijakan yang bertujuan membangkitkan sektor riil dengan mendorong intermediasi perbankan. Di antaranya adalah relaksasi atau pelonggaran batas minimum pemberian kredit (BMPK) terutama dilakukan terhadap batasan-batasan pihak terkait dalam satu konglomerasi.
Aturan berikutnya adalah regulasi BI yang menetapkan Giro Wajib Minimum (GWM) berbasis kinerja kredit dibanding dana simpanan atau LDR. GWM primer perbankan dinaikan dari 3 persen menjadi 8 persen, dengan tingkat LDR ideal di kisaran 78 persen hingga 100 persen. Dengana aturan ini, perbankan dituntut meningkatkan ekspansi pemberian kredit kendati di sisi lain, akan menambah beban dengan setoran giro. Sementara itu bank-bank yang mempunyai LDR di bawah kisaran itu akan dikenakan penalti penambahan GWM 0,1 persen dari kekurangan setiap 1 persen. Sebulan kemudian, BI kembali merilis aturan yang mewajibkan perbankan mengumumkan tingkat suku bunga dasar kredit (SBDK). Berlaku efektif mulai 1 April 2011 lalu, bank-bank dengan total aset di atas Rp10 triliun (sebanyak 44 bank) diwajibkan mengumumkan besaran SBDK atau prime lending rate melalui laman resminya, media cetak dan papan pengumuman di setiap bank.
Bahkan tahun ini, BI menggulir inklusi
keuangan (ï¬nancial inclusion) untuk
makin memperluas akses masyarakat pada
perbankan. “Melalui ï¬nancial inclusion ini
bisa memperbaiki akses kredit ke lembaga
keuangan,” kata Deputi Gubernur BI
Muliaman D. Hadad.
Menurut data Bank Dunia pada 2010,
rasio kredit terhadap GDP Indonesia
masih sebesar 26,9 persen, jauh di bawah
negara-negara sekawasan macam Malaysia
dan Singapura yang sebesar 113,2 persen
dan 213,4 persen. “Dengan rasio kredit
terhadap GDP kita yang masih rendah
berkisar 26-30 persen, ini peluang tumbuh
masih sangat besar. Di malaysia sudah
lebih dari 100 persen, jadi peranan kredit
sangat besar,” ujar Muliaman.
Bank sentral mendorong pembukaan
akses keuangan terhadap masyarakat
yang belum menerima akses perbankan,
khususnya dalam pembiayaan. Sehingga
bisa meningkatkan kapasitas ekonominya.
Hal pertama yang dilakukan BI adalah
dengan berupaya mendorong penetrasi
jumlah tabungan, untuk mendekatkan
masyarakat dengan lembaga keuangan.
“Nah, dengan PDB perkapita kita yang
masih akan meningkat ini, potensinya
masih akan besar,” ucap Muliaman.
Masih dari data Bank Dunia, rasio
simpanan terhadap PDB Indonesia masih
sebesar 36,9 persen, sementara di Malaysia
dan Singapura tercatat sebesar 105,5
persen dan 280,9 persen. Dari sisi jumlah
rekening simpanan per 1.000 penduduk
dewasa, di Indonesia tercatat baru
sebanyak 504,7 rekening, sementara di
Malaysia dan Singapura sebanyak 2.063,3
rekening dan 2.236,3 rekening.
“Jadi, kredit lebih terbuka kalau
akses dan eligibilitas semakin baik, nah
ini bisa menaikkan rasio kredit to GDP.
Ini makanya perlu ada perluasan ak ses
terhadap masyarakat yang belum menerima
akses kredit,” terang Muliaman.SP