Meski beberapa BPD usianya sudah di atas 50 tahun, namun soal kinerja, rata-rata belum juga menunjukkan prestasi yang spesial. Apa yang harus dilakukan BPD?
Oleh : Ainur Rahman
Age is an issue of mind over matter. If you don’t mind, it doesn’t matter.” Mark Twain. Kata-kata sastrawan dan juga penulis dari AS mungkin tidak pernah mengilhami para pengelola bank pembangunan daerah selama ini. Namun apa yang telah dilewati oleh bank-bank milik pemerintah daerah itu tampaknya begitu mirip dengan apa yang dituliskan oleh Mark Twain.
Ya, saat ini dari 26 bank pembangunan daerah (BPD) yang ada, beberapa di antaranya sudah memasuki masa golden age atau usia emas. Sebut saja, Bank DKI Jakarta, Bank Sumut, Bank BJB, Bank DIY, Bank Jatim, Bank Maluku dan Bank Sumsel Babel. Sejatinya, dengan melewati usia 50 tahun, deretan bank tersebut sudah bisa berbicara banyak dalam persaingan di industri perbankan, setidaknya di daerahnya masing-masing.
Namun kenyataannya jauh panggang dari api. Sejumlah BPD itu masih kesulitan untuk bisa menjadi tuan rumah di kampung halamannya sendiri. Tak heran kinerjanya hingga kini masih melempem, padahal BPD diharapkan sebagai motor penggerak pembangunan di daerahnya sesuai dengan namanya.
Pengamat perbankan dari Vibiz Consulting, Alfred Pakasi mengatakan bahwa lambannya pertumbuhan bisnis BPD selama ini disebabkan bank-bank itu cukup lama terlena dengan captive market yang ada seperti dana pensiunan pegawai dan kas pemerintah daerah yang diparkir di BPD. Ibarat kata, meskipun kerjanya santai saja, dana akan masuk terus dari pemerintah daerah dan kredit akan terus diminta seperti kredit untuk pensiunan. “Itulah yang menyebabkan BPD tidak cepat bertumbuh,” katanya.
Berdasarkan riset dari Pusat Data dan Analisis Stabilitas (PDAS), dalam lima tahun sejak 2000 pertumbuhan aset BPD mencapai 124,7 persen dengan pertumbuhan per tahun sebesar 18,6 persen. Jumlah itu masih lebih bagus ketimbang bank persero, bank asing dan bank devisa.
Meski begitu dari sisi modal, kebanyakan bank daerah pelat merah ini masih kalah jauh dibanding bank-bank umum lainnya. Hingga akhir 2010 modal disetor BPD total sebesar Rp13,2 triliun. Jumlah tersebut terbilang masih semenjana mengingat hanya sebesar 12,5 persen dari total modal disetor bank umum. Sementara jika dilihat dari total keseluruhan komponen modal, modal BPD hanya 8,5 persen dari total modal bank umum.
Itulah yang membuat Bank Indonesia merancang program big push buat BPD agar kinerjanya bisa lebih kinclong dalam beberapa tahun ke depan. Akhir tahun 2010, bank sentral meluncurkan inisiatif program BPD Regional Champion untuk memperkuat BPD sekaligus menjadi penguasa di daerahnya masing-masing.
Ada tiga hal yang ditekankan dalam program tersebut, pertama adalah membentuk BPD yang kokoh dengan modal yang kuat, profitabilitas yang memadai dan efisiensi yang meningkat. Kedua, memperkuat posisi BPD sebagai agen pembangunan dengan cara memperbesar pembiayaan produktif serta usaha kecil menengah. The last but not least adalah meningkatkan kemampuan melayani kebutuhan masyarakat daerah.
Program tersebut tak pelak akan memaksa BPD untuk memperbaiki diri dalam mengarungi persaingan industri. Persaingan selama ini dianggap menjadi kata yang tak pernah bisa dipenuhi oleh bank-bank milik pemda tersebut.
Menurut Alfred yang juga Chief Executive Officer (CEO) dari Vibiz Consulting, persoalan modal memang menjadi batu sandungan bagi BPD-BPD untuk memenuhinya. Padahal dalam industri keuangan, faktor tersebut adalah yang utama jika ingin pertumbuhannya bisa terus merangkak bahkan melesat.
Selain masalah modal, BPD kata dia juga didera oleh kondisi minimnya inovasi dan terobosan bisnis dari para pengelola. Dalam persaingan yang super ketat dalam bisnis perbankan saat ini faktor pembeda menjadi sangat penting. “Orang akan bilang bahwa bank ini berbeda dari yang lain, itu yang membuat orang akan datang,” jelas Alfred.
BPD juga harus membereskan masalah dalam hal brand awarness yang lemah, kualitas pelayanan yang rendah, kualitas dan kompetesni SDM yang belum sesuai standar pasar, dan inovasi produk yang masih terbatas, jaringan layanan yang minim. Belum lagi problem belum optimalnya strategi partnership, rendahnya struktur pendanaan masyarakat, portofolio kredit produktif yang rendah dan sistem teknologi informasi yang terbatas. Itulah sederet masalah yang hingga dua tahun sejak program bank sentral diluncurkan masih belum menunjukkan perbaikan berarti.
Mantra Perubahan
Maka dari itu, untuk mengurai semua masalah sekaligus bisa menjadi bank yang diperhitungkan tak bisa tidak BPD harus berbenah mengejar ketertinggalannya dari bank lain. Menurut Direktur Utama Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LPPI) Subarjo Joyosumarto, ada rumus yang bisa diterapkan oleh BPD yaitu melakukan perubahan sesuai dengan perubahan dan perkembangan di industri. Singkatnya, BPD harus cepat belajar mengikuti perubahan.
Jika perubahan di industri adalah C (change) dan pembelajaran adalah L (learning), maka menurut Subarjo, sebuah bank harus mengupayakan agar daya penyesuaian yang diwakilkan dengan learning lebih besar dari change. “Supaya bank itu bisa besar dan tumbuh maka L harus lebih besar dari C,” kata dia.
Bank yang hanya bisa bertahan kata Subarjo, biasanya adalah bank yang daya penyesuaiannya sama dengan perubahan yang terjadi. Sedangkan bank yang memiliki L lebih rendah dari C, biasanya akan segera kolaps.
Jadi tidaklah berlebihan jika disimpulkan bahwa selama ini daya penyesuaian BPD terhadap perubahan hanya setara dengan perubahan itu sendiri. BPD kurang inovatif dalam mengeluarkan produk sesuai keinginan pasar yang membuat perkembangannya biasa-biasa saja. Itulah yang mengakibatkan, meski sudah berumur lebih dari 50 tahun, prestasi BPD-BPD hingga kini terbilang tak istimewa.
Meski begitu tidak semua bank daerah memiliki kinerja kurang menggembirakan. Bank Jabar Banten adalah satu contoh bank daerah yang prestasinya melesat sejak mencatatkan namanya di papan bursa efek pada Juli 2010. Sejak itu, bank tersebut mengalami peningkatan ekuitas hingga 50 persen dan modalnya pun mengalami peningkatan.
Tidaklah mengherankan jika bank-bank lain pun sudah menyiapkan diri untuk menerapkan strategi yang sama dengan Bank Jabar Banten dengan melakukan penawaran saham perdana di bursa. Beberapa di antaranya adalah Bank Nagari, Bank Sumut, Bank Sulut, dan Bank Jatim yang dikabarkan akan listing tahun ini.
Dengan melantai di bursa, BPD juga dinilai akan mendorong transformasi, tidak hanya di level manajemen, tetapi juga pemilik. Dengan IPO, menurut Sunarsip dari The Indonesia Economic Intelligence (IEI), BPD akan lebih transparan, akuntabel, sehingga pengelolaannya pun dituntut lebih bertanggung jawab sehingga bisa meningkatkan kinerja BPD. Jika kinerja BPD meningkat, hal itu akan berimbas pada meningkatnya kontribusi bank tersebut pada daerah, baik kontribusi keuangan maupun kontribusi ekonomi.
Ya, menjadi perusahaan publik bisa jadi salah satu cara agar BPD bisa lebih diperhitungkan setidaknya oleh nasabah-nasabah di daerah yang selama ini lebih memilih menggunakan “bank dari pusat”. Sebagai perusahaan dalam industri yang padat modal, menjadi anggota bursa adalah pilihan jitu agar upaya mencari dana untuk memperkuat modal bisa lebih mudah.
Selain itu, prinsip-prinsip seperti transparansi, akuntabilitas, dan good corporate governance (GCG) yang merupakan prinsip-prinsip dasar perusahaan terbuka akan segera menjadi praktik lumrah di BPD. Selama ini prinsip-prinsip itu praktis hanya menjadi penghias visi dan misi BPD tanpa benar-benar diterapkan di lapangan.
Dan ke depan, usia emas bukanlah lagi sebuah angka yang tanpa makna, atau hanya ada di pikiran saja –seperti kata Mark Twain. Akan tetapi usia emas BPD itu sudah mewujud pada kinerja “emas”. SP