BERITA TERKAIT
Pasca menerima belasan penghargaan w lalu, Kementerian Pariwisata bersama Tim Percepatan dan Pengembangan Pariwisata orld Halal Tourism Awards akhir tahun Halal (TP3H) di Indonesia terus berbenah. Setidaknya ada 15 aspek yang masih menjadi perhatian pemerintah terkait pengembangan wisata halal, mulai dari pelayanan bandara, hotel, resort pantai, hingga destinasi kuliner dan budaya.
Lalu ada juga beberapa hal yang perlu ditingkatkan seperti masalah pendanaan untuk memperbaiki fasilitas yang ditawarkan wisata halal tersebut. Hal itu sangat krusial seopeorti yang bisa dilihat ketika Garuda Indonesia yang menerima World’s Best Airline for Halal Travellers 2016 memanfaatkan pendanaan dari sukuk.
Namun satu hal yang paling mendasar yang perlu dipertahankan dan dijaga pelaksanaannya, sebagaimana disampaikan dalam seminar nasional industri halal di STEI SEBI bulan lalu, adalah terkait implementasi unsur halal di dalamnya.
Kehalalan Harus Dijaga
Menjalankan gaya hidup halal (halal lifestyle) berarti memastikan segala aktivitas sesuai dengan arahan ajaran Islam. Bukan hanya dalam hal ibadah tapi juga sikap dan perilaku, busana, makanan, keuangan, termasuk pariwisata. Karena ajaran Islam seharusnya dipahami dengan benar, diyakini dan diamalkan oleh setiap lapisan masyarakat muslim sebagai individu, entitas, maupun pemerintah sebagaimana diinginkan dalam tujuan (maqashid syariah).
Secara garis besar, hukum asal dalam kegiatan sosial umat Islam (muamalah) adalah boleh selama bermanfaat dan bukan sesuatu yang berbahaya. Bahkan adat dipersilahkan untuk mempunyai peran penting dalam implementasi muamalah tersebut jika dibutuhkan.
Dalam hal ini Dewan Syariah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (MUI) berperan untuk memberikan saran dan rekomendasi dalam menyusun produk yang sesuai dengan tuntunan syariah tersebut. Dengan menggunakan landasan fkih moderat (fqh washathiyyah) dan ijtihad kolektif (ijtihad jama’i), yang dapat diadopsi oleh regulator. Sehingga mengikat industri dengan tetap mendapat pengawalan oleh pemerintah dalam pelaksanaannya. DSN berwenang untuk mengeluarkan fatwa yang mengikat Dewan Pengawas Syariah (DPS) dari masingmasing entitas yang melaksanaan atau mengeluarkan produk syariah.
Kemudian mengeluarkan fatwa yang menjadi landasan bagi ketentuan atau peraturan yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang. Serta memberikan rekomendasi dan/atau mencabut rekomendasi DPS bila dianggap perlu.
Saat ini, dalam kerangka menjaga implementasi syariah di Indonesia, DSN selama 15 tahun telah menerbitkan 95 fatwa. Meliputi fatwa tentang pelaksanaan kegiatan pada lembaga keuangan syariah, termasuk terkait persoalan akuntansi dan pembiayaannya.
Serta 44 opini untuk lembaga otoritatif terkait seperti Kementrian, Bank Indonesia, juga Dewan Standar Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) maupun industri iterkait. Di mana fatwa dan opini ini, ditujukan sebagai bentuk dukungan dan kerjasama DSN MUI dengan para pemegang kepentingan (stakeholder) untuk mensukseskan implementasi syariah di Indonesia. Fatwa dan opini tersebut dihasilkan dengan pertimbangan mendalam.
Dengan memperhatikan madrasah (ittijah) fatwa, di antaranya al-madrasah al-mu’atthilah li an-Nushush yang melihat alas an maslahat sebagai dasar utama. Misalnya, fatwa yang membolehkan praktik ba’i al-‘inah karena dianggap bisa menarik banyak dana segar dengan pinjaman berbunga. Kemudian, al-madrasah adzDhahiriyah yang mengacu pada dzahir nash dan penjelasan ijtihad para ulama salaf. Seperti berdalil dengan pandapat asy-syaf’iyah meskipun jika ditelaah beliau hanya membolehkan ba’i al-‘inah tanpa kesepakatan (tawathu’). Juga almadrasah al-wasathiyah (moderat). Di mana ijtihadnya mempertimbangkan antara nash yang parsial dan maqashid yang bersifat umum.
Namun, karena cara pandang pertama terlalu maslahat oriented dan cara pandang kedua sangat teks-nash oriented. Seolah nash dan kepentingan pasar tidak pernah bertemu. Seakan akan komitmen dengan nash-nash syariah itu berarti meninggalkan kepentingan industi. Maka alternatif yang dianggap paling cocok untuk diterapkan di Indonesia agar sector pariwisata halalnya lebih berkembang adalah madrasah wasathiyah.
Dalam hal ini, implementasi pengawalan unsure kehalalannya dapat meliputi tahapan penyusunan fatwa dan sinergi dengan regulator sebagai berikut: pertama, regulator/industri meminta fatwa kepada DSN; kemudian kedua, DSN melakukan diskusi (hearing) dengan industri; serta ketiga, membentuk tim untuk membuat kajian dan naskah akademisnya. Selanjutnya keempat, DSN mengadakan workshop dengan pula mengundang para ahli. Dan kelima, menyusun fatwa dan diajukan di pleno DSN; untuk kemudian terakhir, diserahkan ke regulator sebagai bahan draf regulasi.
Dengan serangkaian upaya penjagaan unsur halal tersebut, diharapkan wisatawan baik asing maupun domestik tidak ragu lagi untuk datang berkunjung ke Indonesia. Sebab dari awal persiapan produk dan jasa layanannya, telah dengan sangat apik dipersiapkan dan sesuai dengan syariah oleh pengawalan ketat Dewan Syariah Nasional MUI.





.jpg)









