Perbankan syariah memiliki kesempatan untuk makin berperan dalam pembangunan ekonomi seiring hadirnya obligasi syariah negara berbasis proyek. Namun instrumen tersebut juga memiliki fungsi lain. Apa saja?
Oleh : Yudi Rachman
Perbankan syariah selama ini mengaku lebih dekat dengan sektor riil karena sistem pembiayaannya berbeda dengan bank-bank konvensional, namun ternyata hal itu belum cukup. Bank yang tidak menggunakan sistem bunga dalam pemberian pinjaman ini dianggap belum banyak berkontribusi kepada negara, terutama dalam menyokong anggaran.
Anggapan tersebut sebenarnya tidak berlebihan jika melihat dana-dana bank syariah yang tidak terpakai (idle) hanya ditempatkan pada Sertifikat Bank Indonesia Syariah selain Fasilitas Simpanan BI (FaSBI) syariah. Instrumen moneter yang disingkat SBIS memang menjadi satu-satunya wadah buat bank syariah buat menempatkan dana-dananya yang berlebih. Di lain pihak, bank-bank konvensional memiliki SBI, FaSBI, Repo, Term Deposit dan Standing Facility.
Meski demikian, duit yang disimpan dalam fasilitas moneter untuk perbankan syariah ini dinilai hanya menjadi dana “mati” yang tidak memiliki peran bagi perekonomian secara langsung. Untuk itu otoritas terus mencari cara agar bank syariah memiliki kontribusi nyata kepada anggaran negara melalui pembelian obligasi negara. Selama ini bank syariah memang tidak dibolehkan untuk menempatkan dana pada obligasi negara, kendati itu obligasi jenis syariah karena belum adanya aturan yang membolehkan.
Namun hal itu mungkin tidak akan berlangsung lebih lama lagi. Pasalnya BI tengah menyiapkan seperangkat aturan agar bank syariah bisa membeli obligasi syariah milik negara atau biasa disebut Surat Berharga Syariah Negara (SBSN).
“BI tengah mengupayakan hal tersebut secara bertahap. Karena memang tidak bisa dilakukan secara sekaligus, karena harus mempertimbangkan perkembangan transaksi antar pelaku pasar,” kata Analis Ekonomi Madya Direktorat Pengelolaan Moneter BI Erwin Gunawan Hutapea.
Nantinya jika aturan sudah terbit maka bank syariah bisa menempatkan likuiditasnya pada SBSN dan transaksi dengan bank sentral merupakan langkah terakhir apabila industri tidak menemukan mitra di pasar.
Dengan menggunakan SBSN termasuk juga Surat Pembendaharaan Negara (SPN) syariah yang bertenor pendek dalam pengelolaan likuiditas, maka perbankan syariah bisa turut berkontribusi terhadap anggaran negara. “Dana yang ditempatkan di SBIS dan FASBI Syariah hanya akan menjadi dana mengambang dan sulit untuk disalurkan,” lanjut Erwin.
Lagi pula transaksi pasar sekunder SBSN akan lebih terbuka dan ramai dibanding SBIS karena instrumen tersebut memiliki aset penjamin (underlying asset) sementara SBIS tidak.
Berdasarkan catatan Bank Indonesia sepanjang 2010, industri perbankan syariah lebih memilih menempatkan kelebihan dananya pada (FaSBIS). Instrumen penyerapan likuiditas dengan jangka waktu pendek itu memegang porsi 65 persen terhadap total posisi instrumen Operasi Moneter Syariah (OSM). Sisanya, ditempatkan di Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS).
Obligasi Berbasis Proyek
Kemungkinan meningkatnya kontribusi bank syariah terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) akan lebih terbuka di saat pemerintah meluncurkan SBSN berbasis proyek untuk pertama kalinya. SBSN yang disebut juga sukuk negara berbasis proyek (Project Based Sukuk/ PBS) memang yang pertama karena memang underlying asset-nya berupa proyek.
Sedangkan penerbitan SBSN sebelumnya seperti yang berseri IFR dan SPN-S masih menggunakan aset-aset gedung dan aset tetap lainnya sebagai underlying asset. Sementara, penerbitan seri PBS menggunakan proyek atau kegiatan dalam APBN yang telah mendapat persetujuan DPR.
Direktur Pembiayaan Syariah Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang (DJPU) Kementerian Keuangan Dahlan Siamat mengatakan, penerbitan SBSN merupakan salah satu upaya pemerintah meningkatkan kontribusi SBSN terhadap APBN. Ia menjelaskan, kontribusi sukuk masih sangat minim dalam APBN. Porsinya sekitar Rp 40 triliun, masih semenjana jika dibandingkan dengan jumlah surat utang negara (SUN) yang sudah berkontribusi ratusan triliun.
”Karena itulah, kami akan berusaha menggenjot porsi sukuk untuk pembiayaan APBN,” tambah Dahlan.
Obligasi syariah dalam terminologi ekonomi disebut juga sukuk. Istilah ini merujuk pada bentuk jamak bahasa Arab dari kata ‘sak’ atau sertifikat. Secara singkat AAOIFI (Accounting and Auditing Organization for Islamic and Financial Institutions) mendefinisikan sukuk sebagai sertifikat bernilai sama yang merupakan bukti kepemilikan yang tidak dibagikan atas suatu aset, hak manfaat, dan jasa-jasa atau kepemilikan atas proyek atau kegiatan investasi tertentu.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 Tentang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN), Sukuk Negara adalah surat berharga negara yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah, sebagai bukti atas bagian penyertaan terhadap Aset SBSN, baik dalam mata uang rupiah maupun valuta asing.
Kepala Biro Humas Kementerian Keuangan menjelaskan, berdasarkan ketentuan Pasal 4 UU Nomor 19/2008 tentang SBSN, tujuan penerbitan SBSN adalah untuk membiayai APBN termasuk pembiayaan proyek. “Dan SBSN ini menggunakan skema Ijarah Asset to be Leased,” kata keterangan itu.
Sedangkan yang dimaksud dengan proyek yang dapat digunakan sebagai dasar penerbitan SBSN adalah proyek yang telah mendapat alokasi dalam APBN, dibiayai melalui belanja modal rupiah murni dan telah mendapat persetujuan DPR. Jenis proyeknya meliputi proyek pembangunan dan pengadaan. Dan proyek itu bisa sedang atau yang akan dilaksanakan. Tentunya, masih ada persyaratan lain, yakni telah tercatat dalam Daftar Proyek, tidak bertentangan dengan prinsip syariah, dan tidak sedang digunakan sebagai aset SBSN lain.
Ketentuan Underlying asset tersebut sudah sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 129/PMK.08/2011. Dalam aturan itu menyebutkan, proyek yang dibangun oleh pemerintah dapat menjadi underlying asset penerbitan SBSN. Oleh karena itu, Kementerian Keuangan berhak meminta laporan perkembangan pelaksanaan proyek kepada Kementerian/Lembaga yang mencakup, perkembangan pencapaian pelaksanaan fisik proyek, dan perkembangan realisasi penyerapan dana. Termasuk dapat melakukan monitoring dan evaluasi atas pelaksanaan proyek yang dijadikan dasar penerbitan SBSN.
Respons Positif
PBS yang dilelang perdana bulan lalu adalah seri PBS-0001 (new issuance) dan PBS-0002 (new issuance) dengan jumlah penawaran Rp 2 triliun sampai Rp 3 triliun. Lelang PBS yang digunakan untuk proyek-proyek infrastruktur itu dinilai mendapatkan responsi positif dari investor.
Menurut analis obligasi PT Mega Capital Indonesia, Ariawan, lelang perdagangan dua SBSN wajar saja jika banyak diburu investor. ”Potensi permintaan masih cukup bagus, karena pasar SUN saat pelelangan itu dilakukan sedang bernilai positif,” ujarnya.
Hal senada juga diungkapkan analis obligasi PT Trimegah Securities Tbk Imam MS, ia berpendapat pergerakan pasar saham dan obligasi negara yang relatif stabil merupakan salah satu faktor tingginya permintaan terhadap SBSN berbasis proyek tersebut.
PBS sendiri merupakan produk baru sukuk. Sebelumnya telah ada IFR, sukuk ritel, SNI atau sukuk global, dan SPN-S atau T-Bills islami yang masuk dalam kategori BMN berbasis Sukuk. Sementara, yang termasuk service based sukuk adalah Sukuk Dana Haji Indonesia (SDHI).
Menurut Dahlan Siamat, dengan adanya diversifikasi sukuk akan membuka ruang bagi pemerintah untuk melakukan identifikasi pendapatan dalam upaya mengurangi defisit. “Diversifikasi ini juga mendorong sektor riil agar dapat mengakselerasi pertumbuhan, dan membuat pasar keuangan syariah beragam,” pungkas Dahlan. SP