Segmentasi pasar dengan mengincar kelas menengah makin banyak diadopsi oleh perbankan. Meski demikian strategi ini juga memiliki kelemahan di samping manfaat yang tidak sedikit bagi bank.
Oleh : Lila Intana
Kini bank-bank di Indonesia makin selektif memilih target nasabah. Strategi itu dilakukan untuk mengoptimalkan target pemasaran dan mendatangkan pendapatan sekaligus mendongkrak kinerja bank. Fokus dalam membidik golongan nasabah tertentu ini biasa disebut segmentasi pasar. Kesamaan jenis nasabah yang dikelompokkan bank bisa berasal dari umur, lokasi, pendapatan maupun keinginan.
Siapakah golongan menengah ini? Menurut Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia, diketahui kelas menengah terbagi empat kelas. Pertama, pendapatan per bulan Rp1 juta-1,5 juta; kedua, pendapatan Rp1,5 juta-2,6 juta; ketiga, pendapatan Rp2,6 juta-5,2 juta serta golongan berpendapatan Rp5,2 juta-6 juta.
Sementara menurut Lembaga Marketing Frontier mereka membagi segmen menengah dari pengeluarannya. Golongan pertama (Social Economy Status/ SES A) adalah keluarga yang berpengeluaran mencapai Rp 3 juta atau lebih. Sedang kedua atau SES B adalah keluarga yang berpengeluaran antara Rp 1,8 juta–3 juta. Kemudian SES C adalah kelompok pengeluaran Rp 1 juta–1,8 juta, dan seterusnya.
Jumlah masyarakat yang tergolong kelas menengah selalu meningkat dari tahun ke tahun. Berdasarkan data Bank Dunia, pada 2003 jumlah kelas menengah di Indonesia hanya 37,7 persen dari populasi, namun pada 2010 kelas menengah Indonesia mencapai 134 juta jiwa atau 56,5 persen.
Nah, besarnya potensi nasabah di Indonesia membuat perbankan tak perlu berpikir terlalu panjang untuk mengaplikasikan strategi segmentasi pasar. Seperti yang dilakukan oleh salah satu bank asing, Bank Commonwealth baru-baru ini. Bank asal Australia ini terang-terangan akan memfokuskan bidikannya pada nasabah kelas menengah.
“ Indonesia adalah pasar yang paling penting bagi Commonwealth Bank of Australia. Untuk itu, kami akan melakukan penetrasi ke pasar kelas menengah yang tumbuh sangat pesat,” ujar Tony Costa, Direktur Utama Bank Commonwealth Indonesia.
Bahkan dengan mengantungi penelitian dari Bank Dunia yang menyimpulkan bahwa kelas menengah Indonesia berpotensi menjadi yang terbesar di dunia dengan pertumbuhan sekitar 7 persen per tahun, Commonwealth makin yakin akan keputusannya itu.
Untuk itu, bulan lalu, bank yang hadir di Indonesia sejak 1997 ini meluncurkan berbagai produk ritel baru dalam bingkai layanan CommWay. Di dalamnya terdapat layanan dan produk seperti tabungan, investasi, asuransi jiwa, asuransi kesehatan, hingga kredit kepemilikan rakyat (KPR) multiguna yang kesemuanya ditujukan untuk kelas menengah.
Meski demikian Commonwealth bukanlah satu-satunya bank yang mengincar pasar kelas menengah di Indonesia dan lagi layanan yang baru diluncurkan juga terlihat sama dengan yang dimiliki oleh bank-bank lain baik lokal maupun asing.“Kita akan unggul dalam hal akses,” kata Executive Vice President, Head of Product Rian E Kaslan.
Untuk memenangkan persaingan pula, Commway akan membebaskan biaya penarikan dana di anjungan tunai mandiri (ATM) dalam jaringan ATM Bersama ataupun yang masuk jaringan ATM dengan bank lain. Tak tanggung-tanggung semua transaksi, dibebaskan mulai pengecekan saldo, pengambilan uang tunai, maupun transfer uang.
Selain itu, kata Rian, keunggulan akses mereka adalah seluruh aktivitas perbankan bisa dilakukan melalui mobile banking dan internet banking. “Kelas menengah terkonsentrasi di kota-kota besar. Kebanyakan dari mereka adalah karyawan, pengusaha, ibu rumah tangga dengan range usia 25-40 tahun, pendapatan 5-50 juta per bulan. Secara aktivitas mereka sangat mobile dan merupakan pengguna aktif gadget. Untuk itu, CommWay menyediakan one stop shopping yang dapat diakses cukup melalui smartphone,” jelas Rian.
Akses lain yang menjadi jagoan mereka adalah aplikasi reksadana pada mobile banking. Museum Rekor Indonesia beberapa waktu lalu memberikan penghargaan pada Commonwealth sebagai bank pertama yang aplikasi mobile banking-nya memiliki fitur pembelian reksadana. Selain itu, fasilitas ini dapat digunakan untuk transfer ke seluruh bank baik di dalam maupun luar negeri dengan limit transaksi tertinggi, hingga Rp200 juta.
“Untuk investasi reksadana, melalui Autoinvest ada 60 jenis pilihan reksadana mulai dari Rp100 ribu per bulan. Nasabah melalui smartphone-nya bisa mengakses real time currancy, bisa memonitor portofolio reksadana dan lain-lain sesuai kebutuhan,” tambah Rian.
Ekspansi Kredit
Di bidang penyaluran kredit, Commbank juga tampaknya sudah menyiapkan diri untuk lebih banyak menggarap segmen kelas menangah. Portofolio kredit bank saat ini terdiri dari wholesale lending, kredit usaha kecil dan menengah (UKM) serta kredit konsumen.
“Kami akan terus mendorong bisnis di berbagai sektor di 27 kota di Indonesia melalui kredit UKM. Hal ini sejalan dengan anjuran Bank Indonesia untuk meningkatkan kredit dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi,” ujar Tony Costa sang Dirut.
Untuk kredit konsumen, bank ini menargetkan adanya pertumbuhan tiga kali lipat dalam dua tahun mendatang, di mana 35 persennya berasal dari KPR pasar primer. Artinya bank ini menjadi bank asing pertama yang menawarkan KPR melalui seluruh cabangnya, yakni di 27 kota di seluruh Indonesia. “Kami baru saja menandatangani kerjasama dengan developer Grup Ciputra dalam menyediakan KPR untuk proyek perumahan mereka,” tambah Tony Costa.
Pengamat perbankan dari Indonesia Economic Inteligent, Sriyani Kusumastuti, mengatakan layanan yang ditawarkan Commonwealth sebenarnya sudah lebih dulu banyak ditawarkan bank-bank di dalam negeri. Namun dia mengakui, Commonwealth memiliki keunggulan karena membawa sistem dan strategi bisnis yang terbaik yang telah diimplementasikan sekian lama di negara mereka. Commonwealth sendiri sudah berdiri lebih dari 100 tahun di Australia dan saat ini memiliki ribuan cabang di negara induknya, Negeri Kangguru.
Sriyani mengatakan semakin gencarnya Commonwealth Bank menjalankan bisnisnya di Indonesia membuka jalan bagi bank ini untuk menjadi besar di negeri ini. “Kehadiran bank asing di Indonesia sudah memang tidak bisa dihindari. Dampaknya bisa positif bisa negatif, tergantung bagaimana menanggapinya,” ujar Sriyani.
Dari segi konsumen, keberadaan bank asing jelas menguntungkan karena akan semakin banyak pilihan. Namun bagi bank-bank lokal, profit mereka bisa tertekan karena dari sisi modal mereka kalah jauh. Akan sangat tragis memang jika ke depannya bank-bank besar di negeri ini justru milik asing.
Untuk itu menurut Sriyani, hal yang bisa dilakukan adalah bank-bank lokal harus bersaing lebih kompetitif lagi. “Di luar negeri, bank asal Indonesia susah sekali membuka cabang. Kalau di sini kan di buka selebar-lebarnya. Yang harus dilakukan bank lokal di sini adalah harus bisa bersaing, caranya meningkatkan kinerjanya, layanannya harus lebih baik lagi.”
Salah satu bank nasional yang dipastikan akan menjadi pesaing Commonwealth adalah BNI. Tahun ini BNI telah memproklamirkan untuk serius membenahi kredit di segmen kelas menengah. “Fokus di segmen menengah penting,” ujar Gatot M Suwondo, Direktur Utama BNI beberapa waktu lalu.
Salah satu pembenahan yang dilakukan BNI adalah membereskan kredit macet yang ada dalam segmen ini yang mencapai 25 persen dari total nonperformng loan (NPL). Segmen usaha menengah menurut kriteria BNI adalah debitur yang menerima fasilitas kredit Rp 10 miliar- Rp 150 miliar. SP