Oleh : Iqbal Nazili, Senior Relationship Manager LPPI
KETIKA praktik digital di sektor keuangan marak, masyarakat memang dimudahkan dalam setiap transaksi untuk memenuhi kebutuhannya. Tetapi di sisi lain, efek negatif dari kemudahan itu juga tidak kalah marak.
Salah satunya adalah masifnya kehadiran perusahaan financial technology (fintech) dalam layanan pinjaman (lending), yang pada gilirannya menghadirkan ancaman tersendiri dengan bermunculannya entitas ilegal. Fintech ilegal adalah entitas yang tidak memiliki legalitas, yang artinya tidak terdaftar dan tidak memiliki izin resmi dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Pada November 2021, Satgas Waspada Investasi (SWI) OJK mencatat 116 entitas fintech peer to peer (P2P) lending adalah ilegal. Fintech golongan itu sangat rentan dengan praktik predatory lending. Ketika sudah masuk dalam ekosistem P2P ilegal, konsumen secara terus menerus akan diteror oleh penawaran dalam bentuk pesan singkat, menguncinya untuk terus menggunakan jasa predatory lending. Bahkan buruknya, konsumen dijerat dengan suku bunga yang tidak masuk akal sehingga dipersulit dalam melakukan pelunasan.
BERITA TERKAIT
Tidak sedikit korban dari predatory lending yang mendapatkan ancaman. Kondisi ini mengindikasikan lemahnya perlindungan data konsumen dan literasi keuangan masyarakat. Hal itu dimanfaatkan oleh pelaku usaha fintech P2P lending ilegal dengan memberikan penawaran dana cepat yang dapat langsung dicairkan dalam hitungan jam tanpa syarat yang rumit. Beberapa jenis fintech P2P lending ilegal bahkan hanya mensyaratkan foto kartu identitas dan foto diri untuk pencairan pinjaman. Tetapi hal itu memiliki konsekuensi, penyedia jasa fintech itu membebankan bunga dan biaya layanan yang sangat tinggi.
Ketika pihak penyedia P2P lending tidak memperhatikan unsur-unsur administrasi yang menjadi syarat wajib peminjaman, patur diduga itu adalah fintech jahat. Ketika fintech tidak ketat dalam mensyaratkan nomor identitas, nomor pokok wajib pajak, atau kartu keluarga, serta tidak melakukan analisis dalam memperhitungkan kemampuan peminjam untuk melakukan pengembalian pinjaman, maka kemungkinan ia termasuk predatory lending.
Berdasarkan survei inklusi dan literasi keuangan pada 2019 disebutkan bahwa indeks literasi keuangan sebesar 38,03 persen. Angka ini termasuk “rendah”, walaupun meningkat dari 2016 yang masih sebesar 29,7 persen. Hasil ini menunjukkan bahwa masyarakat belum memahami dengan baik karakteristik berbagai produk dan layanan jasa keuangan yang ditawarkan jasa keuangan formal, padahal literasi keuangan merupakan keterampilan yang penting dalam rangka pemberdayaan masyarakat, kesejahteraan individu, perlindungan konsumen, dan peningkatan inklusi keuangan. Kurangnya pemahaman masyarakat terkait produk dan layanan jasa keuangan, dijadikan celah bagi para pelaku ilegal untuk menjerat masyarakat untuk masuk ke dalam skema P2P lending ilegal.
Melalui POJK No. 77/POJK.01/2016 secara jelas dikatakan bahwa penyelenggara fintech P2P lending wajib terdaftar dan memiliki izin oleh OJK serta melakukan kegiatan sosialisasi serta edukasi keuangan. POJK ini merupakan bentuk preventif dari maraknya predatory lending, serta sebagai bentuk perwujudan literasi keuangan kepada masyarakat.
Selain upaya preventif, upaya represif sebagai bentuk perlindungan konsumen terhadap praktik predatory lending dari P2P lending ilegal dilakukan melalui pemblokiran oleh pihak otoritas. Namun, upaya represif tersebut tidak dapat berjalan secara komprehensif. Alasannya adalah, regulasi ini hanya setingkat POJK yang mengakibatkan penegakan hukum terhadap fintech P2P lending ilegal menjadi terbatas, contohnya adalah sanksi yang masih sebatas sanksi administrasi berupa pencabutan izin.
Tentunya berbeda dengan lembaga keuangan perbankan atau asuransi yang memiliki payung hukum selevel undang-undang. Dengan belum adanya regulasi yang mampu melindungi konsumen fintech P2P lending, dapat dikatakan faktor ini (faktor hukum) yang menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi belum berjalannya penegakan hukum yang baik dalam permasalahan yang dihadirkan fintech P2P lending seperti praktik predatory lending.
Untuk meminimalisir kerugian masyarakat terkait praktik predatory lending, hal yang paling baik untuk dilakukan salah satunya dengan apa yang kita sebut dengan Edukasi Keuangan. Edukasi keuangan didefinisikan sebagai proses dimana konsumen/investor keuangan meningkatkan pemahaman terkait produk keuangan, konsep dan risiko melalui informasi, instruksi dan/atau saran yang obyektif, mengembangkan keterampilan dan kepercayaan diri untuk menjadi lebih sadar akan risiko keuangan, untuk membuat pilihan berdasarkan informasi untuk mengetahui cara pengambilan tindakan yang efektif dalam rangka meningkatkan kesejahteraan.
Langkah edukasi untuk meningkatkan literasi keuangan, sudah barang tentu menjadi salah satu kewajiban utama bagi semua stakeholder di industri keuangan untuk turut andil dalam upaya meningkatkan literasi keuangan. Sehingga dengan begitu mimpi menciptakan masyarakat yang memiliki ketahanan keuangan (financial resilience) dapat lebih cepat diwujudkan.***





.jpg)










